Cerpen: Beban Hidup

Kamis, 9 September 2021
Ilustrasi

Akhirnya, aku pulang ke kampung halamanku hari ini. Di tengah perjalanan, aku kembali teringat pada satu kejadian, kala aku bersitegang dengan ayahku.

“He, kenapa berhenti? Cepat, angkat lagi!” titah ayahku pada satu sore di hari Minggu, tujuh tahun yang lalu, agar aku terus memanggul batu-batu besar dari sungai ke rumah kami, sebagai bahan untuk membangun kamar mandi sekaligus toilet kami.

Tetapi karena aku merasa kelelahan dan badanku pegal-pegal, aku pun mengabaikan perintahnya. Aku duduk saja di samping gundukan batu yang akan kami angkut, sembari mengatur napasku yang memburu.

“Ayo, cepat!” titahnya lagi.

Advertisements

Aku pun mendengus keras, “Sebentar, Pak!”.

Ia lantas bergegas menghampiriku, kemudian menarik kerah bajuku ke atas, agar aku berdiri dan melaksanakan perintahnya.

Secara spontan, aku pun menepis tangannya. “Aku capai, Pak! Mengertilah! Ah!” kataku, tegas.

Dengan raut berang, ia sontak mengangkat tangan kanannya, seperti hendak menamparku. Namun akhirnya, ia bisa menahan diri. Ia lantas melepaskan cengkeramannya dari kerah bajuku. “Jangan manja kamu jadi anak laki-laki!” tuturnya, kemudian berbalik badan dan kembali memanggul batu-batu besar dengan begitu entengnya.

Seketika pula, perasaanku jadi ngeri dan ngilu menyaksikan luapan emosinya.

Atas kejadian itu, aku pun makin tak mengerti perihal kerasnya perlakuan ayah dalam mempekerjakanku. Aku seolah budak, dan dia adalah tuan. Aku seakan tak punya hak untuk menegosiasikan perintah kerja darinya. Padahal, itu jelas berlebihan bagiku. Paling tidak, aku bisa menyaksikan dan membandingkan bahwa teman-teman sepantaranku di kelas II SMP, atau bahkan yang lebih senior, tidak mendapatkan beban pekerjaan dari orang tua mereka seberat yang kudapatkan dari ayahku. Mereka bahkan lebih banyak meluangkan waktunya di hari Minggu untuk beristirahat, melancong, ataupun bermain.

Kukira, keberatanku terhadap perlakuan keras ayahku sangatlah berdasar. Peristiwa di hari Minggu itu, hanyalah buntut dari kekesalanku yang sudah terpendam lama. Pasalnya, atas segala macam perintah kerja yang berat darinya, sudah sekian lama aku terpaksa membendung hasrat mudaku untuk bersenang-senang sebagaimana teman-temanku yang lain.

Masih lekat di ingatanku. Saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku selalu melaksanakan perintahnya tanpa kuasa untuk menolak. Setiap kali hari libur sekolah, aku senantiasa turut dengannya ke kebun di perut bukit. Ketika pulang, aku akan memanggul karungan biji kemiri dengan beban yang berat untuk tubuhku yang lemah. Jikalau pun kami tak sedang memanen biji kemiri, aku pasti akan membawa potongan cabang kayu yang berat sebagai bahan bakar untuk memasak.

Mirisnya, protes-protesku dengan keluhan atau tangisan, tak sedikit pun meluluhkan sikap kerasnya. Ia tak juga memahami bahwa aku adalah seorang anak yang mesti diperlakukan sesuai dengan tahap tumbuh kembangku. Yang terjadi malah sebaliknya. Ia terus saja menggemblengku dengan didikan dewasa, hingga aku melewatkan keceriaan masa kecilku. Ia terus saja memaksaku untuk bekerja lebih giat, yang katanya demi masa depanku juga.

Setelah ketegangan demi ketegangan yang terjadi di antara kami, aku pun berusaha menerima nasibku untuk hidup dengan menguras keringat. Aku berusaha ikhlas melakoni tugasku yang berat sebagai seorang anak yang memang lahir dari keluarga yang pas-pasan. Sampai akhirnya, aku jadi terbiasa dan tidak lagi merisaukan kenyataan hidupku yang berbeda dengan teman-temanku, yang memang tampak berasal dari keluarga dengan perekonomian yang lebih baik.

Pada waktu-waktu selanjutnya, sepanjang masa SMP dan SMA, aku terus menjadi seorang anak yang manut pada perintahnya. Setiap pekerjaan yang ia instruksikan, senantiasa kulaksanakan tanpa banyak cincong. Telebih, aku merasa memang harus menjaga harga diriku sebagai lelaki yang bukan anak kecil lagi. Aku tak ingin terlihat cengeng dan manja. Hingga akhirnya, aku jadi tampak lebih dewasa daripada teman-teman seumuranku, baik dari segi fisik maupun mental.

Akibat keadaanku itu, aku acap kali mendapatkan singgungan dari teman-temanku. Mereka menyindir penampilanku yang jauh berbeda dari tampakan lelaki seusiaku. Mereka menertawakan tampak badanku yang katanya serupa badan para kuli atau binaragawan. Tetapi aku tak pernah terpancing untuk membalas mereka dengan bentakan atau hantaman fisik. Aku tak ingin kejengkelanku membuat mereka makin tertarik untuk mengolok-olokku.

