Seni Mondial Tanpa Pamrih: Dalam Tinjauan Immanuel Kant

Senin, 19 Desember 2022
Immanuel Kant

Oleh : Nandhy Prasetyo

Paradigmatik seni dewasa ini, sepertinya masih menanggalkan sumbangan pemikiran filsuf, sekaligus tokoh intelektual utama abad pencerahan Jerman, Imanuel Khan. Perspektifnya yang umum dalam mendeterminasi “das ding an sik” untuk mengabstraksikan objek (diluar dirinya) secara apriori tetap dijadikan rujukan, baik diakui secara langsung maupun tidak. Teori kritis yang mengusung keotonoman-subjekif dalam mengurai pengetahuan, diinsafi sekaligus dipuja sejumlah tokoh pemikir eksistensialisme.

Akan tetapi konsep yang ditawarkan tidak selamanya berjalan mulus, secara emansipatoris pan-subjektifisme merupakan salah satu tanggapan sinis, bentuk negasi dan penjungkir balikan atas teori Khan. Di sisi lain projek utama Kant untuk mendamaikan bipolaritas kaum rasionalis dan kaum empiris dalam banyak hal, bahkan disanjung sekaligus dicampakan Hegel. Postulat akal budi yang dijadikan premis keotonoman subjek oleh Kant, dicurigai bahkan dimentahkan Hegel sebagai suatu yang tidak bersifat affirmatif, karena tidak memiliki kemampuan merealisasikan dirinya.

Bentuk penolakan Hegel secara spesifik dapat ditunjukkan, dari pigmen dan mode pendasaran-pendasaran dialektisnya, seperti: 1. Teori dialektis Hegel menekankan bahwa pada kehidupan yang nyata pasti unsur-unsurnya saling berkontradiksi, bernegasi, dan bermediasi. Oleh karenanya hipotesis bahkan keultiman sintesis yang ditawarkan Kant, hanya dapat dibayangkan secara abstrak atau retorik yang menjelma sebatas kesadaran kosong. 2. Proses dialektik yang saling (berkontradiksi, bernegasi, dan bermeditasi) merupakan rekonsiliasi yang dinamis, sehingga mengejawantahkan suatu realitas yang sedang bekerja. Jadi dialektis tidak hanya melibatkan kesadaran yang semata-mata particular, melainkan keterlibatan yang bersifat objektif. Sesuatu yang objektif (diluar dirinya), merupakan salah satu prasyarat manusia untuk mengaktualisasikan dirinya dengan cara bekerja.

Secara radikal Hegel menerangkan, pekerjaan merupakan upaya manusia untuk “memanusiakan” objek-objek diluar dirinya dengan jalan keterasingan. 3. Stigma dialektis merupakan cara berpikir dalam perfektif empiris-historis. Dimana dalam tradisi kenyataan empiris, suatu preposisi yang diparadokkan mempunyai hak untuk berada dan berpotensi benar, sehingga tidak bisa begitu saja menolak, meniadakan, bahkan menganggap salah preposisi yang lain. Oleh karenanya berpikir dialektis jelas bertolak belakang dengan pemikiran formal, yang bisa mengabstraksikan satu preposisi sebagai yang lebih ideal (benar), dan berpotensi meniadakan preposisi yang lain. 4.

Berpikir dialektis merupakan penyatuan cara berpikir teoritis sekaligus praktis.  Di mana Hegel berusaha menyatukan dua hal (teori& praktik) yang dianggap terpisah, dengan perfektif Aristoteles. Bagi Aristoteles teori atau kontemplasi merupakan satu bidang yang luhur, karena bersentuhan hubungan antara manusia dengan yang Ilahi. Sementara praktik lebih dipahami sebagai kegiatan hidup berpolitik, yang bagi Aristoteles disebut antropeuestthai (berada pada wilayah manusia). Keduanya harus dijalani secara berayun, karena mengedepankan teori saja menjadikan manusia terasing bios xenikos, sehingga dari padanya tidak dapat menjalin persaudaraan koinonia. Pemikiran dialektis menghapus kesenjangan antara (teori& pratik), serta berusaha melampauinya dengan berpangkal pada realitas (manusia sadar akan realitas dan mampu mengubah realitas).

Bila kita sikapi buah pemikiran Hegel sebagai bentuk silang perspektifnya atas Kant, tentu saja secara radikal di dalamnya sebagai mantik (reaksi) atas pendasaran kerangka pemikiran Kant. Dalam arti kata Hegel patut kita curigai sebagai salah satu pemuja Kant disatu sisi, karena secara kasar dapat disimpulkan memahami benar corak berfilsafat Kant, sementara pada sisi yang lain  melegitimasi penerus ajaran-ajaran Kant. Sebagaimana Sindhunata (1982) menuliskan, Hegel beranggapan bahwa Kant telah berhasil menerbitkan otonomi akal budi manusia, dan nampaknya akal budi itu harus diaktualisasikan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.