SETIAP tahun, gema takbir dan hiruk-pikuk penyembelihan hewan kurban menyapa kita dalam perayaan Idul Adha.
Di balik tenda-tenda berterpal biru, di antara timbangan daging dan kantong-kantong plastik yang dibagi rata, sesungguhnya tersembunyi pesan yang jauh lebih dalam dari sekadar ritual.
Kurban bukan hanya seruan keimanan, melainkan juga pengingat bahwa keberlimpahan tidak seharusnya dinikmati sendiri.
Kurban, jika dibaca lebih luas, menyimpan filosofi ekonomi yang revolusioner: bahwa kelebihan yang kita punya—dalam bentuk harta, kekuasaan, atau sumber daya—tidak akan berarti bila tidak dibagikan.
Dalam satu hari, masyarakat yang biasa tak mampu membeli daging, bisa merasakannya. Ini bukan karena mekanisme pasar, melainkan karena dorongan spiritual yang mengajarkan bahwa keadilan bukan urusan statistik, tetapi empati.
Bayangkan jika semangat ini menjadi inspirasi dalam menyusun kebijakan ekonomi nasional. Jika kurban adalah simbol pengorbanan untuk mengurangi ketimpangan sosial, maka bukankah logis jika negara, sebagai entitas tertinggi dalam relasi kekuasaan dan keuangan, juga mempraktikkan nilai yang sama?
Ketimpangan: Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh
Sayangnya, sistem ekonomi kita belum sepenuhnya mencerminkan filosofi kurban itu. Alih-alih menjadi penyalur kesejahteraan, kebijakan negara sering kali justru memperdalam ketimpangan.
Akses terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, modal usaha, hingga kepemilikan tanah masih menjadi kemewahan yang dimiliki oleh segelintir.
Sementara mayoritas rakyat bergulat dengan harga bahan pokok, lapangan kerja informal, dan subsidi yang bocor ke kalangan yang tak membutuhkannya.
Di tengah janji-janji pembangunan, kelompok rentan masih harus berjibaku untuk sekadar hidup layak. Pemerintah memang punya program jaminan sosial, tetapi cakupannya sempit dan kerap tak sampai ke yang benar-benar butuh.
Subsidi seringkali salah sasaran. Pajak terhadap kelompok super kaya berjalan setengah hati, sementara sektor informal yang menyerap tenaga kerja terbesar justru luput dari perlindungan hukum dan sosial.
Kurban sebagai Paradigma Ekonomi
Kurban, dalam dimensi simboliknya, mengajarkan bahwa keberpihakan harus diwujudkan melalui tindakan konkret.
Sebagaimana daging kurban dibagi kepada mereka yang tidak mampu, kebijakan fiskal seharusnya mengalirkan surplus anggaran dari pusat akumulasi modal ke wilayah-wilayah yang tertinggal.
Seperti hewan terbaik yang dikorbankan tanpa syarat, negara pun perlu berani mengorbankan kepentingan jangka pendek untuk keadilan jangka panjang.
Ini bukan sekadar idealisme kosong. Banyak negara membuktikan bahwa redistribusi yang adil justru menciptakan stabilitas dan pertumbuhan yang berkelanjutan.
Maka dari itu, reformasi perpajakan yang progresif, pengalokasian anggaran yang berpihak kepada rakyat kecil, hingga regulasi yang melindungi sektor rentan, harus menjadi prioritas.
Memihak kepada rakyat bukan berarti anti-investasi. Bukan pula memusuhi pasar. Yang dimaksud keberpihakan adalah memastikan bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, punya peluang yang setara untuk berkembang—baik dalam pendidikan, pekerjaan, maupun kepemilikan aset.
Dari Simbol ke Sistem
Inilah tantangan kita: mentransformasikan semangat kurban dari simbol tahunan menjadi sistem yang hidup dalam kebijakan publik. Negara tidak boleh berhenti pada narasi syukur dan doa.
Pemerintah harus hadir sebagai penyeimbang: menjembatani logika pasar yang cenderung eksklusif dengan kebutuhan rakyat yang mendesak.
Dukungan terhadap UMKM, misalnya, tak bisa lagi sekadar jargon. Ia harus diwujudkan dalam bentuk akses permodalan yang nyata, pendampingan bisnis yang memadai, dan perlindungan dari kompetisi yang tak seimbang dengan korporasi besar.
Sektor informal, yang selama ini menjadi penyambung hidup jutaan orang, juga layak mendapatkan legalisasi dan jaminan sosial.
Sektor pangan pun harus dikelola dalam semangat kurban. Jika saat Idul Adha daging dibagi rata agar semua orang bisa merasakan kecukupan, maka negara pun harus memastikan distribusi bahan pokok berjalan adil, harga tetap stabil, dan petani lokal tidak terus-menerus dikalahkan oleh sistem dagang yang timpang.
Mengambil Risiko untuk Keadilan
Kurban juga mengandung unsur pengorbanan. Dalam konteks negara, ini berarti keberanian mengambil keputusan yang tidak populer, tapi strategis. Seperti menaikkan pajak untuk kelompok ultra-kaya, atau mengalihkan anggaran infrastruktur prestisius ke layanan dasar di daerah tertinggal.
Ini bukan langkah yang mudah secara politik, tapi di sinilah letak ujian sejati dari kepemimpinan: apakah berani ‘berkurban’ demi pemerataan?
Apalagi dalam iklim global yang kian kompetitif, negara yang gagal mengelola ketimpangan justru lebih rentan terhadap gejolak politik dan stagnasi ekonomi.
Ketimpangan bukan hanya masalah etika, tapi juga bom waktu yang bisa meledak dalam bentuk kerusuhan sosial, polarisasi politik, hingga delegitimasi pemerintahan.
Dari Iduladha ke Agenda Negara
Idul Adha mestinya tidak berhenti di halaman masjid. Spiritnya harus mengalir ke ruang-ruang pengambilan kebijakan, masuk ke dalam postur APBN, menjadi ruh dalam reformasi agraria, menyusup ke sistem logistik pangan, dan menyatu dalam arsitektur kebijakan sosial.
Karena nilai-nilai luhur dalam ibadah tidak akan berarti jika hanya berhenti sebagai simbol. Ia harus tumbuh menjadi sistem. Maka, seperti daging kurban yang dibagikan tanpa pamrih, sudah saatnya keberpihakan juga menjadi kebijakan, bukan hanya retorika.
Dari kurban ke keadilan, dari empati ke ekonomi, kita ditantang untuk menjadikan spiritualitas sebagai fondasi peradaban yang lebih adil dan manusiawi.
(**)
Penulis: Muhibbullah Azfa Manik kesehariannya Dosen Universitas Bung Hatta, Perguruan Tinggi Swasta Terbesar di Sumatera Barat, Indonesia.