Bukannya Dipangkas, Pusako Sebut Hukuman untuk Jaksa Pinangki Seharusnya Diperberat

Selasa, 15 Juni 2021
Tersangka kasus suap pengurusan pengajuan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari berjalan usai menjalani pemeriksaan di gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (2/9/2020). Kejaksaan Agung dan Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dit Tipikor) Bareskrim Polri memeriksa Jaksa Pinangki Sirna Malasari terkait pengurusan pengajuan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra dari eksekusi Kejaksaan Agung atas kasus korupsi hak tagih Bank Bali.(ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA)

Jakarta, Sumselupdate.com — Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura berpandangan, hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam putusan banding kasus korupsi seharusnya diperberat.

Sebab, Pinangki merupakan penegak hukum dan menjabat Kepala Subbagian Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan ketika terlibat.

“Aparat penegak hukum semestinya diberikan sanksi dengan pemberatan. Bukan memotong vonis hakim tingkat pertama, padahal secara materil perbuatan yang bersangkutan terbukti,” kata Charles, seperti dilansir Kompascom, Selasa (15/6/2021).

Charles menjelaskan, pemberatan hukuman bagi aparat penegak hukum yang terlibat dalam perkara pidana diatur dalam KUHP.

Advertisements

“Ada Pasal 52 KUHP yang berlaku secara umum,” ujar dia.

Menurut Charles, tindakan Pinangki merupakan bentuk praktik mafia hukum karena secara sengaja terlibat aktif dalam perkara yang melibatkan Djoko Tjandra.

“Perilaku yang bersangkutan dapat dikategorikan sebagai bentuk dari mafia hukum, di mana selaku aparat penegak hukum yang bersangkutan justru main perkara dan aktif sebagai pelaku dan bukanlah pihak yang tanpa sengaja atau dengan paksaan terlibat,” tuturnya.

Adapun Pinangki dijatuhi vonis 10 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan.

Pinangki dinyatakan terbukti bersalah melakukan tiga tindak pidana sekaligus. Pertama, menerima uang suap 500.000 dollar Amerika Serikat dari Djoko Tjandra terkait kepengurusan fatwa di MA.

Pengurusan fatwa itu merupakan upaya agar terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra, dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani hukuman dua tahun.

Kemudian, Pinangki terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total 375.229 dollar AS atau setara Rp 5,25 miliar.

Terakhir, Pinangki dinyatakan terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya, dan Anita Kolopaking untuk menjanjikan uang 10 juta dollar AS kepada pejabat Kejagung dan MA demi mendapatkan fatwa.

Namun pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta mengurangi hukuman Pinangki menjadi empat tahun penjara.

Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mempertimbangkan sejumlah hal dalam putusan banding kasus Pinangki. Salah satunya, karena Pinangki dianggap sudah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya.

Hakim juga mempertimbangkan Pinangki adalah seorang ibu dari anak berusia empat tahun sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.(kpc)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.