Jakarta, Sumselupdate.com – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan, Indonesia tidak boleh menjadi negara gagal dan mengalami kebangkrutan seperti Srilangka dan Ghana. Tidak boleh juga seperti tiga negara lain terancam sebagai negara gagal, yaitu Pakistan, Mesir dan Bangladesh. Indonesia juga tidak boleh terancam mengalami krisis perekonomian, khususnya krisis keuangan yang dikategorikan sebagai kahar fiskal.
“Karena itu, Indonesia perlu menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai produk hukum yang dapat mencegah sekaligus menjadi solusi mengatasi persoalan yang dihadapi negara. Kehadiran PPHN juga untuk menjamin kesinambungan pembangunan, khususnya pembangunan jangka panjang yang akan melampaui beberapa periode pemerintahan,” ujar Bamsoet dalam Diskusi Empat Pilar ‘PPHN Tanpa Amandemen’ di Media Center DPR Jakarta, Rabu (29/3/23).
Hadir sebagai pembicara antara lain Wakil Ketua DPR RI 2014-2019 Fahri Hamzah, Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil, dan Direktur Eksekutif Voxpol Indonesia Pangi Syarwai Chaniago.
Menurut Bamsoet, ada beberapa cara menghadirkan PPHN. Pertama dengan amandemen terbatas. Yaitu, perubahan terbatas UUD 1945 khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 Ayat (1) UUD 1945, yang memasukkan substansi kewenangan MPR menyusun PPHN dan pengawasan pelaksanaan PPHN oleh DPR.
Kedua, tanpa amandemen dengan cara mengubah UU No 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Caranya dengan memasukan substansi mengenai kedudukan TAP MPR RI sebagai peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur yang dapat dibentuk MPR RI dalam rangka pengaturan mengenai PPHN.
Cara ketiga dengan mengubah UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Perubahan dilakukan untuk memasukan substansi mengenai kewenangan MPR RI membentuk PPHN dengan produk hukum berupa TAP MPR. Keempat, PPHN ditetapkan dalam sebuah undang-undang yang mencabut UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Kelima MPR RI menetapkan PPHN sebagai konvensi ketatanegaraan tanpa melalui perubahan produk hukum sebagaimana dalam berbagai poin sebelumnya. Artinya, PPHN bisa dihadirkan tanpa perlu khawatir bakal membuka kotak pandora, yang bisa memantik terjadinya amendemen pasal-pasal lain dalam konstitusi, utamanya terkait perpanjangan masa jabatan presiden yang selalu menyulut gaduh politik.
“Dari lima konsep di atas, konsep kedua dan kelima merupakan konsep terbaik. Karena judicial review dengan mengembalikan kewenangan MPR mengeluarkan TAP baru yang bersifat mengatur atau regeling dan konvensi ketatanegaraan, merupakan sumber hukum tata negara yang memiliki kekuatan hukum mengikat dalam praktik berhukum di Indonesia maupun di dunia internasional,” tandas Bamsoet.
Dikatakan, pengawasan pelaksanaan PPHN dapat dilakukan sesuai sistem ketatanegaraan menurut UUD NRI Tahun 1945. Mekanismenya dapat dilakukan oleh DPR RI berupa pengembalian RUU APBN untuk diperbaiki oleh pemerintah manakala tidak sesuai dengan PPHN.
Misalnya, presiden yang menggantikan Presiden Joko Widodo dalam RUU APBN mendatang tidak memasukkan anggaran untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara, maka DPR RI bisa mengembalikan RUU APBN tersebut. Karena tidak sesuai dengan PPHN yang didalamnya turut mengatur tentang pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke Ibukota Nusantara di Kalimantan Timur. (duk)