Seni dan Keindahan dalam Pandangan Santayana serta Keberagaman Kesenian di Brebes

Penulis: - Minggu, 16 Februari 2025

Brebes, sebagai kabupaten terbesar kedua di Jawa Tengah, tidak hanya kaya akan luas wilayah dan jumlah penduduk, tetapi juga memiliki keanekaragaman budaya, seni, dan tradisi yang unik.

Oleh: Nandhy Prasetyo

Bacaan Lainnya

Pandangan George Santayana mengenai seni dan keindahan, sepertinya representative untuk menggambarkan dinamika seni dewasa ini. Sekurangnya hasil atas sikap reflektif itu, dapat mengantarkan sekaligus mengingatkan kita pada bangunan dasar pemikirannya. Argumentatif positivism sebagaimana penanda zamannya, mampu menguraikan pengertian (estetika) filosofis, melalui cara-cara empiris.

Dengan metode dan pendekatan ilmiah, transformasi radikal atas perkembangan seni dan entitas keindahan, dapat dijelaskan secara tuntas. Dalam banyak hal, endapan dari konsep dan gagasan Santayana, mampu menunjukan jalan baru untuk mengkaji seni secara komperhensif.

Kalau sebelumnya pembahasan seni lebih bersifat tertutup bahkan cenderung terisolir, maka nalar ilmiahnya membantu kita dengan celah pemikiran yang baru. Mengekslusifkan seni secara membabi buta, dibanyak fakta berdampak pada sifat arogansi dan penghakiman tanpa dasar.

Lebih jauh entitas seni yang terkaitan dengan ekspresi dan apresiasi, pada gilirannya hanya dapat dijelaskan semacam dokrin. Ahirnya, sublimasi atas kemunduran seni dapat dicegah, dengan cara menilai kualitasnya secara fair.

Terkait dengan penulisan, secara apriori distingsi antara seni tradisional dan modern dapat terjembatani melalui penjelasan yang bijak dan arif.      

Santayana___________“The Sense Beauty (1896)” menerangkan seni dalam pengertian yang luas, yakni entitas pemahaman terhadap dunia. Oleh karena itu, keberadaan seni mestinya memberikan rangsangan kemampuan manusia, untuk mengubah lingkungan menjadi lebih bermakna. Pendasaran seni selalu berkelindan dengan keindahan, sehingga dalam kaitan ini seni dapat dimaknai sebagai produksi kesenangan estetis.

Kata “keindahan” yang melekat pada seni secara gampang diartikan kenikmatan dan kesenangan pada kualitas benda-benda.  Namun demikian Santaya menerangkan, bahwa keindahan merupakan suatu nilai (sebagaimana yang dirasakan seseorang), bukan persepsi terhadap objek, fakta atau relasi. Paparnya keindahan merupakan emosi, afeksi, dorongan kemauan, dan apresiasi.

Setara dengan eksistensi akal, keberadaan nilai keindahan, oleh karenanya hanya dimiliki oleh manusia yang dibekali dengan perasaan, gerak hati, dan interes tertentu. Mensejajarkan eksistensi akal dengan nilai keindahan pada diri manusia, secara harafiah melegesikan kedudukan seni menjadi kian nyata.

Melalui premisnya, Santaya berkesimpulan bahwa keindahan atas seni bersifat intrinsic, positif, dan dapat diobjektivikasikan. Dengan kalimat yang sederhana “keindahan” adalah kualitas yang dimiliki oleh suatu benda. Secara spesifik Ia menandaskan, bahwa objek memiliki daya tarik instrinsik, sehingga kita menyibukan diri untuk mengobservasi dan memikirkannya.

Namun demikian, perlu dipahami bahwa ketertarikan kita yang utama terletak pada aspek nilai, dan bukan objeknya. Terkait hal itu Nyoman Kutha Ratna menuturkan, bahwa nilai lahir melalui reaksi langsung rangsangan vital bagian irasional hakikat kemanusaiaan, yang seolah-olah tidak dapat dijelaskan. Meskipun demikian bukan berarti bahwa nilai lahir tanpa alasan, faktanya kita dapat membedakan sesuatu lebih indah, dari pada sesuatu yang lain.

