Seni Mondial Tanpa Pamrih: Dalam Tinjauan Immanuel Kant

Senin, 19 Desember 2022
Immanuel Kant

Khusus dalam kesenian terbang Jawa atau terbangan Jawa yang dipimpin Alm. Bapak wujud ini, tidak ada spesifikasi dalam memainkan instrument. Artinya setiap seniman atau pelaku seni dapat memainkan sembarang instrumen bergantung dari siapa yang datang terlebih dulu di rumah Alm. Bapak Wujud. Selain tidak memiliki spesifikasi tetap dalam hal memainkan alat, kesenian terbang Jawa atau terbang Jawa yang pernah hidup dan berkembang di Desa Petunjungan, juga tidak memiliki penyanyi.

Semua seniman yang terlibat memainkan instrument musik, secara bersama-sama menyanyikan lagu sholawat atau berzanji. Seperti yang pernah dijelaskan sebelumnya, bahwa lagu-lagu sholawat yang biasa dibawakan seperti: Sholawat Badar, Asshol dan ya Nabi salam alaika. Dalam hal pelaksanaan menurut Bapak Cahyono tidak dapat dikatakan sebagai proses latihan, karena tidak ada jadwal yang mengikat secara formal. Selain itu implementasi pelaksanaannya lebih pada ajang silaturahmi, bersantai, dan kepuasan pribadi dari masing-masing pemain, karena tidak memiliki target pencapaian apapun setiap kali memainkan kesenian terbang Jawa atau terbangan Jawa. Pelaksanaan terbang Jawa atau terbangan Jawa dilakukan tanpa konsep, sehingga proses berkumpulnya semua anggota dapat dikatakan suatu hal yang kebetulan. Biasanya prosesi awal berkumpul, lebih dimanfaatkan sebagai ajang bersantai dan mengobrol (terkait rutinitas pekerjaan pabrik), jadi semacam keluh kesah, pesan maupun kesan sesama pekerja PG. Banjaratma.

Proses interakis itu kemudian di lanjutkan dengan wedhangan, yakni keluarga Alm. Bapak Wujud selaku tuan rumah memberikan berbagai hidangan khas tradisional Brebesan pada waktu itu. Setelah beberapa saat berinteraksi (mengobrol satu sama lain) dan wedhangan, baru dimulai permainan terbang Jawa atau terbangan Jawa dengan melantunkan lagu-lagu sholawat tanpa ada urutan yang pasti. Proses pemilihan lagu tergantung dari kesepakatan, dalam arti seingatnya dari masing-masing anggota sehingga tidak ada istilah benar salah di dalam memainkannya. Selain mendeskripsikan prosesi pelaksanaan, akan lebih legitim jika penulis lampirkan hasil wawancara dengan sumber informan utama, Bapak Cahyono sebagai berikut:

Agar lebih memahami penjelasan saya nantinya, alangkah baiknya saya urutkan pelaksanaan terbang Jawa atau terbangan Jawa di Desa Petunjungan, dengan mengelompokannya menjadi beberapa bagian: Pertama, nama-nama sejumlah pemain atau pelaku kesenian terbang Jawa atau terbangan Jawa diantaranya: Alm. Bapak (Wujud), Alm. Sayan, Alm. Talib, Alm. Rajan, dan Alm. Karsa. Kedua, tempat dan waktu pelaksanaan rutin dirumah saya, yakni keluarga Alm. Bapak Wujud. Terkait dengan waktu pelaksanaannya, tidak ada pengkhususan tetapi seringnya dilakukan bertepatan pada malam Jumat (dalam arti kata tidak rutin dilakukan setiap malam Jum,at). Ketiga, proses pelaksanaan kesenian terbang Jawa atau terbangan Jawa sendiri dilakukan setelah kurang lebih 1 jam (para pemain berinteraksi atau ngobrol), sambil wedhangan/nyamikan.

Adapun beberapa sajian yang dihidangkan pada saat para pemain memulai obrolan, dan memainkan terbang Jawa atau terbangan Jawa biasanya: minuman (teh, kopi), makanan (talawengkar, dan hasil tanah seperti: ubi-ubian, angkrik, ganyong, kacang, dll), rokok (tembakau). Keempat, khusus terkait dengan permainan kesenian terbang Jawa atau terbangan Jawa, tidak ada standarisasi urutan lagu yang dibawakan, ketetapan instrument yang dimainkan oleh masing-masing orang, selesainya memainkan kesenian terban Jawa atau terbangan Jawa, dan tidak ada target tujuan dari capaian latian. Saya anak ke 7 dari 8 bersaudara keturunan Alm. Bapak Wujud, yang kebetulan meminati jenis kesenian terutama musik, jadi banyak mengikuti aktifitas permainan terbang Jawa atau terbangan ini. Keenam, instrument dimiliki secara pribadi oleh mendiang Alm. Bapak, sehingga setelah permainan selesai instrumen musik dikumpulkan dan disimpan dirumah saya. Pada hakikatnya dalam permainan kesenian terbang Jawa atau terbangan Jawa di Desa Petunjungan ini, tidak ada ketua atau pemimpin karena masing-masing setara, dan memerankan fungsinya dengan bebas tanpa ikatan apapun.

Dengan berpangkal pada deskripsi di atas, dengan diperkuat oleh hasil wawancara dengan Bapak Cahyono dapat disimpulkan bahwa, kesenian terbang Jawa atau terbangan Jawa dikelola secara mandiri oleh tiap-tiap pemain, terutama Alm. Bapak Wujud. Kesenian terbang Jawa atau terbangan Jawa yang pernah hidup dan berkembang di Desa Petunjungan, juga tidak dapat dikatakan sebagai suatu grup, selain tidak memiliki jadwal khusus, proses pelaksanaan tidak dapat dikatakan sepenuhnya sebagai latihan, tidak memiliki ketua, tidak memiliki mekanisme, dan tujuan apapun dari capaian memainkannya. Lain pada itu kesenian terbang Jawa atau terbangan Jawa hanya menjadi jenis kesenian yang bersifat internal (di antara masing-masing pemain, & keluarga Alm. Bapak Wujud). Dalam arti kata eksistensi kesenian terbang Jawa atau terbangan Jawa yang pernah hidup dan berkembang di Desa Petunjungan, hanya dimainkan dan dinikmati secara mandiri atau privat. Ditegaskan oleh Bapak Cahyono, bahwa belum pernah sekalipun kesenian terbang Jawa atau terbangan Jawa tampil atau dipertontonkan langsung kepada hal layak ramai. Dari sini dapat dilumrahkan, bahwasanya eksistensi kesenian terbang Jawa atau terbang Jawa hanya sebatas eksistensi para pemainnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.