Cerpen: BIAN

Kamis, 5 November 2020
Ilustrasi

Terkadang, hidup sesorang memiliki alur yang berbeda. Hidup sederhana dengan kondisi ekonomi relatif rendah, membuat Bian harus rela berbagi dan mengalah dengan Rusmin, adiknya. Mengapa Bian yang berkulit hitam, berwajah pas-pasan harus selalu menjadi cemoohan orang-orang? Mengapa Bian selalu menjadi kambing hitam antara orang tuanya? Mengapa Bian yang harus berbeda?

SEMILIR angin berhembus kencang, nyiur melambai-lambai beriringan dengan suara ombak yang bekejar-kejaran. Bisikan raja klana sangatlah mendramatisasi suasana pagi hari di Desa Tanjung Labu, desa kecil di pesisir pantai. Biasanya, setiap insan yang hendak menjalani aktivitas akan terhasut dengan suasana seperti ini.

Mereka akan melanjutkan mimpinya yang panjang. Namun tidak dengan seorang gadis yang kini sibuk dengan setumpuk pakaian siap cuci. Tak peduli dengan awan yang sedikit menghitam, udara yang dingin, serta bercak-bercak merah di kulitnya akibat gigitan nyamuk. Gadis itu bernama Bianty, ia sedang sibuk melaksanakan rutinitas paginya yaitu mencuci pakaian.

Persediaan air bersih yang kurang memadai menuntut Bian untuk bolak-balik menuju sumur dan mengangkut air berliter-liter. Mungkin, hal inilah yang membuat fisik Bian semakin kekar. Padahal usia antusias menolong pekerjaan orang tuanya. Ia mampu dan antusias menolong pekerjaan orang tuanya.

Advertisements

“Bian, Emak dan Abah berangkat dulu, jaga Rusmin dan jangan biarkan dia tidur sepanjang hari,” teriak Emak dari dalam rumah. Bian bergegas masuk ke dalam rumah dan cium tangan Emak.

“Tolong jemur ikan asin di bawah meja makan itu ya Nak, doakan Emak dan Abah dapat ikan banyak hari ini supaya besok kita bisa makan enak,” ucap Emak.

“Iya Mak, hati-hati ya Mak,” Bian melambaikan tangan kepada Emak yang mulai menyusul Abah. Bian melihat Abah sedang menyalakan mesin perahu. Memang, profesi Emak dan Abah Bian adalah nelayan. Hal tersebut menyesuaikan dengan mata pencaharian yang dominan di desa. Setiap keluarga di desa itu pasti berprofesi sebagai nelayan. Terkadang, jika memikirkan berlabuh di laut lepas beserta ombak yang menerjang membuat Bian bergidik ngeri. Namun, di sisi lain Bian merasa bangga dengan perjuangan kedua orang tuanya.

Akhir pecan tidak mempengaruhi seorang Bian untuk bersantai-santai. Justru, Bian merasa memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan hari-hari lainnya. Setelah mencuci, Bian akan melanjutkan pekerjaan rumah yang lain. Bian menhembuskan nafas lega saat ia memeras pakaian yang terakhir. Tugas menjemur akan Bian serahkan kepada Rusmin yang kini sedang tertidur pulas.

Dan sekarang Bian akan membangunkan Rusmin teringat pesan Emak untuk tidak membiarkan Rusmin tidur sepanjang hari. Bian masuk ke kamar dan memandangi Rusmin yang tengah meringkuk dalam selimut.

Bian bertanya–tanya dalam hati, jika difikirkan matang–matang, Ia dan Rusmin lahir dari rahim yang sama, aliran darah yang sama, berlindung di tempat yang sama walaupun 1 tahun jarak usia keduanya.

Mereka juga sama-sama duduk di kelas akhir tingkat menengah pertama dikarenakan mendaftar sekolah di waktu yang sama. Tetapi, mengapa Bian sangat bertolak belakang dengan Rusmin? Rusmin yang rupawan bak kembang desa, Rusmin yang cerdas terkadang membuat Bian merendah diri di hadapan orang-orang.

Bian yang selalu dicemooah teman-teman sekelasnya dikarenakan fisiknya yang tidak sesuai dengan adik kandungnya sendiri, Bian yang dituduh sebagai kakak angkat Rusmin hanya bisa bersabar dengan takdirnya. Bahkan Bian merasa 70% kasih sayang Emak dan Abah tercurah untuk Rusmin seorang.

Bagi Bian, kondisi Rusmin yang dimanja oleh Emak dan Abah membuat diri Rusmin menjadi anak yang congkak. Ia bahkan tidak menghormati Bian sebagai kakak kandungnya. Ia suka membentak Bian, menyuruh–nyuruh Bian, bahkan selalu membanding–bandingkan kelebihannya dengan Bian.

Ingin rasanya Bian mengadu kepada Emak dan Abah, tapi pastilah Rusmin yang akan mendapat pembelaan. Namun Bian tidak pernah ambil pusing atas masalah itu. Toh, selagi Emak dan Abah masih menyekolahkan dan memberi makannya, Bian tidak akan menyerah.

“Rusmin, Rusmin ayo bangun hari sudah siang,” Bian menepuk pelan pipi Rusmin dan membuat Rusmin menggeliat layaknya cacing kepanasan.

“Ayo bangun, kita sarapan dulu setelah itu tolong jemurkan pakaian yang sudah ku cuci, “ucap Bian.

“Iya iya, jangan mengoceh terus ah! “ kata Rusmi. Ia pun bangkit dari kasur dengan mengentak-entakkan kaki.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.