Penulis : Nandhy Prasetyo
UNTUK dapat menguraikan konsep “pemanfaatan seni” yang memadai, kita dapat berangkat dari pendekatan estetika. Pembongkaran estetika terutama wilayah keindahan seni, memiliki otoritas dalam menerangkan dalil “pemanfaatan seni” sekaligus posisi binernya. Dalam pengertian orang modern, konsep “pemanfaatan seni” mungkin saja bisa langsung ditafsirkan secara sederhana. Klaim itu tidak sepenuhnya keliru, sejauh makna “pemanfaatan seni” dikonsepsikan secara harfiah, seperti: kegunaan seni, fungsi seni, manfaat seni, praktis seni atau fragmatisme seni.
Namun demikian pembahasan “estetika”, tidak separsial penggalian makna sebelumnya, yakni “pemanfaatan seni”. Premis ini selaras dengan, pengklasifikasian estetika menjadi suatu disiplin yang mandiri, ternyata tidak sepenuhnya memberikan terang dalam pengertian modern.
Terbukti estetika senantiasa tampak malu-malu, membisu, bahkan konsisten untuk tetap berada pada jalurnya yang gelap lagi belantara. Artinya pengertian estetika tidak akan cukup dipahami dengan final, tanpa orasi dan pendasaran yang runut. Oleh karenanya, estetika selalu membuka diri untuk terus diperbincangkan, sebagai suatu entitas yang factual. Yang jelas pada sisi yang berbeda, akan mengalienasi semakin pelik, tatkala pembaca modern mencoba mengandaikan relevansi estetika dengan pemanfaatan seni, secara serampangan.
Kata estetika atau keindahan dalam pengertian Yunani antic, tidak dihanya melekat pada benda seni maupun alam. Estetika atau nilai keindahan ketika itu, memiliki perluasan makna yang mengejawantahkan kualitas etis, seperti: kebaikan dan kebenaran.
Pikiran, sikap, dan perilaku yang baik, mencerminkan nilai-nilai kebenaran, oleh karenanya memiliki kualitas keindahan. Keterikatan antara yang baik, benar, dan indah tercakup dalam konsep “kesetangkupan” atau “summetria”.
Secara umum padanan kata “summetria” merujuk pada makna proporsi, selaras, maupun sebangun. Makna inilah yang kemudian dijadikan sebagai rujukan tingkat keindahan, pada cabang seni Yunani antik, seperti: lukisan, patung, dan bangunan. Makna proporsi, selaras, maupun sebangun, juga dapat disematkan dalam bidang musik (harmoni), dan seni kebahasaan (struktur kata simetris). Pengertian modern yang dengan cepatnya menafsirkan konsep Yunani Antik bercorak formalisme, sudah pasti bias dan menyesatkan. Mengingat focus rumusan keindahan Yunani antik, tidak meletakan sepenuhnya pada idiom-idiom formal yang ada pada objek, atau benda seninya.
Basik pendasaran modern yang semacam ini sudah pasti gegabah, karena mengabaikan begitu saja asumsi kriteria “formal” dalam nalar Yunani antic. Secara sederhana entitas formal Yunani Antic, mengimplisitkan dua hal: pertama kualitas yang ada pada objek atau karya seni, dan kedua, merujuk tujuan atau pemfungsiannya pada yang proporsi, selaras, dan sebangun. Sebagai contoh kriteria formal, seperti: keselarasan, sebangun, seukuran, menjadi prasyarat yang harus dimiliki pada seni bangunan (arsitektur), dan patung, selain mempertegas keindahan tampilan, juga menjadikan bangunan dan patung itu kuat. Seni Arsitek dan patung sangat mementingkan proporsi, keselarasan, dan kesebagunan, agar indah dan kuat fungsi bangunannya. Abstraksi nalar Yunani antic terkait “kesetangkupan” atau “summetria”, dengan demikian, mengejawantahkan persoalan formalisme dan fungsionalisme.
Dengan kalimat lain, Kesetangkupan atau summetria terkait (domain keindahan), dipahami Yunani antic sebagai kemelekatan bentuk dan fungsi. Konfigurasi ini sebangun dengan pengertian modern, yang menjelaskan secara singkat, dua pendekatan besar estetika diantarnya: formalisme dan fungsionalismenya.
Dengan penjelasan ini, makna estetika Yunani antic dan modern dapat dipahami secara sama, yakni formalisme dan fungsionalisme. Estetika atau nilai keindahan pada karya seni dengan demikian, dapat diukur melalui bentuk formal dan fungsinya.
