BANK SOBEK
Pagi-pagi
ibuku membuka laci
dan menemukan amplop
berisi doa yang sudah disobek.
“Aku cuma pinjam secuil bulan,” katanya,
“tapi yang sampai ke tangan
hanya seperempat cahaya.”
Tiap hari Minggu,
bank keliling lewat depan rumah
menyamar jadi tukang jamu.
Tapi kami tahu:
jika kami beli segelas,
besok kami harus bayar satu termos.
Ibu mencatat semua cicilan
di buku doa,
di antara ayat-ayat yang mulai kabur
karena air mata dan tinta murah.
“Aku tak marah pada bunga,” katanya,
“sudah kodratnya mekar,
meski tumbuh dari akar hutang.”
Di dapur,
kompor menunggu disulut,
beras menunggu dilunasi,
dan aku,
menunggu gajian yang belum lahir
dari rahim negara yang sibuk selfie.
2025
TAWA DI BAWAH MEJA WARUNG
Kau duduk di atas cangkir
karena tanah pagi itu
terlalu serius untuk diduduki.
Kau putar-putar sendok kecil
dan lahirlah bulan baru
di dasar kopi hitam.
Aku bawa kabar dari masa lalu:
sebuah kenangan yang belum digosok
dalam laci sepatu anak SMA.
“Apa kabar pacarmu yang tak sempat direkam?”
tanya ku sambil mengupas gorengan
yang berisi puisi cinta tidak jadi.
Kau tersenyum
dengan gigi yang ditinggal waktu.
“Kalau aku kangen,
aku cukup mengerutkan alis,”
katamu,
“tapi kalau ingin tertawa
aku butuh langit kedua
dan teman yang tidak takut
mengaku gagal.”
Angin warung membawa kita
ke tengah hutan percakapan absurd:
tentang utang
yang berubah jadi tanaman,
tentang sendal jepit
yang pernah menikah,
tentang suara tawa
yang bisa mengusir cicilan.
Kita tertawa,
dan bumi bergetar sedikit
di titik paling jujur
di peta Jakarta.
2025