Antara Konservatif dan Pragmatisme Kesenian Tradisional

Penulis: - Jumat, 31 Mei 2024
Ilustrasi kesenian khas sumedang kuda ronggeng yang sedang pentas (Pemkab Sumedang)q
Ilustrasi kesenian khas sumedang kuda ronggeng yang sedang pentas (Pemkab Sumedang)

Mencairkan dua perfektif dengan basic “subjektifitas” sangatlah rumit, apalagi dasar argumentasi yang diberikan syarat akan nilai dan kepentingan. Disatu sisi, landasan etimologi yang sering dijadikan peneduh untuk menyederhanakan arti, ada kalanya kurang cukup memadai bahkan sering menunjukan bias yang tidak berkesudahan.

Tumpang tindih memaknai kata menjadi salah satu bukti empiris, dimana telah terjadi kerancuan pemanfaatan bahasa secara ugal-ugalan. Terlebih bila satu atau dua akar kata dikaitkan dengan persoalan teks maupun konteksnya, ataupun bila keduanya dihadapkan menjadi oposisi biner yang ketat. Singkatnya, kepelikan menjadi kian rumit mana kala kita menjangkarkan kata “konservatif dan progresif” dengan rumusan warna kalimat di atas.

Agar terhindar dari bias dan membebaskan diri dari kepelikan yang kian rumit, penulis meminjam perfektif Freudian terkait seni

“Berkesenian memberikan peluang kepada manusia, untuk melepaskan dorongan libidonya melalui tranformasi ego. Proses transformasi yang lebih dikenal (sublimasi) ini, pada gilirannya mengarahkan energi naluriah dorongan egoistik instinkif dari tujuan-tujuan seksual, ke tujuan-tujuan yang lebih luhur seperti: moral, agama, dan berkesenian. Bahkan lebih lanjut dikatakan “kegiatan seni yang melibatkan pemikiran dan olah rasa individu, menopang terjadinya eksternalisasi dorongan naluriah bawaan untuk diakui secara secara budaya”.

Keberpihakan Freud atas seni dapat digaris bawahi, bahwa berkesenian baginya merupakan kegiatan manusia yang bernilai. Esensi nilai pada kesenian dalam kaitan ini, secara apriori penulis signifikasikan ke dalam dua hal, diantaranya:

  1. Pengarahan dorongan egoistik instinkif dari tujuan seksual ke tujuan yang luhur, karena melibatkan kerja moral, akal, dan perasaan.
  2. Eksternalisasi keinginan individu untuk diakui secara budaya, artinya memiliki kesamaan pranata, pedoman, norma, kebiasaan, tingkah laku, cita-cita, serta kesepakatan dengan bercorak sosial. Berkenaan dengan itu Tjetjep (2000) memaparkan, kesenian sebagai produk atas pemikiran dan olah rasa, mestinya mengakomodir kemanfaatan secara sosial, serta cita-cita yang disepakati bersama. Melalui frem ini sangat cukup membuktikan, bahwa kesenian bukanlah entitas yang pengap lagi tertutup, melainkan komprehensif dan terbuka. Kesenian dalam banyak hal melegitimasi eksistensi manusia, bahkan sebagai bagian yang mengintegrasi dengan budayanya. Desain ini dapat dijadikan perenungan bahwa manusia, kesenian, dan kebudayaan menjadi satu kesatuan yang terikat dan tidak terpisahkan. Dengan nada optimisme Suparlan (1987) menandaskan, kesenian merupakan unsur integratif yang mengikat dan mempersatukan pedoman yang berbeda-beda, menjadi suatu kerangka bulat, menyeluruh, dan operasional serta dapat diterima sebagai hal bernilai. Dasar epistemik yang bersandar dari basis kebudayaan, sekurangnya telah memberikan sinyal dalam menerangkan pertalian dan persinggungan kesenian secara tuntas.

Dengan memposisikan kesenian sebagai subsistem dari kebudayaan, dapat dijadikan rujukan untuk menelusuri manfaat dan fungsinya, dalam kehidupan manusia. Kesenian seperti halnya kebudayaan, dijadikan penopang hidup masyarakat pendukungnya.

Bantu Kami untuk Berkembang

Mari kita tumbuh bersama! Donasi Anda membantu kami menghadirkan konten yang lebih baik dan berkelanjutan. Scan QRIS untuk berdonasi sekarang!


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.