Percayalah pada ahirnya persoalan keindahan adalah nilai, dimana nilai selalu bersifat positif (tidak ada nilai bersifat negative). Oleh karena itu, tidak ada nilai positif pada tindak kerusuhan, kekerasan, kekejaman, ketidak adilan, kecurangan dan kesewenang-wenangan.

Melalui titik tekan nilai atas seni, Santayana menaruh perhatian total pada keindahan bentuk. Dengan cara radikal Ia mengungkapkan, bahwa bentuk selalu mengacu pada kualitas objek, sehingga menjadi pembeda atas objek-objek yang lain. Oleh karenanya, tujuan ahir karya seni bukan semata-mata hiburan, dan keindahan seni tidak bertolak pada benda-benda, melainkan bentuk.

Konsekwensi logisnya Santayana membedakan antara bentuk dan bahan, sehingga keindahan bentuk tidak dapat mereduksi keindahan bahan. Sama halnya kualitas moral, tidak serta merta dapat digenderalisasi dengan kecantikan wajah seseorang.

Baginya kesenangan merupakan imajinasi, sedangkan nilai-nilai adalah estetika. Peraduan keduanya menjadikan manusia akan lebih bernilai, dimana imajinasi merupakan kemampuan alamiah manusia, yang berperan sebagai intelegensi melalui cara-cara pemahaman. Sementara nilai yang bertolak pada emosi, afeksi, dan perasaan lebih memberikan stimulus pada terbentuknya sistem, kaidah, serta kepantasan. Pada gilirannya ide dan gagasan Santayana menjadi pemantik, bahwa semakin krusialnya peran intelegensi dan emosi dalam diri manusia.

Secara eksplisit dalam kaitan ini, tidak ada lagi alasan bagi kita untuk mengolok-olok dan menolak seni tradisional. Pasalnya semua seni, termasuk didalamnya seni tradisional dapat dibahas serta dikaji melalui mimbar-mimbar nyata, ilmiah, dan empiris. Sudah saatnya kesenian tradisional, diurai dengan pendekatan dan metode yang lebih serius, sehingga lebih bercorak akademis.

Daripadanya dramatisasi sekaligus penghakiman masal atas seni tradisioal, berhasil dijembatani Santayana, mengingat Ia lebih mementingkan keindahan, sebagai: nilai dan bentuk, bukan objek atau benda-benda. Sejalan dengan itu, Rousseau mengingatkan bahwa, karya seni sudah memiliki ciri-ciri dan bentuk tersendiri sebelum menjadi indah.

Relasi seni dan kebebasan manusia

Pernyataan Sartre…….“aku dikutuk bebas” bermakna bahwa tidak ada batasan atas kebebasanku, kecuali kebebasan itu sendiri. Ungkapan kaum eksistensialisme ini, secara sederhana dapat diterangkan bahwa, hakikat manusia terletak pada kebebasannya. Artinya “kebebasan” itu merupakan hak dasar yang melekat dalam diri setiap manusia, baik diranah privat maupun sosialnya.

Kebebasan mutlak dianugrahkan oleh yang adikodrati, sehingga peran negara hanya menjamin dan melindungi hak-hak dasar itu. Secara praktis representasi kebebasan itu kian komplek, mengingat manusia senantiasa dihadapkan dengan berbagai aspek kehidupan.

Namun demikian pengujian atas kompleksitas kebebasan itu sendiri, pada ahirnya menjadi pertimbangan sekaligus penentu kualitas antroposentrisnya yang positif. Oleh karena itu, pembenaran tendensius dengan dalih kebebasan jelas tidak dapat dibenarkan, karena dalilnya yang amoral.

Legitimasi kebebasan itu akan benar-benar merdeka, bila dijalankan dan dipahami melalui cara-cara yang bebas dan membebaskan. Pemahaman ini jangan dipersepsikan sebagai kebebasan yang otonom, karena pada hakikatnya makna kebebasannya bersifat absur dan membelenggu.