Untuk sampai pada benangmerah penulisan, maka pertama-tama penulis berkonsentrasi pada sisi fungsionalisme, dan sedikit mengaburkan sisi formalismenya. Dengan menginsyafi penilai keindahan karya seni atas dasar fungsionalnya, maka segala bentuk ikhtiarnya menolak konsep disinterestedness.
Konsep yang menganggap, mengevaluasi seni merupakan pekerjaan sia-sia, karena kerja seni tidak boleh tunduk pada hukum diluar seni. Gagasan-gagasan semacam Kant terkait, “keotentikan seni” merupakan kegagalan tafsiran, karena melalaikan proses penciptaan sekaligus penikmatan. Sekecil apapun kesan emosional yang dialami seniman pada saat proses kreatif, merupakan manifestasi langsung dari pemfungsian seni (emosional parsial). Hal yang sama juga dialami oleh sipenikmat, apabila Ia dihadapkan dengan pengalaman estetis. Seminim apapun kesan yang timbul dari sipenikmat, kita dapat menagihnya, dan sipenikmat dengan lancer menceritakan ulang kesan-kesan yang ditimbulkannya.
Terlepas kesan yang diceritakan sipenikmat itu bernada minor maupun mayor, fungsi seni tetap tersirat pada kesannya. Konsep disinterestedness dalam kaitan ini, bahkan dinilai absur karena meninggalkan bagian paling esensial atas karya seni, yakni kualitas keindahan. Karya seni benar-benar bernilai keindahan, sejauh karya seni itu memiliki fungsi kultural dan sosial.
Orang Yunani antic memahami, bahwa apa yang dinyatakan oleh karya seni, bukan hanya tampilan fisik tetapi juga nilai moral. Karya seni pada gilirannya selalu bercorak sosial; ia bercengkrama dan berbicara dengan pemirsanya. Terkait hal itu, Suryajaya menuliskan “Apabila sebuah karya tidak punya landasan yang memadai, maka karya itu pantas dicurigai” Artinya_____Seniman mesti dapat mempertanggung jawabkan karyanya secara rasional, terutama terkait persoalan-persoalan sosial. Dengan demikian estetika atau “nilai keindahan seni” sangat representative, karena dapat diukur berdasarkan fungsi-fungsinya dimasyarakat.
Sebagai jalan pintas sekaligus ikhtiar penulis, dalam Upaya memperoleh dasar argumentative, untuk menerangkan relasi (pemfungsian) seni dan Kesehatan, dibawah penulis sadurkan narasi singkatnya, sebagai berikut:
- Ekplisit______otoritarianisme premis plato, yang menempatkan kesenian pada konteks sosial polis,____:“Orang Yunani antic lazimnya menganggap karya seni, memiliki kapasitas “psikagogik”, atau kemampuan mempengaruhi jiwa”.
- Boethius pada tesisnya, terkait fungsi moral musik: “kaum pitagorean menggunakan musik untuk mengelola suasana batin, sehingga struktur harmoni musik berkorespondensi dengan struktur harmoni jiwa dan raga”.
- Longinus menampakan “kesubliman” bukan sekedar kepiawaian menata kata-kata untuk membujuk dan mengungkapkan keindahan. Esensi “kesubliman”: menghasilkan ekstase, ketakjuban (penasaran: perenungan mendalam), melekat pada sipenikmat, keluar dari pakem (menjebol tatanan), berasal dari bakat alamiah, mengemuka pada karya yang ganjil (tidak indah), mengandung dimensi keakraban (melampaui karya yang lazim).
Ketiga dasar diatas, cukup mengesensikan kaitan estetika dengan pemfungsian seni, lebih jauh lagi memberikan fakta yang koheren, bahwa legitimasi fungsi sosial seni mengayomi ranah Kesehatan.
Dalam Sejarah peradaban umat manusia, tidak ada satupun Masyarakat yang hidup tanpa berkesenian. Oleh karenanya tidak berlebihan, bila dikatakan seni merupakan bagian integral dari manusia. Representasi aktifitas paling mendasar yang dilakukan manusia, seperti: celotehan, gerak, jejak langkah, dalam pengertian yang luas, mengejewantahkan bentuk-bentuk seni.
Melalui skema analisis seperti inilah, yang kemudian sampai pada rumusan bahwa seni merupakan hasil budaya masyarakat. Kesenian pada gilirannya dapat dipahami sebagai penanda identitas, yang membedakan antara Masyarakat yang satu dengan yang lain.
