Oleh: Afrijal
Mahasiswa Pascasarjana FKIP Universitas Lampung
Pemilu merupakan salah satu pilar utama dalam pelaksanaan sistem demokrasi di Indonesia. Memilih wakil rakyat dan presiden dan Wakil melalui suara pilihan rakyat yang dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, dan jujur sebagai sarana bagi warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan arah dan masa depan negara.
Semangat berdemokrasi pasca reformasi adalah semangat berdemokrasi yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, melalui penyempurnaan pelaksanaannya serta perbaikan peraturan-peraturan yang menghambat demokratisasi. Berdemokrasi pasca reformasi adalah semangat yang menghargai hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, keadilan sosial, dan partisipasi rakyat dalam menentukan nasib bangsa.
Reformasi juga ingin menegaskan fungsi, wewenang, dan tanggung jawab antara lembaga-lembaga ekskutif, legislatif dan yudikatif dalam menjalankan pemerintahan. Oleh sebab itu, semangat ini harus dijaga dan dikembangkan serta diturunkan kepada generasi muda agar demokrasi Indonesia menjadi lebih baik, berkembang dan berkualitas.
Setelah lebih dari dua dekade pasca reformasi, cita-cita demokrasi yang diharapkan rupanya banyak diselewengkan oleh oknum-oknum politisi dan para elit. Hasil survey yang dilakukan oleh LP3ES menemukan bahwa terdapat 31 masalah demokrasi di Indonesia yang dikelompokkan dalam 4 konsep besar, yakni struktural, institusional, kultural dan agensi (LP3ES, 2020).
Lebih lanjut ketika memasuki era disrupsi dimana perubahan terjadi sedemikian rupa, tidak terduga, mendasar dan hampir dalam semua aspek kehidupan masyarakat (Bashori, 2018). Media sosial sebagai wahana atau saluran untuk menyampaikan segala bentuk informasi di era informasi tidak bisa dibendung lagi kebebasan dan keterbukaannya. Keterbukaan informasi, media sosial menjadi salah satu instrument politik yang terkadang disalahgunakan, terlebih menjelang tahun-tahun politik.
Penyalahgunaan keterbukaan informasi ternyata tidak terjadi dalam pemilu saja, namun praktik demokrasi di masyarakat seperti politisasi SARA, bertebarnya kebencian, kabar bohong (hoaks), fitnah, saling memaki dan menghujat di media sosial, hingga tumbuhnya buzzer (pendengung) yang dipelihara oleh oknum tertentu bahkan oleh penguasa yang berujung pada terjadinya politik polarisasi yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Kemendagri (2021) menyebutkan, perjalanan demokrasi Indonesia di era disrupsi dapat dikatakan berjalan secara liberal. Fenomena ini juga diperkuat dengan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2019 dan 2021 menunjukkan bahwa kualitas demokrasi Indonesia telah mengalami pengurangan secara siginifikan yang tidak hanya menyentuh aspek kebebasan sipil dan pluralisme, namun juga fungsi pemerintahan (Jati, 2021).
Ketika kondisi ini terus berlanjut tentu akan mempengaruhi keamanan dan ketertiban di masyarakat. Polaritas yang tinggi dapat menyebabkan konflik sosial dan politik meningkat dan rakyat akan menjadi korbannya.
Menyadari akan bahayanya polarisasi di masyarakat akibat dari pelaksanaan demokrasi yang menyimpang, usaha perbaikan tentu harus dilakukan. Dibutuhkan komitmen bersama dari semua elemen masyarakat, termasuk pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, media, dan masyarakat secara luas untuk membangun demokrasi yang lebih inklusif, transparan, dan berdaya tahan. Masa depan demokrasi Indonesia akan ditentukan oleh kemampuan kita untuk menghadapi tantangan dan memperkuat sistem demokrasi secara keseluruhan.
Pemilu, sebagai momentum partisipasi rakyat dalam menentukan masa depan bangsa, dapat menjadi salah satu trigger perbaikan berdemokrasi. Rakyat harus semakin cerdas dalam memilih, tidak tergiur dengan iming-iming materi sesat dan menggadaikan masa depan bangsa dan negara. Praktik money politic adalah salah satu bentuk adanya kapitalisme dalam pelaksanaan pemilu yang akan melahirkan kesenjangan ekonomi-sosial-politik dan hegemoni segelintir elit terhadap masyarakat (Fachrurozi, 2016).
Sebagai langkah preventif, Generasi Milenial (Gen Y) dapat berfungsi sebagai katalisator untuk pembangunan demokrasi yang berkualitas tinggi dan penyambung estafet budaya demokrasi yang sehat ke generasi berikutnya (Lesmawan,2019). Generasi Z didik dalam alam dan dimensinya oleh sistem, instrumen pendidikan, dan negara sebagai media demokrasi. Kita mesti membangun generasi yang kreatif, kritis, dan mampu menyelesaikan masalah, berkomunikasi, dan berkolaborasi melalui pendidikan politik dan demokrasi dengan menciptakan iklim berdemokrasi yang sehat di masyarakat. Iklim berdemokrasi yang sehat tersebut tentu akan menjadikan anak-anak di masa depan siap untuk hidup berdemokrasi, beretika, kritis terhadap isu di masyarakat, kritis terhadap penyelewengan dan informasi baru, dan dapat bekerja sama untuk menyelesaikan masalah secara efektif dan efisien dimasyarakat.
Pendidikan demokrasi sejak dini bagi generasi muda akan mencerminkan seperti apa demokrasi kita ke depan. Generasi muda sebagai penerus bangsa harus siap memahami nilai-nilai demokrasi, berpartisipasi aktif dalam proses politik dan bertanggung jawab sebagai warga negara. Pendidikan demokrasi membantu anak-anak memahami prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan keadilan.
Dengan pemahaman tersebut, mereka akan semakin sadar akan pentingnya berpartisipasi aktif dalam proses politik dan menghormati kebebasan dan hak-hak warga negara lainnya. Generasi muda didorong untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik dan kemasyarakatan. Mereka diajari pentingnya memilih dalam pemilu, berkontribusi pada organisasi masyarakat, dan mengungkapkan aspirasi dan gagasan mereka.
Pendidikan demokrasi juga akan membantu anak mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan rasional. Mereka diajari untuk mengevaluasi informasi, membangun argumen berbasis bukti, dan membuat keputusan berdasarkan informasi dan bertanggung jawab. Anak-anak belajar tanggung jawab sosial berempati dengan orang lain, memahami perbedaan dan berkontribusi pada kebaikan bersama untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Pendidikan demokrasi dapat menjadi upaya pencegahan radikalisme dan ekstremisme di kalangan generasi muda. Dengan memahami pentingnya dialog, toleransi, dan keterbukaan terhadap perbedaan, siswa dapat melawan narasi ekstrem yang dapat mengancam stabilitas dan harmoni sosial.
Generasi muda yang terdidik dengan baik dalam demokrasi akan menjadi sumber daya manusia yang berkualitas bagi negara. Mereka dapat berperan aktif dalam mengembangkan dan merumuskan kebijakan yang diarahkan untuk kemaslahatan masyarakat.
Dengan demikian, cerminan demokrasi kita ke depan akan tampak lebih inklusif, transparan, dan tangguh, yang merupakan tujuan yang diinginkan dalam membangun sistem demokrasi yang kuat dan berkelanjutan. (*)