Palembang, Sumselupdate.com – Bagi masyarakat Sumatera Selatan, terlebih Palembang, nama H. Marzuki atau “Zuki Gajah” sudah demikian populer. Dia merupakan salah satu tokoh masyarakat yang disegani oleh banyak kalangan. Nama besarnya diakui bukan saja di dunia preman, tetapi juga dalam dinamika sosial politik yang terjadi di Sumatera Selatan selama ini.
Ketokohan dan nama besar tersebut membuat tidak sedikit pejabat publik di Sumatera Selatan yang membangun hubungan baik dengan Marzuki dari waktu ke waktu. Sebut saja mulai dari gubernur, bupati, walikota, politisi, aparat penegak hukum hingga para pimpinan instansi.
Siapa sebenarnya H. Marzuki? Bagaimana rekam jejak hidupnya sehingga dia begitu diperhitungkan di tengah kehidupan masyarakat? Pertanyaan ini setidaknya akan sedikit terjawab melalui tulisan ini yang merupakan hasil wawancara langsung sumselupdate.com dengan H. Marzuki di rumah kediamannya, Rabu (25/4/2018) berikut ini.
Marzuki Lahir di Kertapati Palembang, 28 Oktober 1956, atau tepatnya 62 tahun yang lalu. Dia termasuk salah satu anak dari 10 bersaudara, yang selama masa kanak-kanak menjalani hidup normal seperti layaknya anak-anak di usianya.
Pria yang sejak muda bertubuh besar dan kekar ini sejatinya memiliki cita-cita sebagai tentara. Cita-cita itu pun hampir terwujud. Anak dari pegawai Pertamina ini berkesempatan ikut tes TNI pada tahun 1976. Dia mampu melewati seluruh tahapan tes dengan baik dan sempat terkabarkan dia bakal lulus seleksi.
Tak disangka, nasib pun harus berkata lain. Belum sempat dinyatakan lulus, dia harus berurusan dengan hukum yang membuatnya terlempar dari mimpi menjadi anggota TNI.
“Saya dapat musibah, karena untuk membela diri, terpaksa harus berduel dengan seorang juaro yang datang menantang saya dengan membawa golok dan membuatnya kehilangan nyawa,” kenang Marzuki sembari menyebut juaro yang dimaksud yakni Ujang Pendekar alias Cecep Golok dari 10 Ulu Palembang.
Dia akhirnya ‘tebuang’ atau masuk penjara Fermen Stell, di jalan Merdeka Palembang selama tiga tahun. Dia pun gagal jadi anggota TNI. Bukan hanya dia, orang tuanya pun sangat sedih atas kejadian ini.
Peristiwa tragis tersebut akhirnya ikut mewarnai perjalanan hidup Marzuki. Selama di penjara, dia makin menjadi preman. Dia seakan putus asa, tidak mungkin bakal jadi orang yang benar (baik). Karena itu, semua orang di penjara pun dicobanya, diajaknya berduel, dan ditaklukkan. Begitu keluar dari penjara, nafsu penantangnya semakin menjadi-jadi. Siapa saja yang kuat, dia panggil dan diajaknya berduel.
Diakui Marzuki, dunia kekerasan itu telah dilakoninya cukup lama yakni dari tahun 1976 sampai 2000-an. Selama itu pula kiprah dan eksistensinya sebagai “preman besak” cukup diperhitungkan dan disegani. Bahkan, menurutnya, gawe idak bener ini sudah dilakoninya sampai ke mancanegara yang meliputi Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang, dan Hongkong. Terakhir, pada 2006, dia beroperasi di Thailand selama 4 bulan.
Apa yang dilakukan tersebut, sambung Marzuki, bukan untuk memperkaya diri tetapi diniatkan untuk membantu orang banyak. Hasilnya disedekahkan dengan ikhlas kepada warga yang mengalami kesulitan ekonomi. Bahkan setiap mau berangkat ke mancanegara, dia bersama warga sekitar selalu baca Yaasiin untuk meminta keselamatan.
“Ya Allah, aku tahu gawe aku salah. Tapi aku mohon keselamatan karena apa yang aku lakukan ini untuk membantu orang banyak yang mengalami kesusahan. Alhamdulillah sampai sekarang tidak pernah berurusan dengan aparat hukum dan selamat,” ujar Marzuki.
Dalam sejarah hidupnya, sudah sangat banyak percobaan pembunuhan yang diarahkan kepadanya. Namun, dia bersyukur kepada Allah karena Tuhan masih melindunginya.
Yang menarik, meski cukup lama bergelimang dalam dunia kekerasan, Marzuki memiliki prinsip tersendiri dalam memaknai kepremanannya. “Aku nih bukannya preman yang namanya merampok, nodong, maling, aku tak pernah. Cuma masalah kenakalan remaja. Hanya soal harga diri, aku tidak mau dijajah orang,” tegasnya.
