PERJALANAN kehidupan birokrasi di Indonesia selalu dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya. Budaya birokrasi yang telah ditanamkan sejak jaman kerajaan dan kolonial berakar kuat hingga saat ini.
Paradigma yang dibangun dalam birokrasi cenderung untuk kepentingan kekuasaan. Posisi birokrasi yang seharusnya menjadi abdi negara dan abdi masyarakat praktis tak sesuai harapan.
Birokrasi dalam praktiknya justru menjadi tangan panjang kekuasaan. Menjadi ‘abdi penguasa’. Dalam relasinya dengan politik, sejak era kekuasaan politik Orde Lama hingga era Reformasi, birokrasi selalu menjadi alat politik yang efektif dalam upaya melanggengkan kekuasaan
Pemilihann Kepala Daerah atau pilkada serentak di seluruh Nusantara akan dilakukan di bulan November 2024, akibat dampak dari regulasi perundangan undangan di era reformasi.
Terlepas dari kajian Normatif, kita ingin mencoba menganalisis secara empirik atau fakta di lapangan: yaitu sejauh mana hubungan emosional antara pemilih dan yang dipilih (calon kepala daerah: propinsi, kabupaten dan kota).
Dulu saat penduduk masih sedikit contohnya negara kita Athena, pemilihan dilakukan secara langsung dalam perkembangan ilmu ketatanegaraan disebut era ‘demokrasi langsung’.
Demikian juga di pelosok Nusantara di awal terbentuknya komunitas yang berbasis organisasi: juga dikenal demokrasi langsung (pemilihan langsung), seperti pemilihan sosok seorang pemimpin Marga kalau di Sumatera Selatan ataupun juga beberapa model kepemimpinan masyarakat hukum adat (komunitas komunitas yang tersebar di Nusantara yang kaya budaya ini. (Albar s Subari).
Kembali ke topik awal yaitu pertanyaan nya sejauh mana ikatan emosional antara faktor kesukuan (etnis) dengan kemenangan seorang calon kepala daerah itu.
Tentu secara historis hal hal tersebut sudah bisa kita jadikan variabel satu sama lain (variabel dependen dan variabel independen).
Terutama suku suku (etnis) yang mempunyai wilayah dan jumlah penduduk banyak). Misalnya kalau kita di Sumatera Selatan Khususnya muara Enim dasar hukum pembentukan Kabupaten Muaraenim juga tertuang dalam Undang-undang nomor 28 tahun 1959, tanggal 26 Juni 1959 ( https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten ) _ Muara_Enim dengan penduduk asli setempat, seperti ;
Suku Melayu Lematang,
Suku Melayu Rambang,
Suku Melayu Lubai,
Suku Melayu Enim dan
Suku Melayu Semende
Suku Melayu Belido
Sebut saja misalnya suku-suku yang terbentuk sepanjang aliran Sungai Lematang, Rambang, Sungai Enim, Sungai Kelekar dari hulu sampai hilir suatu sungai tempat berdiam suku tersebut.
Kita akan melihat hasil Pilkada Muaraenim mendatang yang akan terpilih dari Suku ke 6 (enam) yang ada di atas. Semoga pilkada menjadikan Tujuan Demokrasi dari Rakyat oleh Rakyat untuk Rakyat. (**)
Penulis: Zainul Marzadi, SH, MH (Dosen Universitas Serasan)