Puisi-puisi Pertanian Karya Solehun

Minggu, 9 Juli 2023

Surat Gundah Sarjana Pertanian

 

Bacaan Lainnya

berbotol air mineral telah diteguk

tetap saja gumpalan gundah bertengger di kepala

kala bola mata terpaku

di foto gandeng hitam putih orang tuanya

yang turut hadir merias kamar kostnya

 

terelus datar foto itu

tak lama rangkaian kalimat resah pun tertulis

di kertas buram

menambah kilau foto nan kian kelam

 

Bapak-ibu,

maafkan ananda

yang tak jua mampu mengubur muram

di tengah keceriaan wisuda terbilang hari lalu

padahal tak terhingga suka bapak-ibu hadir

sesuka ananda yang terwisuda hari itu

 

muram ananda itu

karena melubernya larutan konflik batin

sungguh masih lekat cita-cita penyerta

saat hendak kuliah dulu

tapi kelibat pengetahuan dan kenyataan

yang bersulam hasrat belahan jiwa, Vitasari

telah memaksa cita-cita ananda

kini beda dengan dulu

 

Bapak-ibu,

bukan ananda tak patuh

bukan pula hendak lancang melukis kecewa

di wajahmu dan warga kampung

 

tapi di jeda menit pasca wisuda lalu

terlahir pikir untuk tidak pulang kampung

meski ananda tetap cinta kampung

secinta ananda pada petani

sebab takdir telah bicara

di sana ananda lahir dan besar

di sana pula ananda bisa membaca

betapa petani itu profesi mulia

yang karenanya, negara ini ada

anak bangsa bisa hidup

fakultas pertanian lahir

dan banyak jabatan empuk

tersedia di negeri ini

 

jikapun ananda tak mau jadi petani

mohon dipahami Bapak-ibu,

ini semata pilihan hidup

apalagi di kota tempat ananda kuliah ini

petani terlanjur dicap identik terbelakang dan miskin

lembar sarjana ananda tentu terlalu mahal untuk menerima cap itu

satu lagi, Vitasari pun ingin ananda cari pekerjaan lain

bukan petani

 

soal cap itu sungguh ananda tak kuasa berprotes

sebab faktanya lahan petani memang kian sempit

nafsu industrisasi yang berkelindan dengan alih fungsi lahan

pun kian membirahi

sementara perlindungan dan pemihakan ke petani

kian memudar

sebangun memudarnya jumlah petani di negeri ini

ananda pun baru bisa paham

kenapa Mang Aman dan keluarga dulu nekat hijrah ke kota

meski hanya berbekal otot

 

menutup surat ini Bapak-ibu,

kembali mohon maaf ananda

yang harus tak pulang kampung

yang harus tak mau menjadi petani

salam hormat ananda

            Palembang, 4 September 2021

 

Pusaka Sawah

 

berpuluh tahun setelah dewasa

aku baru tahu makna di balik pesan kakek

yang meminta anak cucunya

jangan sampai menjual sawah

meski terpepet dan hidup susah

 

ini bukan urusan pelit tidak pelit

bukan pula soal kuno tidak kuno

tapi ini tentang prinsip

bahwa sawah tak ubahnya pusaka

yang syarat makna

yang mesti dijaga

 

sawah bukanlah sekadar hamparan tanah

dengan aneka tumbuhannya

ada jejak wewaris yang harus dijaga

ada tapak kerja keras yang mesti dieja

ada gores kegetiran hidup yang harus dibaca

ada lukis ketahanan dari rayuan rentenir yang mesti diraba

 

sawah juga tak ubahnya sebuah prasasti

penegas bahwa harapan hidup itu masih ada

di tengah silih bergantinya generasi

di sela hingarnya wacana ketahanan pangan

yang mewarna perkembangan jaman

 

jangan sampai sawah itu dijual

sebab jual sawah bukan semata jual aset

tapi juga jual kantong air mata dan darah

para pendulu generasi

yang berjuang mempertahankannya di masa sulit

 

jikapun sawah itu tersebut warisan

jangan pula dijual sesuka hati

nanti perasaan orang-orang tua itu tergores perih

saat terpaksa mesti berujar:

“Dulu, itu sawah keluarga kita”

Belitang, 29 Mei 2022

 

Rayuan

 

dari sawah aku bisa makan

dari sawah aku bisa bertahan

dari sawah aku bisa enyam pendidikan

dari sawah aku bisa penuhi beragam keperluan

 

begitulah, aku dan sawah telah menyatu

karenanya percuma rayuan itu

saat kudiminta setuju

menukar sawah dengan bangunan baru

 

persetan aku dianggap lugu dan ketinggalan jaman

terserah sebutan apalagi hendak disematkan

yang pasti bagiku, sawah itu wujud kehormatan

tak boleh ditukar rayuan kapitalis berkedok pembangunan

Belitang, 30 Mei 2022

 

Perempuan Tangguh

 

meski hanya bermahkota caping

dengan kostum baju lengan panjang

berbalut corak lumpur

yang menempel di keringnya

ibu-ibu paruh baya itu

masih terlihat ayu

 

mereka berjajar rapi

menantang terik mentari

sementara gerak tangannya

menari lincah

menancapkan benih padi

di jarak garis mundurnya

 

lihatlah, peluh itu tak dirasa

tetes keringat pun tak dihela

semua tertutup oleh target

yang mesti diburu

semata demi membantu suami

menutup kebutuhan keluarga

yang terus menganga di jajar hari

 

aku yang terpaku sejenak

memakna kegigihan itu

pun tak bisa menutup laju apresiasi

jujur terkata

betapa mereka

sejatinya perempuan tangguh

yang telah berkarya nyata

demi kedaulatan pangan negeri

                         Belitang, 31 Desember 2021

 

*) Solehun adalah pegiat sastra kreatif, tinggal di Palembang, Sumatera Selatan.

Bantu Kami untuk Berkembang

Mari kita tumbuh bersama! Donasi Anda membantu kami menghadirkan konten yang lebih baik dan berkelanjutan. Scan QRIS untuk berdonasi sekarang!


Pos terkait