Dengan berpegang pada corak, struktur, dan pemfungsiannya, kita dapat mengidentifikasi dari mana kesenian itu lahir. Sejalan dengan itu Sumardjo menuliskan, identitas masyarakat dapat dilacak dari bagaimana corak, struktur, dan pemfungisannya kesenian. Lebih lanjut Ia memaparkan, seni yang berkualitas termanifestasikan pada “semboyan seni untuk Masyarakat”. Artinya, nilai esensial kesenian di Masyarakat, mestinya diukur dari kegunaannya “kagunan”, seperti seni untuk moral, seni untuk religi, dan seni untuk penyembuhan.
Dalam keyakinan Masyarakat Mondial, penginsyafan pemfungsian-pemfungsian seni, bukanlah sesuatu hal yang sama sekali aneh. Eksistensi pemanfaatan pada kesenian-kesenian tradisional, bahkan masih dapat kita jumpai sampai hari ini. Secara apriori hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar, kesenian tradisional banyak mengakomodir fungsi-fungsi di atas.
Sejalan dengan perkembangannya, pemanfaatan seni pada bidang Kesehatan menjadi suatu pembahasan yang paling banyak dibicarakan. Alegori itu sekurangnya menyimpan dua alasan:
1. Secara hierarki fenomen pemfungsian seni untuk penyembuhan masih berlangsung (eksistensi estetisnya, masih dapat disaksikan): 2. Dinamika perkembangan saint (multidisiplin), contoh spesifik psikologi musik. Contoh algoritma pertama, kesenian terbang cepetan, wayang kulit ritual, dan kuda lumping (Ebeg). Untuk lebih menajamkan algoritma yang pertama, dibawah ini penulis deskripsikan secara singkat, sebagai berikut:
- Terbang Cepetan
Terbang cepetan merupakan salah satu jenis kesenian tradisional, yang menggunakan instrument terbang/ genjring di Brebes. Secara umum kesenian ini menyerupai seni marawis, genjringan, kenceran, sehingga bertalian erat dengan tradisi kesenian Islam (dielaborasikan dengan pembacaan sholawat dan dzikir).
Dari segi eksistensinya, terbang cepetan dapat digolongkan sebagai pertunjukan, karena memadukan unsur musik, tari, dan ritual. Pada umumnya pertunjukan terbang cepetan, dimainkan secara ritmis dengan menggunakan instrument (terbang besar), disertai dengan doa, serta mantra-mantra.
Selain dimanfaatkan menjadi hiburan, kesenian terbang cepetan dijadikan sebagai media penyembuhan, dan pengobatan spiritual bagi Masyarakat pemiliknya. Bahkan pada momen-momen tertentu, pertunjukan terbang cepetan sering dipentaskan warga Masyarakat sebagai ritual, seperti: tolak bala, dan ruatan.
Bagi Sebagian besar Masyarakat mengklaim, bahwa terbang cepetan merupakan jenis kesenian yang sacral, karena berkaitan dengan upacara penyembuhan, tolak bala, dan ruwatan. Dalam perkembangannya terbang cepetan tetap eksis hingga dewasa ini, terutama di daerah Brebes Selatan, seperti: Bumi ayu, Salem, dan sekitarnya. Untuk lebih memberikan pemahaman terkait kesenian terbang cepetan, berikut penulis deskripsikan urutan pertunjukannya.
Susunan pertunjukan terbang cepetan terdiri dari 5 bagian, sebagai berikut:
- Pembukaan diawali dengan pembacaaan doa, dan sholawat oleh sesepuh (pimpinan grup). Doa-doa, dan lantunan ayat suci dibacakan oleh sesepuh (pemimpin grup), untuk meminta keselamatan dan kelancaran acara. Selain dimaksudkan untuk keselamatan dan kelancaran acaranya, pembacaan doa melalui lantunan ayat suci pada hakikatnya bertujuan memperoleh keselamatan anggota grup, keluarga (siempunya hajat), serta kesembuhan sipasien.
- Skema pertunjukan pada kesenian terbang cepetan lebih didominasi oleh permainan musik, dan gerak tarian dari para pemain. Dengan posisi duduk bersila membentuk lingkaran, para pemain memainkan terbang cepetan secara cepat. Hampir setiap anggota grup memiliki peran yang sama, yakni: memainkan terbang, bersholawat, dan menari (gerakan-gerakan kecil mengikuti alunan musik dan lagu). Pada umumnya pertunjukan terbang cepetan dimainkan oleh 5 orang pemain, akan tetapi semakin banyak jumlah pemain, akan semakin bagus dan meriah pementasannya. Bagi grup terbang cepetan, seragam bukanlah bagian yang esensial, mengingat titik tekannya lebih berorientasi pada tujuan pertunjukannya.
