Opini: Tanpa Etika, Jarimu Bisa Menjadi Harimaumu

Selasa, 28 September 2021

Oleh: Solehun*

Beberapa hari lalu, tepatnya Kamis (23/9/2021), penulis berkesempatan menjadi salah satu narasumber Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 untuk Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan. Pada kegiatan yang dikemas dalam bentuk webinar ini tema yang diangkat adalah “Kemajuan Teknologi, Musibah atau Anugerah?”. Sementara subtema yang penulis bahas dalam kegiatan ini seputar etika digital : jarimu harimaumu!

Bicara “jarimu harimaumu”, mungkin bagi sebagian orang merupakan sebuah hal yang baru. Bahkan tidak menutup kemungkinan ada yang menilainya sebagai peribahasa yang “lebay” atau berlebihan. Bagaimana logikanya jari kita sampai bisa menjelma sebagai harimau, binatang sangat buas yang setiap saat dapat mencelakai itu?

Disebut berlebihan, tentu sah-sah saja. Tapi faktanya, peribahasa tersebut sejatinya serupa dengan peribahasa yang pernah dipopulerkan oleh nenek moyang kita dulu: mulutmu harimaumu! Yakni, sebuah peribahasa yang mempunyai konotasi negatif. Setiap kata yang kita lontarkan, akibat tidak dipikirkan terlebih dahulu, bisa menyakiti orang lain. Bahkan hal itu memiliki efek malapetaka yang sangat besar bagi diri sendiri dan orang lain.

Advertisements

Jikapun peribahasa “mulutmu harimaumu” kini berasimilasi menjadi “jarimu harimaumu”, itu berterima. Ini terjadi akibat masyarakat menyesuaikan dengan perubahan lingkungan yang saat ini dialaminya. Jika dahulu pola komunikasi didominasi secara lisan, sekarang seiring dengan perkembangan teknologi internet (digital) telah cenderung bergeser secara tulisan dengan penggunaan jari untuk mengetik di papan gadget atau keyboard komputer.

Tidak dipungkiri, saat ini jumlah pengguna internet di Indonesia memang cukup besar. Data We Are Social (Januari 2020) menyebutkan, dari total penduduk 272,1 juta, pengguna internet di negeri ini telah mencapai 175,4 juta. Penetrasi internetnya pun cukup tinggi, yakni 64% penduduk sudah terkoneksi dengan internet. Sementara pengguna sosial media sudah mencapai 160 juta jiwa, dengan tingkat penetrasinya sebesar 59% dari total penduduk.

Tingginya penggunaan internet tersebut sepertinya berbanding lurus dengan konfigurasi generasi dominan penduduk Indonesia saaat ini. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020 Badan Pusat Statistik, sebagaimana dirilis oleh Kata Data, diketahui bahwa dari 270,2 juta penduduk Indonesia didominasi oleh Generasi Z (74,93 juta atau 27,94%), Generasi Milenial (69,38 juta atau 25,87%), dan Generasi X (58,65 juta atau 21,88%). Jika ditilik dari tahun kelahiran, masing-masing jenis generasi tersebut adalah mereka yang lahir pada tahun 1997-2012 (Generasi Z ), 1981-1996 ( Generasi Milenial), dan 1965-1980 (Generasi X). Ketiga kelompok generasi ini, menurut hasil penelitian Neilsen (2018), adalah mereka yang memiliki persentase jangkauan internet cukup tinggi di Indonesia.

Data penggunaan internet tersebut menunjukkan betapa konsumsi digital di Indonesia terbilang sudah cukup baik. Namun, yang masih menjadi persoalan, masyarakat Indonesia secara umum ternyata masih kurang memiliki pengetahuan dalam memproduksi sesuatu yang positif di ranah digital (Treviliana Eka Putri, 2021). Terkait fenomena ini, Treviliana yang juga Manager Riset Center For Digital Society/CFDS, FISIPOL UGM ini pun menyetir data Safe.net per 30 Oktober 2020 yang menunjukkan ada 324 kasus pidana terkait Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Di dalamnya, kasus yang dominan adalah pencemaran nama baik (209 kasus) dan ujaran kebencian (76 kasus). Selain itu, yang cukup menarik, ternyata ada 172 kasus yang dilaporkan berasal dari unggahan di Facebook, termasuk Facebook Pages.

Penulis pun melihat betapa etika berdigital di negeri ini masih menjadi persoalan serius. Betapa tidak, berdasarkan Laporan Digital Civility Index (DCI) Microsoft Tahun 2020, ternyata dari 32 negara yang disurvei tingkat kesopanan digital pengguna internet Indonesia berada di peringkat 29 atau menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara. Lebih lanjut, ada tiga faktor yang memengaruhi risiko kesopanan netizen di Indonesia, yakni hoax dan penipuan (47 persen), ujaran kebencian (27 persen), dan diskriminasi (13 persen).

Jika menilik UU ITE, etika berdigital sebenarnya telah diatur dalam  Pasal 27 hingga Pasal 30. Pasal 27 memuat ketentuan penyebaran informasi dan atau dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan atau pengancaman. Pasal 28 memuat ketentuan penyebaran berita bohong yang merugikan konsumen dalam transaksi elektronik, menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Pasal 29 memuat ketentuan pengiriman informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Pasal 30 memuat ketentuan seseorang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses, memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan. Sementara Pasal 45 menegaskan sanksi yang bakal diterima bagi para pelanggar ketentuan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 27.

Sejauh ini telah banyak contoh kasus yang menjerat pengguna perangkat digital di negeri ini. Dilihat dari latar belakangnya, mereka yang terkena kasus itu pun beragam. Ada aktivis, musisi, akademisi, hingga youtuber. Berkaca dari kasus yang ada, kita pun tersadarkan bahwa di era digitalisasi informasi, jika tidak hati-hati dan bijak dalam berdigital, maka jarimu benar-benar akan menjelma menjadi harimaumu. Jerat hukum atau pidana pun dapat menyerang siapa saja akibat “keliaran jari” di dunia maya.

Agar terhindar dari jeratan hukum, sudah sepatutnya setiap bentuk kebebasan berpendapat kita di dalam dunia digital selalu disertai etika. Dalam konteks ini, etika diperlukan sebagai filter untuk menilai baik-buruk atau pantas-tidak pantasnya unggahan kita sebelum di-upload ke publik. Etika juga dibutuhkan agar kita senantiasa terbimbing untuk berkarakter cerdas dan bijak dalam melibati dunia digital. Dengan demikian laman-laman digital pun, secara perlahan tapi pasti, akan bersih dari pernak-pernik kabar bohong (hoax), fitnah, permusuhan, radikalisme, ataupun pelecehan.

Kita sadar,  upaya membuat netizen cerdas dan bijak dalam berdigital bukanlah pekerjaan mudah. Selain dibutuhkan bimbingan dan aksi nyata agar netizen mampu dan terbiasa memproduksi konten kreatif dan positif, juga diperlukan gerakan literasi digital yang massif dan bersifat lintas sektoral. Termasuk yang cukup penting di tengah upaya ini yakni pelibatan dunia pendidikan melalui pengembangan kurikulum literasi digital. Jika “kerja besar” ini mampu dilakukan, kita pun pantas berharap bahwa kemajuan teknologi (internet dan informasi) yang sedang booming saat ini akan menjelma sebagai berkah, bukan musibah! Semoga.

*) Penulis adalah Pemimpin Umum Sumselupdate.com.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.