Jangan Apolitis, Generasi Milenial!

Kamis, 7 Maret 2019
Solehun, M. Pd.

MENJELANG Pemilu 2019, keberadaan generasi milenial menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Suara generasi milenial dalam Pemilu legislatif dan presiden kali ini pun menjadi bidikan. Betapa tidak, jumlah pemilih dari kalangan ini cukup besar, yakni mencapai 40-45 persen. Karenanya, tidak salah jika disebut generasi milenial akan menjadi penentu kemenangan pada Pemilu, 17 April 2019 nanti.

Berbicara pembagian generasi, kita tentu merujuk pada pendapat Tapscott (2009) yang telah mengklasifikasikannya ke dalam tiga generasi. Yakni generasi X (1965-1976), generasi Y (1977-1997), dan generasi Z (1998-sekarang). Dengan demikian, generasi milenial adalah mereka yang berumur antara 17-37 tahun.

Berdasarkan data Badan Pusat Statsitik (BPS) penduduk Indonesia yang berusia di atas 17 tahun, atau yang memiliki hak pilih pada 2019 berjumlah 191 juta jiwa. Di antara mereka yang berusia 17-37 tahun jumlahnya mencapai 85,4 juta jiwa atau 44,6 persen. Pemilih inilah yang kemudian masuk kategori pemilih muda yang notabene generasi milenial.

Yang menarik, meski jadi penentu, beberapa kajian justru menunjukkan generasi milenial, atau sering disebut generasi Y ini, cuek dengan politik (apolitis). Hasil survei Alvara Research Center (2018) misalnya, menunjukkan hanya 22 persen generasi milenial yang mengikuti pemberitaan politik. Sisanya, mereka lebih banyak mengikuti seputar olahraga, musik, film, lifestyle, media sosial, dan teknologi informasi. Mereka umumnya menilai urusan perpolitikan adalah urusan orang tua. Sebaliknya, mereka lebih peduli dengan informasi seputar kehidupan kesehariannya.

Advertisements

Fenomena ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi partai politik untuk menggaet anak muda. Partai politik perlu merumuskan formula yang dianggap tepat dalam upaya melakukan pendekatan kepada generasi milenial sehingga mereka nantinya tidak lagi alergi pada dunia politik, sekaligus mau menyalurkan aspirasi politiknya secara tepat.

Dalam perhelatan politik, terkhusus dalam Pemilu 2019, generasi milenial merupakan pemilih potensial yang sangat berpotensi sebagai agen perubahan. Bagaimanapun, generasi milenial ini kelak akan menjadi calon penerima estafet kepemimpinan bangsa.

Agar dalam melakukan pendekatan terhadap generasi milenial berjalan efektif, formula yang disusun partai politik sudah semestinya sejalan dengan karakter generasi milenial. Hal yang sama juga berlaku bagi para calon presiden ataupun calon legislatif.

Pertama, terkait kehidupan politik, diketahui generasi milenial mempunyai karakter cenderung apolitis, tidak mudah percaya pada elite politik terutama yang terjerat korupsi, dan kerap mempermainkan isu-isu negatif politik melalui media sosial. Untuk mengubah karakter tersebut, para pelaku politik dituntut untuk mampu mengedukasi generasi milenial akan pentingnya politik, sekaligus mampu meyakinkan meraka bahwa elit-elit politiknya berintegritas dan bebas korupsi. Selain itu, mengingat internet dan media sosial adalah dunianya milenial, maka akan sangat relevan jika semua pendekatan ini tidak hanya bertumpu pada pola konvensional tetapi juga harus dilakukan secara maksimal melalui jagat digital yang partisipatoris.

Kedua, dalam memberikan hak politiknya generasi milenial diketahui cenderung lebih rasional, menyukai perubahan, dan antikemapanan. Mereka hanya menyalurkan hak politik kepada partai politik atau calon wakilnya yang benar-benar menyentuh kepentingan dan aspirasi mereka sebagai generasi muda. Dalam konteks ini, kemampuan partai politik dan para calon untuk menghadirkan janji atau program yang rasional dan membawa harapan baru (new hope) bagi generasi muda tentunya akan mampu menarik mereka untuk menyalurkan hak politiknya.

Ketiga, generasi milenial sejatinya lebih berpendidikan dan memiliki akses terbuka dengan dunia luar. Dengan bekal ini mereka cenderung menolak pendekatan pragmatis dalam peraihan suara, seperti melalui bagi-bagi uang dan sembako. Mereka sadar tindakan pembodohan politik ini hanya merugikan bangsa. Karenanya, para pihak yang berkepentingan dengan suara milenial semestinya lebih berorientasi pada program dan bahasa yang mampu menyapa mereka. Di sini tentu akan lebih produktif jika mereka disodori dengan program yang mampu menjawab kesulitan yang dirasakan generasi milenial saat ini. Berkaca pada hasil Survei Nasional CSIS tentang Orientasi Sosial, Ekonomi, Politik Generasi Milenial, pada 23-30 Agustus 2017, kesulitan yang dirasakan tersebut berdasarkan bobotnya adalah terbatasnya lapangan kerja (25,5%), tingginya harga sembako (21,5%), tingginya angka kemiskinan (14,3%), pelayanan dan biaya kesehatan yang mahal (8,8%), serta pelayanan dan kualitas pendidikan yang buruk (8,3%).

Demikian, berharap agar generasi milenial untuk tidak apolitis dalam Pemilu adalah sebuah keniscayaan demi terbangunnya kualitas demokrasi. Semua elemen masyarakat, terlebih partai politik, harus bertanggung jawab untuk secara konsisten melakukan pendidikan politik kepada generasi milenial. Yang tak kalah pentingnya juga bagaimana kita mampu menghadirkan pendekatan dan program yang menyentuh passion dan kebutuhannya. Tentunya akan menjadi penyesalan dan kesalahan kolektif manakala sampai nanti mereka tidak berpartisipasi dalam perhelatan politik hanya gara-gara mereka tidak mendapatkan literasi politik yang memadai. Ini tentu kondisi yang tidak diinginkan, mengingat sampai kapan pun kita selalu berharap, “Jangan Apolitis, Generasi Milenial”!  **

Penulis adalah Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Selatan 2019-2024, Dapil Sumsel 4 (OKU Timur), Nomor Urut 2 Partai Gerindra.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.