Cerpen: Surat lelaki Tua untuk Perempuan Setengah Baya

Minggu, 19 Desember 2021
Ilustrasi

Tidak ada air mata yang keluar dari kelopak mata para pengantar di pemakaman. Gerimis yang tiba-tiba hadir seolah sudah mewakili mereka. Gerimis membuat dedaunan di sekitar pemakaman yang terletak diujung Kampung itu basah kuyup. Gerimis membasahi gundukan tanah yang masih merah.

Para pengantar berangsur meninggalkan pemakaman. Hanya dua orang yang berlainan kelamin dan tampak seusia yang masih bertahan di sana. Sementara gerimis mereka biarkan membasahi tubuh mereka.

“Jadi Ibu yang selama ini mengurus bapak saya?,” Suara seorang lelaki setengah baya terdengar. Tak ada sahutan dari seorang yang disapa dengan panggilan Ibu itu. Kebisuan melanda mereka.

Keduanya beranjak meninggalkan pemakaman sepi itu. Menaiki sebuah mobil merek terkini yang terparkir tak jauh dari pintu masuk pemakaman. Ini pertama kali bagi Ibu setengah baya itu naik mobil. Keduanya kembali menciptakan kebisuan saat berada di dalam mobil.

lelaki setengah baya itu membawa mobilnya menuju sebuah Rumah Makan ternama yang ada di Kota itu. Dan ini bukan pertama kali bagi perempuan setengah baya makan di sini. Sebelumnya kakek tua yang baru saja dimakamkan itu sering mengajak makan di sini saat dirinya mengantar Kakek tua mengambil uang pensiunnya di sebuah bank.

Advertisements

Keduanya tampak sangat lahap menikmati makanan yang tersaji di atas meja. Mereka seolah-olah baru saja mengerjakan sebuah pekerjaan yang menguras banyak tenaga.

“Apakah Ibu tahu apa yang diwariskan ayah saya untuk Ibu dalam surat wasiatnya itu,” tanya lelaki setengah baya itu.

Perempuan setengah baya itu menggelengkan kepalanya. Dia masih asyik menghabiskan lauk pauk yang masih ada di piringnya. Terngiang di otaknya nasehat Sang kakek tua saat mereka makan di warung makan itu, sebelum kakek Tua meninggal.

“Jangan sia-siakan butir nasi yang ada dipiringmu. Makanlah seukuran perutmu saja. Masih banyak orang di luar sana yang masih belum bisa menikmati makanan seperti kita,” ujar kakek tua yang masih terngiang di otaknya.

Sesungguhnya Ibu setengah baya itu tidak mengerti bagaimana dia bisa dijadikan pewaris oleh kakek. Kalau bukan karena secarik kertas yang ada di genggaman tangan sang kakek, ia tidak akan tahu tentang hal ini. Dia juga tidak tahu apa warisan kakek untuknya.

Yang dia tahu, kakek hidup sebatang kara di sebuah rumah kecil yang terhimpit oleh pagar beton dua rumah mewah. Bahkan sebuah pohon besar berdiri tepat di depan lorong menuju rumah kakek, seperti sengaja ditanam agar tidak tampak rumah kumuh berdiri di antara rumah megah. Apa rumah itu yang akan diwariskan kakek tua itu kepadanya?

Selama ini dia tidak pernah mendapati kakek tua mengeluh akan suatu penyakit. Dia hanya sering mendengar kakek batuk-batuk, yang menurutnya lumrah dialami oleh orang setua kakek.

Namun, pagi itu, saat matahari mulai menebarkan senyuman, kakek terlihat lemah. Dengan suara parau, kakek memintanya untuk menemui seseorang yang nama dan alamatnya sudah beliau tuliskan dalam selembar kertas untuk dibawa ke rumah beliau.

Dengan dibantu tetangganya, menaiki sebuah motor butut, keduanya bergegas dia menuju alamat tersebut. Lantas ia menyampaikan pesan kakek dan membawa orang itu ke rumah kakek tua. Sayangnya, sekembalinya mereka di rumah kakek, kakek sudah ditemukan tak bernyawa dengan secarik kertas di genggamannya. Orang itu yang kemudian mengurusi jenazah kakek sampai pemakaman.

“Saya sebagai anak tak habis pikir, bagaimana seorang ayah mewariskan sebuah rumah tinggalnya untuk orang lain,” ujar lelaki setengah baya.

Perempuan setengah baya itu kaget. jantungnya mau copot dari tangkainya.

“Rumah kakek diwariskan kepadaku,” dirinya membatin.

Seorang lelaki perlente memasuki rumah kakek yang kini diurusnya.

“Satu milyar,” ujarnya sembari membuka tas kopernya.

Perempuan itu terkejut. Jantungnya kembali hampir lepas dari tangkainya. Dia diliputi kebimbangan yang teramat dalam yang menjalari sekujur tubuh tuanya. Dia merasa sungguh sangat tidak pantas menjual rumah warisan kakek tua ini. Dan dia tiba-tiba teringat dengan narasi kakek Tua yang ingin rumahnya dijadikan rumah tempat tinggal para orang-orang tua yang ditelantarkan anaknya.

“Saya ingin rumah ini dijadikan tempat tinggal para orang-orang tua yang ditelantarkan anak-anaknya,” desisnya.

“Seperti yang kakek alami?,” tanya perempuan setengah baya itu.

Kakek tua tak menjawab. Wajahnya tiba-tiba digurati kesedihan.

“Mohon maaf bapak. Sesuai amanat pemilik rumah ini, tempat ini akan dijadikan sebagai rumah bagi para kaum tua yang ada di kampung ini,” jawab Ibu setengah baya itu.

Seketika wajah lelaki perlente itu muram. Wajahnya berbalut kesedihan. Air mata tiba-tiba menetes di ubin rumah kakek Tua. Sementara cahaya matahari mulai menipis. Seiring terdengar suara azan Magrib dari corong pengeras suara masjid.

Bersamaan dengan itu, Perempuan setengah baya itu bergegas menuju Masjid. Dari kejauhan tampak oleh mata tuanya sebuah papan nama bertuliskan Rumah Ini Rumah Para Orang Tua terbaca oleh mata tuanya di halaman rumah kakek tua itu.

Toboali, Minggu, 19 Desember 2021

Karya : Rusmin Toboali
Pengirim: Rusmin Toboali

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.