Sosok yang kini menjabat Ketua Harian Paguyuban Masyarakat Palembang Bersatu (PMPB) Sumsel ini pun mengaku tidak risih dengan stigma atau komunitas preman. Karena pandangan preman baginya, bukannya preman yang kategori tukang peras, begal dan menyusahkan orang lain. “Saya tidak jahat, malah benci dengan orang-orang yang suka jahat dan buat onar,” sambungnya.
Selain itu, kepremanannya juga dilandasi nilai-nilai ksatria yang tidak bisa melihat orang susah, tertindas dan diperlakukan sewenang-wenang sehingga wajib untuk ditolong. Atas prinsip ini pula, dia selalu berpesan kepada sanak, dulur, adik, ataupun kakak yang berprofesi sebagai preman untuk selalu mawas diri dan berlaku sewenang-wenang. “Jangan semau kita. Kita ini manusia biasa. Soal rezeki harus diterima dengan lapang dada, jangan menekan dan memeras orang,” himbaunya.
Menurutnya, selama ini dia juga selalu berusaha berpihak kepada kebenaran. Yang benar dikatakan benar. Yang salah dikatakan salah. Karena itu pula, dia merasa bisa diterima dan dihargai semua kalangan termasuk oleh para pejabat publik. Bahkan ini pula yang membuatnya kini memiliki banyak “dulur angkat”.

Ketika disinggung kenapa kini hidupnya terlihat lebih bijak dan ‘alim, Marzuki pun mengatakan bahwa semua itu berkat proses kesadaran hidupnya. Dia tidak ingin selamanya jadi orang tidak berguna. Dia ingin menjadi orang yang benar, berguna, dan bisa menolong orang lain sesuai kemampuannya. Oleh karena itu, dia bertekad akan membela siapa pun yang bersikap santun, ingin maju dan demi kebenaran. Sebaliknya, dia tidak akan membantu orang-orang yang salah, yang sombong, dan takabur.
Termasuk dukungan dalam konteks Pilkada? “Ya. Saya mendukung calon kepala daerah tertentu itu karena moral dan kemampuannya dalam memimpin. Bukan masalah duit atau apa. Saya selalu pegang teguh kepercayaan yang ada. Itu prinsip,” tegasnya.
Di usianya yang semakin lanjut, kini Marzuki mengaku lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah Swt. Bahkan ketika disinggung adanya foto almarhum Abah Anom (Pendiri Ponpes Suralaya, Jawa Barat) dan salah satu tokoh kyai Langitan di dinding rumahnya, dia mengakui bahwa itu sebagai wujud penghormatan kepada para guru yang telah mengajarkannya tentang kesederhanaan hidup dan bagaimana menjadi hamba yang baik. “Salah satu hikmah yang saya petik dari para sosok guru yang mulia ini yakni untuk bersihkan diri ya sholat, berbuat baik, jujur. Lalu tidak ada tempat mengadu, kecuali kepada Allah Swt,” ujarnya.
Dia juga mempunyai keyakinan bahwa Allah paling senang dengan orang yang suka bersedekah. Kalau ada kematian, kita wajib datang. Ada orang sakit, kita harus besuk. Ada orang kesusahan, kita harus bantu. “Kalau kita punya kesan baik, dimana-mana kita akan dikenang dan dihargai orang,” jelasnya.
Marzuki pun sempat berkisah, dulu rumahnya di Kertapati pernah dipasang merk (pengumuman) untuk dijual karena berniat mau pindah ke kawasan Jakabaring. Tetapi niat pindah itu tidak juga terwujud, mengingat merk itu selalu disobek oleh warga. Rupanya warga tidak rela kalau dia sampai pindah dan meninggalkan Kertapati. Warga merasa khawatir dan kehilangan jika tokoh tempat mengadu dan mencari perlindungan sampai meninggalkan mereka.
Menutup pembicaraannya, Zuki Gajah pun mengajak semua orang untuk jangan berhenti bersyukur atas nikmat yang telah dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Termasuk syukur atas nikmat kesehatan, dengan tidak mengkonsumsi narkoba. Baginya, narkoba tidak ada untungnya. Narkoba hanya membawa celaka. Harta habis, sakit-sakitan, pendek umur, masuk penjara, dan harga diri terbuang. “Kalo nak sehat, nak selamat maka jauhi narkoba,” pesannya. (shn)
BIODATA
Nama : H. Marzuki
Lahir : Palembang, 28 Oktober 1956
Anak : 3 (tiga)
Alamat : Jln Ki Merogan Gg Apus RT 2 RW 1 Kelurahan Ogan Baru, Kertapati, Palembang
Jabatan : Ketua Harian Paguyuban Masyarakat Palembang Bersatu (PMPB) Sumsel