Keotonoman kebebasan baru akan niscaya, bila perjalanannya selaras dengan esensi “kesadaran”, entah seberapapun kerdilnya value kesadaran itu. Mengingat bahwa tinggi rendahnya kadar kesadaran seseorang, jelas bertolak dari seberapa besar pengalamannya. Substansi kebebasan dengan demikian, hanya dapat dipahami pada individu yang sepenuhnya otonom.

Jadi pada dasarnya keotonoman itu sendiri tidak berhenti disifat “kebebasan”, melainkan pada keotonoman (keotentikan) manusia. “Kebebasan” dalam kaitan ini merujuk pada kesahihan pendirian, pilihan-pilihan, lengkap dengan pemikiran dan argumentaif yang dewasa. Kiranya tidak berlebihan bila kata “aku dikutuk bebas” mengimplisitkan pembelaan kaum eksistensialisme, dengan jargon “subjektifitas” manusia.

Kita bukan benda “objek” yang terjajah, tetapi “subjek” yang 1000 % bebas dan merdeka. Melalui previlage kebebasan dan kemerdekaan, semestinya mampu menghindarkan kita pada kemungkinan-kemungkinan budaya bisu. Namun demikian, fakta menunjukan bahwa kehendak dan pilihan kita hari-hari ini, terdistorsi sedemikian rupa oleh zaman. Subjektifitas pada gilirannya hanya mampu mentransformasikan diri menjadi manusia kerumunan, dimana pilihan-pilihannya: termasuk seleranya dalam berkesenian, tunduk pada selera massa.

Dengan berpegang pada pemaparan diatas, kita memiliki bekal pengetahuan yang luas untuk tidak skeptis terhadap semua jenis seni. Faktanya paradigma Santayana turut serta, memberikan dalil pelengkap yang memadai, untuk melihat persoalan secara jernih. Pengandaian biner yang secara umum dipahami memisahkan karyaseni tradisional dan karyaseni modern, terlampaui dengan sempurna tanpa celah.

Diatas kertas patut  diinsyafi bahwa Ia mampu, mendudukan karya seni secara proporsional, sehingga menghindarkan kecurigaan tanpa dasar. Secara singkat pendikotomian atas keduanya sudah dapat dikatakan usang, mengingat aspek penilaian sama sekali tidak menjamah kualitas. Baik karya seni tradisional maupun modern semua bernilai, mengingat keduanya lahir dari kesadaran dan proses kreatif. Dalam dunia seni, kondisi ideal bukanlah sesuatu yang utopis, sejauh kita bisa menyeimbangkan prodak estetis secara layak.

Oleh karena itu, pendewasaan sikap apresiasi menjadi suatu kebutuhan yang jauh lebih urgensi. Sudah saatnya Budaya bisu, manusia kerumunan, dan selera massa yang menjadi salah satu penyebab____sikap pesimistik dari sejumlah peran (seniman, pemerhati, budayawan local), harus diahiri.

Di satu sisi rasa kehawatiran itu bukan tanpa alasan, mengingat eksistensi seni-seni modern jauh lebih dominan. Bahkan dalam banyak hal secara apriori penulis sampaikan, lembar-lembar literasi akademis yang mengangkat seni-seni tradisional jauh dari kata cukup. Seandainya ada, penulisan dan pengkajiaannya hanya sebatas prasyarat seseorang, untuk memperoleh gelar tertentu.

Bisa jadi pesona zaman telah mengalihkan pandangan, bahwa seni-seni mondial  merupakan representasi identitas masyarakat. Pesona zaman bahkan membuat kita lalai, bahwa seni-seni mondial merupakan penarasian melalui pengkalimatan yang lain atas Sejarah. Zaman telah mendistorsi sedemikian kerdilnya seni-seni mondial, sehingga kita semua lupa bahwa eksistensi seni syarat akan nilai. Sesederhana apapun esensi seni mondial, (seperti halnya gagasan Santayana), ia membuka diri untuk didekati, diteliti, dan dikaji secara ilmiah.

