Jakarta, Sumselupdate.com – Anggota MPR dari Kelompok DPD, Dr Abdul Kholik, SH, Msi, mengatakan, tiga lembaga parlemen, MPR, DPR, dan DPD, masing-masing bisa saling berfungsi dan tidak saling menegasikan.
Ketiga lembaga parlemen bisa saling berkolaborasi. DPR dan DPD juga bisa menjaga ruang partisipasi rakyat yang lebih maksimal lagi.
“Jadi tidak perlu lagi mempersoalkan penguatan DPD. DPR dan DPD pun bisa menjaga ruang partisipasinya lebih maksimal lagi,” katanya dalam Bicara Buku bersama Wakil Rakyat dengan tema ‘Parlemen Kolaboratif, Parlemen Efektif, dan Partisipatif’ di Ruang Delegasi Lantai 2, Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (30/8/2024) pukul 17.00 WIB.
Turut berbicara Wakil Ketua DPD Sultan Baktiar Najamudin, anggota MPR Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, dan Pustawakan Madya Yusniar. Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat ini dihadiri Plt Sekretaris Jenderal MPR Siti Fauziah, Kepala Biro Humas dan Sistem Informasi Anies Mayangsari Muninggar, perwakilan mahasiswa UI, mahasiswa Perguruan Tinggi Hukum Militer, alumni Universitas Jenderal Soedirman, pejabat struktural dan fungsional di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR.
Abdul Kholik menawarkan solusi pelembagaan trikameral fungsional untuk mengatasi problematika parlemen Indonesia. Berawal dari amandemen UUD 1945 yang memperdebatkan soal bikameral (dua kamar).
Ada yang menginginkan strong bicameral, ada yang mengatakan tidak perlu bikameral, dan ada yang lebih moderat, yaitu soft bicameral. “Tetapi faktanya sistem parlemen kita adalah Trikameral, karena ada MPR,” katanya.
Abdul Kholik menambahkan, sistem Trikameral ternyata tidak efektif. Pertama, meskipun kegiatan MPR banyak, tetapi keputusan yang mengikat hampir tidak ada. Kedua, DPR sangat powerful.
Dalam banyak hal, DPR menjadi sentrumnya. Karena pemerintah bisa ikut legislasi, akibatnya DPR bisa terjebak kembali seperti era sebelum reformasi menjasdi tukang stempel.
Ketiga DPD yang seharusnya sesuai keputusan MK, menjadi pihak dalam salah satu Tripartit (DPR, Pemerintah, DPD), tetapi DPD hanya sampai pembahasan Tingkat I. Pada pengambilan keputusan, DPD tidak diikutsertakan.
“Penerapan mekanisme dan hubungan tiga kamar belum menciptakan model yang kolaboratif, partisipatif, dan efektif.“DPR terlalu dominan, DPD tanpa kewenangan memutus, MPR kehilangan fungsi (disfungsi),” kata senator dari Jawa Tengah ini.
Untuk mengatasi problema parlemen itu, Abdul Kholik menawarkan solusi, yaitu pelembagaan Trikameral Fungsional. Artinya, tiga kamar (MPR, DPR, dan DPD) difungsikan. Penerapannya dalam pembentukan legislasi. Ada dua tahap dalam produk legislasi, yaitu fundamental norm dan instrumental norm.
“MPR difungsikan dengan kewenangan mengeluarkan Ketetapan MPR terutama tentang Haluan Negara. MPR difungsikan sebagai lembaga pengikat ketatanegaraan melalui pemberlakuan Haluan Negara. Haluan Negara mengikat semua lembaga negara. DPR dan DPD difungsikan sebagai pelaksana Haluan Negara melalui pembentukan UU, penganggaran, dan pengawasan,” tuturnya.
Implementasi Haluan Negara diturunkan menjadi instrumental norm oleh DPR dan DPD melalui UU, terutama APBN. Nanti di APBN ada dua cabang, yaitu program menjadi ranah DPD dan Presiden, dan Program dan Anggaran menjadi bahasan DPR dan Presiden.
“MPR sebagai lembaga pengikat ketatanegaran maka melembagakan laporan kinerja tahunan pelaksanaan Haluan Negara oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta BPK,” katanya.
Selain itu, DPR dan DPD difungsikan setara khususnya pada kewenangan terkait Otonomi Daerah dan Hubungan Pusat dan Daerah serta pengelolaan sumber daya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPD Sultan Baktiar Najamudin berpendapat DPD tetap dibutuhkan dan kewenangannya perlu diperkuat.
“Tidak boleh ada benturan DPR dan DPD. DPD jangan menjadi subordinat, DPD jangan menjadi kompetitor dari DPR melainkan berkolaborasi. Jadi, jangan saling mengambil domain. DPD lebih pada kepentingan daerah,” katanya.
Misalnya dalam legislasi, DPD fokus pada UU yang berkaitan dengan otonomi daerah, seperti perimbangan keuangan pusat dan daerah, soal dana bagi hasil, pembangunan desa, dan sebagainya. Sultan Najamudin berpesan agar DPD tidak mengambil kewenangan DPR yang sudah berjalan.
“Banyak caranya misalnya melibatkan DPD dalam pembentukan UU yang pro-daerah,” ujarnya.
Sultan Najamudin meyakini politik dinamis dan setiap saat bisa terjadi momentum untuk penguatan DPD.
“Sekarang track sudah berjalan, berkolaborasi dengan DPR. Suatu saat momentum datang, DPD memang harus diperkuat untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan kita, untuk check and balances, aspirasi dan kepentingan daerah bisa dieksekusi,” katanya. (**)