Cerpen: Ada Amplop Besar di Rumah Pembesar

Sabtu, 30 Oktober 2021

Karya : Rusmin Toboali

Matahari baru terbangun dari lelap panjangnya. Sinar terangnya mulai menerangi alam semesta. Tanda sebuah kehidupan pun dimulai. Pagi itu, para penduduk desa jalannya tampak bergegas. Tergesa-gesa kesannya. Sepertinya mengejar sesuatu.

Ada yang berkelompok. Ada yang sendirian. Ada pula yang menggendong anak-anak. Mereka tampaknya satu tujuan.

Ya, mereka pagi ini diundang oleh warga desa yang dikenal dengan sebutan sebagai seorang pembesar. Bukan karena rumahnya yang paling besar di desa itu, namun karena Pak Besar – panggilan akrabnya, dikenal sebagai Pembesar di sebuah instansi. Dan tentu saja, sebagai warga jelata, para penduduk desa amat bahagia bisa datang ke rumah Pak Besar. Setidaknya bisa melihat rumah besar Pak Besar yang selama ini tertutup rapat dengan pagar yang tinggi. Dan tentu saja kalau mau masuk ke dalam rumah, harus melapor dulu kepada petugas yang selalu berjaga di depan rumahnya.

Advertisements

Wajah Pak Besar amat sumringah melihat antusiasme warga yang berbondong-bondong datang ke rumahnya. Senyum kebahagian mengambang di wajahnya. Ada kebahagian yang tak dapat dilukiskan dengan narasi. Senyum ditebarkannya ke semua warga yang datang memenuhi halaman rumahnya yang luas dan asri.

“Saudaraku sekalian yang saya hormati. Insya Allah, setiap bulan saya akan memberikan bantuan dan santunan kepada semua warga yang tinggal di Desa ini. Semua ini saya lakukan sebagai bentuk terimakasih saya dan keluarga kepada semua warga Desa ini,” ungkap Pak Besar sembari mulai membagikan amplop kepada para warga desa.

Berita tentang kedermawanan Pak Besar bergema. Bersenandung di alam raya. Dibawa angin yang bertiup. Dinarasikan para pembantunya. Diceritakan para orang dekatnya. Dan semua memuji kebaikan hati Pak Besar.

“Hebat Pak Besar. Sangat dermawan,” ujar Mang Kulul, saat para warga berkumpul di warung kopi di ujung Desa.

“Wajarlah Pak Besar berbaik hati buat warga Desa. Semenjak tinggal di Desa ini, karirnya terus meningkat tajam,” sela warga lainnya.

“Semoga tidak ada ujungnya,” sambung Mang Junai.

Para warga pun tersentak mendengar perkataan Mang Junai. Para penikmat kopi di warkop itu tiba-tiba, terdiam. Membisu. Tak ada yang membantah. Hening. Semua terdiam. Seketika kopi dalam gelas menjadi dingin. rasanya terasa sangat hambar. Hambar sekali.

Berita tentang kedermawanan Pak Besar tentu saja menarik perhatian semua pihak. Gaungnya hingga ke langit tujuh. Mereka membicarakan kedermawanan Pak Besar. Menarasikan kebaikan hati Pak Besar. Memuji aksi Pak Besar. Mereka intinya sangat memuji sikap sosial dan kedermawanan yang diaplikasikan Pak Besar sebagai pejabat tinggi.

“Jarang sekali, ada orang yang berkedudukan tinggi yang memikirkan warga Kampungnya,” ujar seorang warga.

“Benar. Biasanya orang kalau sudah jadi pejabat, sudah tak ingat dengan kita yang jelata ini,” sambung warga lainnya.

“Iya. Semoga saja apa yang dilakukan Pak Besar memang tulus dan ikhlas tanpa ada embel-embelnya,” celetuk warga yang lain.

Sementara itu beberapa sahabat Pak Besar mulai risau dengan aksi sosial yang dilakukan Pak Besar, mengingat dana yang dikucurkan untuk aksi sosial itu mencapai puluhan juta rupiah.

“Izin Pak. Untuk dikoreksi, tentang kegiatan sosial yang Bapak lakukan terhadap warga desa ,” saran seorang sahabat Pak Besar.

“Iya Pak. Dari mana kita mendapatkan dana sebesar itu ke depannya,” tanya sahabatnya yang lain.

“Kalian tenang saja. Uang yang saya bagikan itu kan uang komisi proyek. Bukan uang pribadi saya. Gaji saya tak sebesar itu. Bisa mati kelaparan istri dan anak saya kalau kegiatan sosial itu dari uang kantong pribadi saya,” jelas Pak Besar.

“Aksi sosial itu adalah bagian dari upaya kita untuk menghilangkan jejak. Ini teknik supaya tidak tercium aparat hukum. Kalian kan tahu, KPK sangat gencar melakukan Operasi tangkap tangan,” lanjut Pak Besar.

Mendengar penjelasan panjang lebar dari Pak Besar, para sahabatnya cuma terdiam. Tak ada yang menjawab. Apalagi membantah. Mereka hanya membisu. Seperti patung

Cahaya rembulan malam menyinari alam semesta dengan sinar terangnya. Di langit, kerlap kerlip bintang menambah keindahan malam. Dirumah pak Besar, berbagai jenis mobil keluaran terbaru keluar masuk.

Dan bagi warga Desa, aktivitas lalu lalang berbagai mobil ke rumah Pak Besar seperti malam ini sudah lazim bagi penduduk Desa. Mereka sudah sangat paham sekali. Maklum Pak Besar adalah seorang pejabat tinggi. Wajar bila banyak orang datang berkunjung ke rumah besar itu.

Saat tengah malam, di saat para warga Desa sedang asyik bermimpi tentang masa depan, mereka dikejutkan dengan adanya informasi yang beredar, bahwa Pak Besar ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan. Dalam kegiatan OTT itu, KPK membawa puluhan amplop besar berwarna kuning dari rumah Pak Besar.

Kekagetan warga akhirnya terjawab saat mereka melihat berita dari televisi yang memperlihatkan wajah Pak Besar saat ditangkap KPK di rumahnya dengan barang bukti belasan amplop besar kuning yang dibawa petugas KPK.

“Dari depan rumah Pak Besar, dapat kami laporkan bahwa semalam KPK melakukan kegiatan OTT terhadap seorang pembesar daerah di rumahnya di kawasan desa. Dalam kegiatan itu KPK menyita belasan amplop besar berwarna kuning yang diduga uang gratifikasi dari para rekanan Pemda untuk Pak Besar. Demikian,” reportase seorang reporter televisi.

Para warga Desa hanya terdiam melihat berita itu. Tak ada narasi yang keluar dari mulut mereka. Tak ada lagi puja-puji untuk Pak Besar. Tak ada narasi sanjungan untuk kedermawanan Pak Besar. Tak ada sama sekali. Semua hanya terdiam. Membisu. Bahkan suara televisi pun tak terdengar lagi ditelinga mereka. (**)

Toboali, 30 Oktober 2021

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.