Puisi-Puisi Karya Solehun

Solehun

Krisis Etika

dimanakah etika itu

Bacaan Lainnya

atau lebih tepat

masih adakah etika itu

di negeri yang katanya

berkeadaban itu

jika nyatanya

fitnah malah kalahkan yang hak

netralitas selalu memihak tuannya

dan sumpah pun

telah dianggap sampah

dimanakah etika itu

atau lebih tepat

masih adakah etika itu

di negeri yang katanya

tegak kokoh di kaki moral itu

jika yang ada justru

politik uang kalahkan cerdik cendikia

klan kuasa begitu rakus

gulung sosok kualitas

dan rakyat malah dirayu dengan uang

bukan program

kemanakah etika itu

mesti dicari

kalau jejaknya pun kini

tak lagi berjejak

                                  Palembang, 2  Juli 2014

 

Pendewa Citra

siapa bilang aku menyekutukan tuhan

sebab hanya sebuah citra

yang kudewakan

kalaupun ada simulacra atau tipuan

tak pantas pula kau sebut

keharaman

belgedes! mestinya malah kau sebut

aku pahlawan

karena citraku

menebarkan kesuksesan

karena citraku

menguatkan ketentraman

karena citraku

mematikan kekritisan

kalaupun citra

tetap kudewakan

inilah kehendak jaman

dan di sini sungguh aku tak ingin

berseberangan

apalagi sampai melawan

kekuatan jaman

                           Palembang, 16 November 2015

 

Lindasan Beribu Tanda

mana benar mana salah

jika setiap informasi

yang berseliweran

kokoh membakukan validitasnya

apalagi beragam kasus

dengan kepak sayap kepentingannya

datang silih berganti

dan saling menimpa

entah untuk apa

kau rimbunkan kebimbangan

mana benar mana salah

ah…mungkin saja kau sengaja

melindaskan ribuan tanda itu

di batok kepala

agar tak satu pun warga

dapat berpikir ria

dan memetik kejelasan makna

                                         Palembang, 28 Desember 2015

 Kehilangan Paras

siapakah kita

saat parasku dan parasmu

tak lagi terlihat

di latar cermin pusaka

wewaris nenek moyang

apa penanda kita

kala bajuku dan bajumu

juga telah kehilangan warna

terhinggap pekatnya debu peradaban

kini, kita, aku dan kamu

pun hanya bisa berangguk kepala

saat bahuku dan bahumu disetrum

untuk beradu daya

melengkapi kanvas yang tengah dilukis

jungkal balik kursi, gerombolan tikus, hingga bercak darah

di baju seragam sekolah

kini, aku dan kamu

ibarat robot yang terhipnotis

hanya bisa menunggu

kapan ruh nenek moyang merasuk

agar kita kembali tersadar

bahwa kita punya paras

dan penanda

yang tidak hanya bisa berangguk kepala

saat bahu disuruh beradu

dan kanvas leluasa dilukis

                                 Palembang, 6 November 2016

Yuk bagikan berita ini...

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.