Tambang Barubara Ilegal Telan 11 Korban Jiwa di Muaraenim, Begini Tanggapan WALHI

Kamis, 22 Oktober 2020
Evakuasi tambang batubara ilegal longsor di Desa Tanjung Lalang, Kecamatan Tanjung Agung, Muaraenim

Laporan Endang Saputra 

Muaraenim, Sumselupdate.com — Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebut, ketimpangan penguasaan sumber daya alam antara masyarakat dan korporasi sudah berada dalam tahap puncak peminggiran rakyat atas peri-kehidupan di sektor industri pertambangan batubara.

“Penguasaan ruang sumber penghidupan bagi masyarakat telah dikuasai oleh korporasi mencapai 80 persen. Angka ini belum termasuk penghancuran wilayah kelola rakyat melalui pemutihan tata ruang untuk wilayah pertambangan terlebih lagi pendekatan ekonomi melalui ekstraksi sumber daya alam dan industri ekstraktif terus meningkatkan kapasitas produksinya seiring meningkatnya laju konsumsi industri di pasar,” ungkap Febrian Putra Sopah, Manager Tambang dan Energi WALHI, Kamis (22/10/2020) melalui Whatsapp pribadinya pada media ini, Kamis (22/10/2020).

Lanjut Febrian, akibat dari konflik antara masyarakat dengan penguasaan izin industri ekstraktif, kemudian berdampak pada lingkungan hidup sekitar, seperti sungai dan kesehatan masyarakat, pencemaran lingkungan hidup, dan lain sebagainya yang berdampak pada ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.

Advertisements

Salah satunya dampak serius yang terjadi, katanya, adalah perubahan terhadap sosial ekonomi masyarakat di sekitar area pertambangan.

“Mereka yang awalnya memiliki pengetahuan pengelolaan sumber daya alam di sektor pertanian dan perkebunan beralih bekerja di sektor pertambangan menjadi buruh dan menciptakan tambang illegal,” imbuhnya.

Salah satu fakta yang terjadi di kabupaten Muaraenim, terang Febrian, yang mana terjadi praktik pertambangan illegal yang dilakukan rakyat hingga terjadi tragedi pada Rabu, 21 Oktober 2020 mengakibatkan 11 orang meninggal dunia akibat ilegal mining ini.

Belajar dari kejadian ini, Febrian berharap agar negara segera menghentikan investasi di sektor pertambangan.

“Seharusnya negara memperluas wilayah kelolah rakyat agar negara mengembalikan nilai-nilai kearifan lokal di masyarakat yang telah hilang untuk kesejahteraan rakyat dan menghentikan investasi di segi tambang. Apalagi di saat Pendemi Covid 19 ini negara tidak dapat menjamin ketahanan pangan untuk rakyat akibat ketimpangan penguasaan lahan oleh korporasi tambang dan industri ekstraktif lainnya,” tegasnya.

Terakhir Febrian mengatakan, adanya tambang-tambang illegal ini bukan tanpa sebab. Pemerintah yang membuka investasi besar pada batubara, mengubah kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat.

“Masyarakat sebelumnya lebih mengenal pengetahuan akan pertanian dan perkebunan. Namun karena adanya investasi yang besar pada sektor energi kotor ini, maka masyarakat akhirnya mengambil peran yang mana tambang-tambang illegal inilah salah satu pencaharian bagi mereka,”pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, Tambang Batubara Rakyat atau Tambang Rakyat (TR) di Desa Tanjung Lalang, Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muaraenim, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), dipastikan memakan sebelas korban jiwa.

Hal tersebut dikemukakan Kepala Desa Tanjung Lalang, Edi Anuar kepada awak media, Kamis (22/10/2020).

Adapun kesebelas korban jiwa itu masing-masing Darwis (Tj Lalang), Hardiawan (Tj Lalang), Rukasih (Tj Lalang), Sandra (Jawa Tengah), Joko Supriyanto (Penyandingan), Purwadi (Penyandingan), Zulpiawan (Tj Lalang), Sumarli (Muara Kisam, OKU Selatan), Sukron (Lampung), Umardani (Sukaraja), dan korban terakhir belum diketahui identitasnya.(**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.