Cerpen: Ranjang Pengantin Sudah Berdebu

Sabtu, 21 Agustus 2021
Ilustrasi

Karya : Rusmin Toboali

Alunan suara penyanyi dangdut dari panggung pesta kawinan terus bergemuruh. Hingar bingarkan semesta raya. Bintang-bintang pun terhentak. Sementara kunang-kunang tersenyum. Seolah-olah menikmati cengkok dangdut pelantunnya yang  amat serasi dengan harmoni orkes yang mengiringinya.

Suasana pesta menjadi makin heboh tak kalah penyanyi dangdut itu menarikan tarian goyang paku yang membuat para penyaksi di bawah panggung terpesona. Para penonton bersorak sorai. Takjub dengan atraksi baru ini. Senyum pun mengambang dari sang tuan rumah,sebagai pemilik hajatan. Aksi pedangdut ini tak kalah kelas dengan artis terkenal yang sering mareka lihat di televisi. Hanya beda nasib saja mareka harus tampil di acara-acara kawinan dari kampung ke kampung.

Akew terdiam. Kopi terus diseruputnya dengan diselingi isapan rokok kreteknya. Lirik lagu yang dibawakan penyanyi dangdut di panggung itu membuat matanya nanar. Menyentuh nuraninya. Ingatan lelaki itu menerawang ke kampungnya di mana istri dan anaknya berada.

Advertisements

Yah, setidaknya sudah setahun ini dirinya tidak pernah kembali ke kampung untuk menengok anak dan istrinya. Entah apa kabar mareka malam ini. Sementara tentang kabar keluarganya pun hanya diperolehnya dari teman-temannya yang pulang ke Kampung.

“Masih belum berniat pulang kampung juga, mas?,” tanya Ibu penjaga warung kopi sembari menyodorkan kue kepada Akew. Akew terdiam.

“Kamu itu kepala kelurga dan harus bertanggungjawab kepada keluargamu. Jangan biarkan mareka menunggu dan menunggu. Tak elok dipandang orang. Masa suami membiarkan anak dan istrinya di kampung sementara kamu di sini. Apa kata dunia,” lanjut Ibu warung sembari meninggalkan Akew sendirian.

Akew kembali terdiam. Hanya tatapan nanar matanya terus menjulur ke langit. Seolah-oleh hendak melawan tatapan langit yang cerah. Seakan-akan ingin bercerita kepada langit. Akew sama sekali tak menyangka perjalanan hidupnya mendamparkannya ke daerah ini. Kawasan kota yang ganas dan angker tanpa rasa kemanusian dari penghuninya.

“Ini kota Bung. Bukan kampung. Kalau kalah mental, maka bung akan jadi makanan empuk mareka. Akan jadi sapi perahan kota. Di sini tak ada rasa kasihan. Tak ada basa basi. Yang ada hanya fulus dan fulus. Siapa punya fulus maka dia akan berkuasa,” ujar Suhar sahabatnya sambil menggesekkan ibu jari dengan telunjuknya sebagai sinyal.

Akew masih terngiang dengan kalimat anaknya yang memintanya untuk membelinya sebuah boneka kalau dirinya pulang.

Ah…

Akew kembali menatap panggung hiburan pesta kawinan itu. Penyanyi masih menarikan goyang paku. Sorak sorai penonton terus berdesis. Lirik lagunya seharmoni dengan alunan jiwanya. Tapi penyanyinya yang membuat dirinya tak bisa pulang. Tersandera oleh kemanjaan sang penyanyi. Terkukung oleh gairah malam sang penyanyi.

“Mas harus membantu saya.  Menjadikan saya penyanyi terkenal. Mas kan bisa menulis profil saya di koran atau media sosial. Mas kan punya banyak relasi media. Kalau saya terkenal dan tersohor seperti mereka, Mas akan bahagia juga,” ujar Mira penyanyi dangdut yang dikenalnya dalam perjalanan di Kareta Api dengan diksi manja sambil memeluknya dan menghadiahkannya sebuah kecupan bergairah.

Dan gairah malam Mira yang menggebu bak kuda lumping pula yang membuat Akew belum bisa kembali berkumpul. Tersandera. Terkukung oleh manis madunya gejolak muda Mira yang membuat daya hidupnya seakan manusia muda yang baru terlahir kembali walaupun tanpa harga diri sebagai lelaki sejati. Tersandera dengan aksi malam penyanyi dangdut yang bercita-cita jadi pesohor dangdut.

“Kamu masih mau bertahan di rumah Mira? Melihatnya tiap malam bergoyang bersama pria-pria lain? Mana harga dirimu sebagai lelaki, Bung,” ujar Suhar.

“Mira itu memanfaatkan kepandaianmu menulis untuk kesohoran namanya. Kalau dirinya sudah tersohor, kamu akan dicampaknya di got bersama tikus-tikus got,” lanjut Suhar dengan diksi kesal.

Akew hanya tersenyum kecut mendengar ocehan sahabatnya itu. Rembulan tersenyum. Bintang pun bersinar terang.

Azan Subuh bergemuruh dari corong pengeras suara masjid.  Warnai alam semesta. Orang-orang bergegas menuju rumah Sang Pencipta. Kaum muslimin menyegerakan diri bersujud kepada Sang pencipta.

Di dalam rumahnya di Kampung, Akew mendengar suara kesibukan istrinya memulai pekerjaannya. Dan alangkah bahagianya istrinya ketika membuka pintu melihat Akew datang.

” Ayah. Ayah sudah pulang. Alhamdulillah, ya Allah. Terima kasih Ya Allah,” seru istrinya sambil memeluk Akew.

Dan saat Akew masuk ke dalam rumah dilihatnya kamarnya. Ranjangnya ditiduri anaknya yang masih bermimpi tentang indahnya masa depan mareka. Bermimpi tentang kebahgian bersama ayah mareka. Bermimpi tentang masa depan bersama sang ayah yang kini telah kembali untuk membawa mareka bahagia dan bangga kepada dirinya sebagai ayah.

Karya: Rusmin Toboali

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.