- Klimak pertunjukan terbang cepetan terjadi pada saat tarian-tarian yang dilakukan oleh para pemain lebih dominan. Bahkan tidak jarang, sejalan dengan meningkatnya tempo permaianan, nyanyian, dan tarian, sering dibarengi dengan kondisi trance (kesurupan), baik dari pemain maupun penonton.
- Esensi pertunjukan terbang cepetan pada hakikatnya dimulai pada saat kondiri trance Sesepuh grup memulai ritual penyembuhannya, dengan melantunkan Kembali doa-doa (ayat suci tertentu) sambil mendekati, dan mengusap-usap bagian tubuh dari sipasien. Sementara bagi para pemain atau penonton yang mengalami trance, bisa memperoleh “pembersihan” spiritual melalui sentuhan, percikan air, dan asap kemenyan dari sesepuh.
- Prosesi penutupan dilakukan setelah kondisi trance sudah berhasil disembuhkan (dinetralkan) Kembali. Setelah puncak acara, biasanya ditutup melalui doa Bersama. Doa penutupan ini dimaksudkan untuk mengunci energi positif, dan mengusir energi-energi negative.
. B. Wayang Kulit Ritual
Sesuai dengan namanya, “wayang kulit ruatan” merupakan jenis kesenian wayang kulit, yang berorientasi pada tujuannya. Pementasan “wayang kulit ruatan” biasanya ditampilkan secara khusus, untuk upacara atau ritual “ruatan” (menghilangkan malapetaka dan nasib buruk). Secara etimologi “ruatan” berasal dari Bahasa Jawa, yang berarti “membebaskan, membersihkan, atau mensucikan”.
Dalam kaitan ini, pemfungsian wayang kulit ruatan lebih ditekankan pada aspek ritual, yang bertujuan pada pensucian, dan pembebasan diri dari pengaruh negative. Ditengah kemunduran eksistensinya, sebagian kecil Masyarakat Brebes percaya bahwa pertunjukan wayang kulit ruatan, dapat menjadi menyeimbangkan tatanan cosmos. Masyarakat menginsyafi bahwa secara luas pementasan wayang kulit ruatan, menjadi sarana peleburan antara yang badani dan non badani, antara yang fisik dan metafisik.
Pada umumnya setiap pementasan wayang kulit ruatan, seorang dalang memilih dan membawakan lakon-lakon tertentu. Adapun lakon yang disajikan dalam cerita, biasanya dipercaya secara mitologi oleh Masyarakat, berkaitan erat dengan kekuatan-kekuatan yang supranatural. Salah satu lakon yang sering disajikan dalam pertunjukan wayang kulit ruatan, seperti “Murwakala” (cerita yang berkaitan dengan batarakala dan pengaruh-pengaruh negativnya). Selama pementasan wayang kulit ritual, seorang dalang memiliki peranan yang cukup sentral.
Melalui ritual dan doa tertentu, seorang dalang meminta kekuatan pada yang bersifat adikodrati, untuk memperoleh keselamatan dan penyembuhan. Seperti halnya kesenian-kesenian wayang yang lain, pertunjukan wayang kulit ritual merupakan perpaduan, instrumen musik gamelan, tembang Jawa, dan tarian Jawa. Dimensi mistik pada pertunjukan wayang kulit ruatan, justru terletak pada alur cerita yang disajikan, suara gamelan, serta tembang-tembang Jawa-nya.
- Jaran Lumping
Dengan bersandar pada unsur kebahasaan terutama Jawa, Masyarakat Brebes pada umumnya lebih mengenal kesenian ini sebagai “Jaran Lumping”. Penyebutan “kuda lumping” sendiri, merupakan transformasi hasil alih Bahasa, dari Bahasa Nasional yakni Bahasa Indonesia. Bila dirunut dari Sejarah dan komposisi pertunjukannya, jenis kesenian yang satu ini hampir terdapat diseluruh daerah Jawa.
Hanya saja penyebutan pada tiap daerah berbeda-beda, misalnya: Kuda lumping di daerah Jakarta, Cirebon, dan (Jawa Barat) pada umumnya, Jaran lumping di daerah Brebes, Tegal, Pemalang, Ebeg didaerah Banyumas, Purbalingga, Cilacap, Wonosobo, Kebumen, Purwokerto, Purworejo, dan Kutoarjo, Jatilan di daerah Jogja, Solo dan sekitarnya, serta Jaranan di daerah Jawa Timur. Secara garis besar penyebutan kesenian kuda lumping atau jaran lumping, diambil dari property utama yang dibawa para penarinya.