Tetapi diam-diam, aku merasa sangat tidak percaya diri atas tampilan ragaku. Aku merasa tidak setingkat dan sederajat dengan teman-temanku. Karena itulah, aku jadi ingin mendewasa secepat mungkin. Aku ingin tampilan fisikku sepadan dengan kenyataan kehidupanku. Hingga akhirnya, setelah tamat SMA, aku memutuskan untuk merantau ke kota dan mencari pekerjaan yang serasi dengan bentuk tubuhku. Dan beruntung, aku berhasil menjadi seorang satpam di sebuah perusahaan, sehingga aku terbebas dari segala macam pandangan yang merendahkan.

Namun sesungguhnya, aku masih sedikit beruntung di tengah didikan ayahku yang keras. Setidaknya, ibuku memiliki sikap yang berbeda. Ia sangat memerhatikan keadaanku sedari dahulu. Ia memahami bahwa aku tak semestinya menjalani hidup dengan beban yang begitu berat di masa kecilku. Tetapi ia tak bisa juga menghindarkanku dari keadaan itu, sebab kami memang hanya bisa bertahan hidup dengan meneteskan peluh, termasuk dirinya sendiri.

Belum lagi, di dalam tatanan keluarga kami yang konservatif, ibuku memang berpasrah saja bahwa aku sepatutnya mengikuti pengajaran ayahku sebagai sesama lelaki. Katanya, aku harus bersabar untuk terus menyesuaikan sikapku dengan sikap ayahku. Apalagi, ia menduga bahwa sikap ayahku memang merupakan perwujudan dari wataknya yang keras, yang terbentuk dari kehidupannya yang keras pula sejak masa kanak-kanaknya.

Perangai keras ayahku itu, rasa-rasanya, memang telah mendarah daging. Itu karena berdasarkan pengisahan ibuku, ayahku lahir dan tumbuh di dalam keluarga buruh bangunan yang miskin. Katanya, ayahku bahkan harus putus sekolah karena kemelaratan, hingga sempat menggelandang sebagai pemulung dan pengemis. Sebab itulah, ibuku berpesan agar aku patuh saja melaksanakan perintah ayahku, sebab sifatnya memang tak mungkin diubah.

Terlebih lagi, ibuku pun pernah menceritakan kepadaku, bahwa dahulu, ayahku adalah seorang atlet angkat besi. Katanya, ayahku bahkan pernah beberapa kali mewakili kabupaten kami untuk berlaga di ajang angkat besi tingkat provinsi, tetapi ia tak pernah berhasil mendapatkan juara. Ia pun berkeras mencoba pada kesempatan-kesempatan yang lain, tetapi ia bahkan tak lagi bisa memenangi tahap seleksi untuk menjadi atlet perwakilan.

Akhirnya, atas kenyataan itu, ibuku pun menduga bahwa ayahku punya dendam masa lalu terhadap cita-citanya untuk menjadi atlet angkat besi yang sukses. Ibuku menduga bahwa ayahku merasa gagal menjadi seseorang yang tangguh dan kuat sebagaimana yang ia harapkan. Karena itu pula, ibuku mengira bahwa ayahku tak ingin jikalau aku tumbuh menjadi seorang lelaki yang lemah secara fisik.

“Kamu sabar, ya, Nak,” pesan Ibuku, pada satu hari, tiga tahun yang lalu, setelah kami kembali menyinggung perihal didikan ayahku dan kehidupan kami yang keras. Ia menyatakan itu menjelang perantauanku mencari kerja di kota, setelah hidupku tak tentu arah di kampung, sebab penghidupan dari hasil bertani memang tak menggairahkan, dan ayah-ibuku tidak punya biaya yang cukup untuk menguliahkanku.

“Aku paham, Bu,” balasku, kemudian melayangkan senyuman.

Ia lalu mengusap-usap punggungku. “Maafkan aku, dan ayahmu, jika selama ini, kami tak bisa memperlakukanmu seperti anak-anak yang lain,” tuturnya, dengan raut menyesal. “Aku yakin, kelak, kau akan mendapatkan hikmah atas perjalanan hidupmu sendiri. Aku yakin, kelak kau akan menjadi orang yang sukses. Yang penting, kau senantiasa bersabar dan tak menaruh dendam atas masa lalumu.”

Aku lekas mengangguk dengan pemahaman yang penuh. “Amin, Bu.”

Ia pun tampak tenang dan senang atas sikapmu.

Dan akhirnya, hari ini, aku pulang ke kampung halamanku dengan sudut pandang yang berbeda perihal makna kehidupan. Aku pulang sembari membawa cerita bahwa aku telah mengukir jalan kemenanganku setelah berhasil mendamaikan masa laluku dengan masa depanku.

Tetapi kukira, ayah dan ibuku telah menanti-nanti kedatanganku di rumah. Aku yakin bahwa mereka telah mengetahui perihal kemenanganku, setelah selama tiga hari kemarin, pemberitaan soal diriku bermunculan di media massa dan media sosial.

Sampai akhirnya, aku tiba menjelang sore.

Seketika pula, untuk pertama kalinya, aku melihat ayahku menangis.

Dengan begitu saja, kami pun saling menghampiri dan saling memeluk.

“Selamat, Nak. Kau membuatku bangga,” tuturnya kemudian, dengan raut haru, sambil menepuk-nepuk lenganku.

Sungguh, aku merasa sangat tersentuh. “Terima kasih, Pak. Terima kasih telah mendidikku menjadi lelaki yang kuat dan tangguh,” balasku, sembari mengusap air mataku.

Ia pun mengangguk dan tersenyum.

Akhirnya, saat kemudian, aku pun mengalungkan medali emasku di lehernya, yang kuperoleh dari kejuaraan angkat besi tingkat nasional.

Ia pun tampak sangat bahagia.***

Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa disapa melalui Twitter (@ramli_eksepsi).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.