Brebes sebagai salah satu Kabupaten terbesar kedua di Jawa Tengah, menyimpan berbagai sisi keunikan. Menelusuri nilai-nilai Kabupaten Brebes, tidak akan cukup bila hanya bertolak pada luas wilayah maupun tingkat kepadatan jumlah penduduknya.

Mengingat reifikasi keunikan Brebes sendiri, justru terletak pada aspek-aspek keragamannya seperti: etnis, budaya, bahasa, agama, mata pencaharian, tradisi dan keseniannya. Namun demikian, penginsyafan kekayaan keragamannya, jangan dimaknai secara hierarkis maupun simbolik.

Penolakan makna hierarkis (memaknai secara terpisah setiap aspek), karena studi cultural menerangkan bahwa semua aspek saling bertalian. Sementara penolakan pemaknaan simbolik (memaknai yang ada dipermukaan), karena tidak menjamah akar Sejarah secara tuntas. Kedua premis ini yang akan penulis tawarkan, sebagai refleksi untuk melihat keragaman aspek kesenian secara tuntas. Terlebih dalil pada premis yang kedua “pemaknaan simbolik” dalam kaitan penulisan, yakni pendewasaan sikap apresiasi.

Kesenian sebagai representasi identitas sekaligus penarasian Sejarah dari suatu masyarakat, memang tidak dapat disangkal. Dalam kaitan ini penolakan pemaknaan hierarkis, memiliki argumensi dan dalil yang cukup ideal dalam menjawabnya. Masyarakat daerah Brebes Utara, Brebes Selatan, Brebes Barat, Brebes Timur disatu sisi, pasti memiliki corak dan karaktersitik yang tentu saja saling berbeda. Singkat kata, dunia proksimitas menjadi salah satu faktor penentu, bagaimana masyarakat itu tumbuh. H

al yang sama juga berlaku pada proses kreatif, terutama dalam aspek berkesenian masyarakat. Kesenian masyarakat pesisir jelas memiliki corak dan karakteristik yang berbeda, bila dibandingkan dengan kesenian pada masyarakat yang tinggal dipegunungan. Terlepas didalam proses maupun kegiatan kreatifnya sendiri, bisa bersifat murni ataupun akibat dari percampuran unsur elaborasi seperti akulturasi budaya.

Secara tersirat kesenian Kabupaten Brebes, dapat diklasifikasikan kedalam 4 kategori diantaranya: seni Jawa, seni Sunda, seni religi, dan seni mitologi. Seni Jawa yakni suatu jenis karyaseni yang mengaktualisasikan budaya Jawa, seni sunda yakni suatu jenis karyaseni yang mengaktualisasikan budaya sunda. Seni teologi merupakan suatu jenis karyaseni yang lahir karena keyakinan pada yang bersifat adikodrati, sementara seni mitologi merupakan suatu jenis karyaseni yang lahir karena mitos-mitos.

Adapun secara eksplisit kesenian-kesenian tradisional Brebes diantaranya: tari topeng Brebes, tari topeng sinok, dog-dog kliwon, kuntulan, begalan, tari topeng Losari, wayang kulit Brebesan, wayang golek, jaran lumping, singa deprok, kuda renggong, digul, tek-tek, ronggeng, angklung, calung, sintren, tarling, hadroh, genjring, genjring sulap, burok, benta-benti. Aneka jenis keragaman kesenian diatas, merupakan nama-nama kesenian Brebes yang berhasil diungkap.

Meskipun masyarakat Brebes pada umumnya, hanya mengenal beberapa jenis kesenian yang terkenal saja. Saya meyakini bahwa kemungkinan besar, masih banyak kesenian-kesenian Brebes yang belum berhasil diungkap, demikian halnya saya juga optimis, bahwa dengan mengenal keseniannya, pendewasaan sikap apresiasi” dapat terwujud.

“Sesederhana apapun kesenian kita, ia membuka diri untuk didekati, diteliti, dan dikaji secara ilmiah”.

(**)

Bantu Kami untuk Berkembang

Mari kita tumbuh bersama! Donasi Anda membantu kami menghadirkan konten yang lebih baik dan berkelanjutan. Scan QRIS untuk berdonasi sekarang!


Pos terkait