Seni Mondial Tanpa Pamrih: Dalam Tinjauan Immanuel Kant

Senin, 19 Desember 2022
Immanuel Kant

Tatkala satu atau beberapa pemain kesenian terbang Jawa atau terbangan Jawa tidak eksis lagi (bisa karena sesuatu hal atau meninggal dunia), maka berahir juga eksistensi kesenian itu. Dengan bercermin pada tujuan pemuasan, kenikmatan, dan kesenangan pribadi dari masing-masing para pelaku seninya, tidak mengherankan bahwa seni ini begitu esklusif dalam tanda petik (“). Sifat kemandirian yang dimiliki kesenian terbang Jawa atau terbangan Jawa di Desa Petunjungan, dibarengi dengan ketertutupan yang inheren, sehingga menihilkan proses kaderisasi dalam hal pewarisan. Terkait pernyataan ini, Bapak Cahyono menerangkan:

Bila ditilik dari tujuannya, memang semata-mata kepuasan pribadi dari masing-masing pemain terutama Alm. Bapak Wujud. Kecintaan dan kegemarannya terhadap kesenian terbang Jawa atau terbangan Jawa dimanifestasikan tidak hanya mengorbankan waktu, tempat, dan finansial tetapi banyak hal. Terbang Jawa atau terbangan Jawa ini hanya dimainkan dirumah saya, sama sekali tidak pernah dipertunjukan ditempat lain, jadi tidak banyak orang yang tau tentang keberadaannya. Paling diketahui masing-masing pemain dengan keluarganya, dan dimungkinkan tetangga dekat rumah saya saja. Hingga saat ini tidak ada jejak yang tertinggal dari eksistensi terbang Jawa atau terbangan Jawa yang pernah hidup dan berkembang di Desa Petunjungan. Bahkan setelah Alm. Bapak Wujud meninggal sekitar tahun 1971an, saya pribadi tidak lagi melihat keberadaan dari satupun instrument musik yang pernah kami miliki. 

  • Terbang Kencer

Apabila elaborasi dapat mengesensikan tujuan dari berkesenian, maka dalam konteks inilah bisa menjadi salah satu manifestasi dari capaian terbang Jawa atau terbangan Jawa di Desa Petunjungan, baik pada wilayah individu maupun kelompok. Dikatakan demikian, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa terbang Jawa atau terbangan Jawa, sama sekali belum pernah ditampilkan diluar rumah dari Alm. Bapak Wujud. Akan tetapi di tengah ketertutupan kesenian terbang Jawa atau terbangan Jawa ini, pernah beberapa waktu yang lalu dipadukan dengan terbang kencer yang sama-sama hidup dan berkembang di Desa Petunjungan. Penjelasan ini penulis peroleh dari hasil wawancara langsung dengan kedua informan beberapa waktu yang lalu, sebagai berikut:

Seperti penjelasan terdahulu, bahwa intensitas pertemuan tiap anggota tidak berorientasi pada kegiatan kesenian sebagai pokoknya, akan tetapi lebih ditekankan pada silaturahmi dan interaksi (ngobrol). Domain pekerjaan dimana sebagian besar anggotanya adalah pekerja PG. Banjaratma, menjadi salah satu alasan mereka untuk berkumpul, tidak hanya sesama komunitas terbang Jawa atau terbangan Jawa saja tetapi dengan komunitas terbang kencer. Ringkasnya melalui kesamaan pekerjaan, pernah beberapa kali terbang Jawa atau terbangan Jawa main bersama-sama dengan terbang kencer. Sementara untuk lagu-lagu yang dibawakan tetap sama, yakni lagu-lagu bernafaskan Islami yakni sholawatan.

Perpaduan antara terbang Jawa atau terbangan Jawa dan terbang kencer tidak banyak merubah bentuk musiknya, hanya saja efek suara yang ditimbulkan lebih ramai. Disisi lain proses berkumpulnya semua orang yang terlibat dalam kesenian, biasanya datang jauh lebih awal dari biasanya tetapi berahir sampai larut malam. Pada saat terbang Jawa atau terbangan Jawa mau main bersama dengan terbang kencer, biasanya keluarga Alm. Bapak Wujud lebih mempersiapkan segala sesuatunya, baik tempat, tikar, dan aneka macam hidangan atau jaburan. (Bapak Cahyono).

