Palembang, Sumselupdate.com – Dr Firman Muntaqo, SH, MH, Dosen Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri) turut menyoroti konflik sengketa antara pedagang di Gedung Pasar 16 Ilir dan pengelola gedung PT Bumi Citra Realty, Kamis (3/10/2024).
Terkhusus konflik yang muncul berawal soal perbedaan pandangan perihal status dari kepemilikan Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (SHM-SRS).
Bagi pengelola PT BCR tak terkecuali Pemerintah Kota Palembang dalam hal ini Perumda Pasar Palembang Jaya memandang SHM SRS yang dimiliki pedagang itu telah habis, mengikuti Hak Guna Bangun (HGB) dari pengelola sebelumnya yang juga telah habis sejak 2016.
Sementara, pihak pedagang tergabung dalam Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) Gedung 16 Ilir melihat SHM-SRS tak memiliki batas waktu.
Lalu seperti apa pandangan Dr Firman Muntaqo, SH, MH, melihat permasalahan yang tengah melibatkan para pedagang dan pengelola dari Gedung Pasar 16 Ilir.
Menurut Dosen Ilmu Hukum Unsri itu dia tak menampik SHM SRS memiliki hubungan dengan HGB yang ada.
“Tetapi ada juga hubungan lainnya yang langsung antara pemilik Satuan Rumah Susun dengan tanah disebut dengan hubungan Magis Religius yang meliputi tanah terdaftar maupun yang tidak. Akibatnya setiap penguasaan tanah kalau terdapat dua pihak mereka harus bermusyawarah,” kata Dr Firman.
Sebelum jauh menjabarkan, Firman menggarisbawahi Hak Kepemilikan atas suatu ruang terdiri dari Penguasaan Permukaan Tanah, Penguasaan di bawah Tanah, dan Penguasaan di atas Tanah.
“Sementara Satuan Rumah Susun merupakan pemilikan ruang di atas tanah beserta bangunannya,yang berdasarkan pada magis religiusnya,” katanya.
Baca juga: Pedagang Pasar 16 Ilir Palembang Gugat PT BCR ke Pengadilan
Yang dimaksud Firman dalam penjelasannya adalah Manusia sebagai subjek hukum, dan dalam berbangsa manusia membentuk pemerintahan.
Oleh sebab itu pemerintah ataupun badan hukum semestinya bergerak ke arah mensejahterakan masyarakatnya.
“Saya kasih contoh revitalisasi Gedung Pasar 16 Ilir, pemegang hak pengelola sebagai badan hukum publik harus memperhatikan kesejahteraan rakyat, kesejahteraan pemiliknya, itulah yang menyebabkan dalam hukum adat dikenal dengan asas optimalisasi pemanfaatan tanah,” jelasnya.
Terlebih kata Firman dalam hukum adat pun, dalam permasalahan sengketa semacam ini dapat diselesaikan dengan cara bermusyawarah.
“Dan itulah (Hukum adat-red) yang melahirkan ketentuan pasal 51 undang-undang Satuan rumah susun,” sebutnya.
Dengan begitu menurut Firman semestinya dalam proyek revitalisasi semacam ini pemerintah perlu ada musyawarah yang menyeluruh antara pemilk SHM SRS tersebut.
Oleh sebab itu menurut pandangan Firman Muntaqo, SHM SRS yang dimiliki masyarakat itu bersifat tanpa batas waktu. (**)