Masing-masing penari menunggani kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu. Kesenian jaran lumping merupakan jenis kesenian pertunjukan, karena melibatkan peraduan unsur musik, nyanyian, tarian. Dahulu instrument musik yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan Jaran lumping adalah gamelan.
Namun demikian, sejalan dengan perkembangannya, instrument yang digunakan sebagai iringan bisa diganti, dengan menggunakan angklung maupun calung. Secara umum keseluruhan jumlah pemain grup Jaran lumping berkisar antara 20 orang, yang masing-masing berperan sebagai: Pawang (dukun), Penari, Wiyaga (pemusik), dan Sindhen (penyanyi).
Masyarakat Brebes, khususnya yang hidup di pesisir Pantai Utara (Pantura), banyak menampilkan Jaran lumping sebagai media penyembuhan, dan pembersihan diri. Mediumisasi penyembuhan dan pembersihan diri terjadi, pada saat pemain atau penonton mengalami kondiri trance (kesurupan).
Kondisi trance atau kesurupan inilah yang kemudian, dipercaya warga Masyarakat sebagai manifestasi dari hal-hal yang bersifat transenden. Setelah mengalami kondisi trance, seorang penari atau penonton tidak sadarkan diri, seringkali mereka menunjukan kemampuan-kemampuan diluar akal. Hanya melalui doa dan mantra dari sangpawang (dukun), seorang penari atau penonton yang mengalami kondisi trance dapat disembuhkan.
Oleh karena itu, tugas utama dari pawang (dukun) saat pertunjukan berlangsung adalah membacakan doa dan mantra, yang ditujukan untuk keselamatan dan kesembuhan. Seperti dua kesenian yang sudah dijelaskan sebelumnya, kesenian jaran lumping dipentaskan warga Masyarakat sebagai ritual penyembuhan, pembersihan, dan pensucian. Jaran lumping merupakan salah satu kesenian tradisional yang sangat kuat kesan mistiknya. Kesan mistik itu timbul dari, property (kuda tiruan), lantunan musik (gamelan+tembangan), tarian, serta sesaji (bunga dan kemenyan).
Algoritma kedua, secara spesifik merujuk pada perkembangan saint, seperti kemunculan multidisipliner. Psikologi musik menjadi salah satu contoh lintas disiplin ilmu, yang banyak mengkaji pemanfaatan seni (musik) untuk bidang Kesehatan.
Dengan berfocus pada penelitian-penelitian musik, dan mengkorelasikan dengan keadaan psikologi manusia, psikologi musik menunjukan hasil kerja yang relevan dan ilmiah. Sebagai bahan perenungan, dibawah ini penulis deskripsikan hasil kerja psikologi musik, yang mengungkapkan (keterhubungan efek musik dengan psikologi manusia):
“Pernahkan pembaca mengamati: 1. Musik yang diperdengarkan dipusat-pusat perbelanjaan, disitulah fungsi musik dimainkan untuk mereduksi ketegangan, atau kelelahan pengunjung. Dengan mendengarkan musik yang menyenangkan, tanpa disadari pengunjung akan betah untuk melihat-lihat, dan tergoda untuk berbelanja.” 2. Musik yang diputar di restoran cepat saji, fungsi musik dimaksudkan membuat pengunjung gelisah, tidak betah, sehingga pengunjung buru-buru menyelesaikan makanan lalu bergegas pergi.”
Pemahaman Masyarakat terkait efek musik pada psikologi manusia, sejatinya sudah berlangsung cukup lama. Bahkan jauh sebelumnya, kepekaan masyarakat mondial terhadap pemanfaatan musik, termanifestasikan pada upacara tradisi, dan ritualnya. Mereka sangat memahami mana musik untuk perang, musik untuk upacara adat (kelahiran, perkawinan, kematian), dan juga musik ritual (Syukur, tolak bala, dan penyembuhan).
Terkait hal itu, secara spesifik Djohan memaparkan, tidak berlebihan bila dikatakan sejak awal Sejarah manusia, musik ikut memainkan peran yang signifikan dalam hal penyembuhan. Bahkan dengan cantik, pertanyaan pada karyanya “mengapa aktivitas musik secara psikologis ada dalam semua budaya”??… sekaligus melegesikan jawaban, keterikatan seni (musik) untuk Kesehatan. (**)