Pada terbang Jawa atau terbangan Jawa dan terbang kencer dimainkan bersama tidak ada perubahan, karena pola iringan dan lagunya tetap sama, hanya saja jelas lebih ramai dan meriah. Maklum dari segi persiapan kami (selaku tuan rumah), serta bertambahnya jumlah pemain jelas memberikan pesan dan kesan yang berbeda. Pemahaman saya pada waktu itu, bentuk alat musiknya sama saja antara terbang Jawa atau terbangan Jawa dengan terbang kencer, sama-sama berbentuk rebana. Kalau terbang Jawa atau terbangan Jawa ukuran alat musicnya bervariasi, sementara terbang kencer satu ukuran (kira-kira 45cm besar diameternya). Selain itu pada alat music terbang kencer terdapat modifikasi bentuk, hampir dibeberapa sisi terdapat semacam simbal-simbal kecil (antara 4-5 bagian), dimana dalam setiap bagian terdapat 2-3 keping simbal kecil berbentuk bulat).

Jumlah pemain terbang kencer sendiri sama seperti terbang Jawa atau terbangan Jawa, yakni 5 orang pemain yang masing-masing berperan juga sebagai penyanyi. Pemain terbang kencer di Desa Petunjungan di antaranya: Alm. Kasmun, Alm. Warmu, Alm. Talib, Alm, Sian, dan Alm. Warmo. Untuk tempat rutin komunitas terbang kencer Desa Petunjungan di rumah Alm. Bapak Kasmun, yang kebetulan berada di sebelah Timur jalan raya, sementara terbang Jawa atau terbangan Jawa dirumah kami sebelah Barat jalan raya. Kalau dari segi penampilan sama, keseharian Bapak/bapak Desa pada waktu itu (atasan: peci, baju: batik/kemeja, dan bawahan: sarung).

Terbang kencer sendiri sama dengan terbang Jawa atau terbangan Jawa yang dipimpin Alm Bapak, tidak pernah tampil diluar rumah. Jadi kedua komunitas ini, bila dikaji dari tujuan berkeseniannya lebih berorientasi pada silaturahmi dan kepuasan batin dari masing-masing anggotanya, tidak ada tujuan lain. Pernah suatu waktu saya tanyakan langsung kepada Alm. Bapak (Wujud) tujuan dalam berkesenian, jawabannya kepuasan selain memang bisa sambal bersholawat. Memang apabila saya lihat, tidak punya keinginan apapun selain bersilaturahmi satu sama lain dalam kesenian ini, bahkan dari segala keperluan yang diperlukan, termasuk alat juga Alm. Bapak beli secara mandiri. (Bapak Torman)

Berdasarkan pemaparan diatas dapat diterangkan bahwa terbang kencer yang pernah hidup dan berkembang di Desa Petunjungan, sezaman dengan keberadaan terbang jawa atau terbangan Jawa, yakni pada saat PG. Banjaratma berproduksi. Sama halnya dengan para anggota terbang Jawa atau terbangan Jawa, bahwa masing-masing anggota terbang kencer didominasi oleh pegawai PG. Banjaratma. Dengan berpegang pada, belum pernah dipertunjukannya terbang kencer dihalayak umum maka dapat ditafsirkan bahwa tujuan dari komunitas lebih berorientasi pada nilai kepuasan internal. Dapat juga diartikan dalam tanda kutip (“), bahwa aktifitas berkesenian terbang kencer menjadi kegiatan sekunder dalam komunitas, karena kegiatan inti terletak pada silaturahmi (interaksi sesama pekerja PG. Banjaratma). Kalau pusat kegiatan terbang Jawa atau terbangan Jawa dilaksanakan di rumah Alm. Bapak Wujud, sementara terbang kencer banyak dilakukan dirumah Alm. Bapak Kasmun. Jadi dalam kontek kesenian Desa Petunjungan Ketika itu, sering dikatakan bahwa terbang Jawa atau terbangan Jawa adalah seni kulon dalan (Barat Jalan), sementara terbang kencer disebut seni wetan dalan (Timur jalan).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.