Surat Gundah Sarjana Pertanian
berbotol air mineral telah diteguk
tetap saja gumpalan gundah bertengger di kepala
kala bola mata terpaku
di foto gandeng hitam putih orang tuanya
yang turut hadir merias kamar kostnya
terelus datar foto itu
tak lama rangkaian kalimat resah pun tertulis
di kertas buram
menambah kilau foto nan kian kelam
Bapak-ibu,
maafkan ananda
yang tak jua mampu mengubur muram
di tengah keceriaan wisuda terbilang hari lalu
padahal tak terhingga suka bapak-ibu hadir
sesuka ananda yang terwisuda hari itu
muram ananda itu
karena melubernya larutan konflik batin
sungguh masih lekat cita-cita penyerta
saat hendak kuliah dulu
tapi kelibat pengetahuan dan kenyataan
yang bersulam hasrat belahan jiwa, Vitasari
telah memaksa cita-cita ananda
kini beda dengan dulu
Bapak-ibu,
bukan ananda tak patuh
bukan pula hendak lancang melukis kecewa
di wajahmu dan warga kampung
tapi di jeda menit pasca wisuda lalu
terlahir pikir untuk tidak pulang kampung
meski ananda tetap cinta kampung
secinta ananda pada petani
sebab takdir telah bicara
di sana ananda lahir dan besar
di sana pula ananda bisa membaca
betapa petani itu profesi mulia
yang karenanya, negara ini ada
anak bangsa bisa hidup
fakultas pertanian lahir
dan banyak jabatan empuk
tersedia di negeri ini
jikapun ananda tak mau jadi petani
mohon dipahami Bapak-ibu,
ini semata pilihan hidup
apalagi di kota tempat ananda kuliah ini
petani terlanjur dicap identik terbelakang dan miskin
lembar sarjana ananda tentu terlalu mahal untuk menerima cap itu
satu lagi, Vitasari pun ingin ananda cari pekerjaan lain
bukan petani
soal cap itu sungguh ananda tak kuasa berprotes
sebab faktanya lahan petani memang kian sempit
nafsu industrisasi yang berkelindan dengan alih fungsi lahan
pun kian membirahi
sementara perlindungan dan pemihakan ke petani
kian memudar
sebangun memudarnya jumlah petani di negeri ini
ananda pun baru bisa paham
kenapa Mang Aman dan keluarga dulu nekat hijrah ke kota
meski hanya berbekal otot
menutup surat ini Bapak-ibu,
kembali mohon maaf ananda
yang harus tak pulang kampung
yang harus tak mau menjadi petani
salam hormat ananda
Palembang, 4 September 2021
Pusaka Sawah
berpuluh tahun setelah dewasa
aku baru tahu makna di balik pesan kakek
yang meminta anak cucunya
jangan sampai menjual sawah
meski terpepet dan hidup susah
ini bukan urusan pelit tidak pelit
bukan pula soal kuno tidak kuno
tapi ini tentang prinsip
bahwa sawah tak ubahnya pusaka
yang syarat makna
yang mesti dijaga
sawah bukanlah sekadar hamparan tanah
dengan aneka tumbuhannya
ada jejak wewaris yang harus dijaga
ada tapak kerja keras yang mesti dieja
ada gores kegetiran hidup yang harus dibaca
ada lukis ketahanan dari rayuan rentenir yang mesti diraba
sawah juga tak ubahnya sebuah prasasti
penegas bahwa harapan hidup itu masih ada
di tengah silih bergantinya generasi
di sela hingarnya wacana ketahanan pangan
yang mewarna perkembangan jaman
jangan sampai sawah itu dijual
sebab jual sawah bukan semata jual aset
tapi juga jual kantong air mata dan darah
para pendulu generasi
yang berjuang mempertahankannya di masa sulit
jikapun sawah itu tersebut warisan
jangan pula dijual sesuka hati
nanti perasaan orang-orang tua itu tergores perih
saat terpaksa mesti berujar:
“Dulu, itu sawah keluarga kita”
Belitang, 29 Mei 2022
Rayuan
dari sawah aku bisa makan
dari sawah aku bisa bertahan
dari sawah aku bisa enyam pendidikan
dari sawah aku bisa penuhi beragam keperluan
begitulah, aku dan sawah telah menyatu
karenanya percuma rayuan itu
saat kudiminta setuju
menukar sawah dengan bangunan baru
persetan aku dianggap lugu dan ketinggalan jaman
terserah sebutan apalagi hendak disematkan
yang pasti bagiku, sawah itu wujud kehormatan
tak boleh ditukar rayuan kapitalis berkedok pembangunan
Belitang, 30 Mei 2022
Perempuan Tangguh
meski hanya bermahkota caping
dengan kostum baju lengan panjang
berbalut corak lumpur
yang menempel di keringnya
ibu-ibu paruh baya itu
masih terlihat ayu
mereka berjajar rapi
menantang terik mentari
sementara gerak tangannya
menari lincah
menancapkan benih padi
di jarak garis mundurnya
lihatlah, peluh itu tak dirasa
tetes keringat pun tak dihela
semua tertutup oleh target
yang mesti diburu
semata demi membantu suami
menutup kebutuhan keluarga
yang terus menganga di jajar hari
aku yang terpaku sejenak
memakna kegigihan itu
pun tak bisa menutup laju apresiasi
jujur terkata
betapa mereka
sejatinya perempuan tangguh
yang telah berkarya nyata
demi kedaulatan pangan negeri
Belitang, 31 Desember 2021
*) Solehun adalah pegiat sastra kreatif, tinggal di Palembang, Sumatera Selatan.