Ana Al Haqq Dalam Perspektif Jalaluddin Rumi, Syech Siti Jenar dan Ronggo Warsito

Penulis: - Jumat, 26 April 2024
Jalaluddin Rumi
Jalaluddin Rumi

Dalam kehidupan berbangsa bermasyarakat di era modern saat ini orang hanya memandang kehidupan dari sudut pandang sesuai ajaran Dogma yang statis yang telah diatur oleh hukum. Saking banyaknya aturan hukum baik dalam hukum agama maupun hukum negara hingga nyaris melupakan kodratnya bahwa kehidupan ini merupakan rangkaian hukum alam antara mikroCosmos dan Makrocosmos. Apa yang ada pada diri kita merupakan bagian dari alam semesta di Jagad Raya (Sunatullah) yang merupakan hukum alam.

Banyak ajaran ajaran luhur di Nusantara ini nyaris punah karena digerus jaman. Salah satu datangnya atau munculnya ajaran baru secara dogma agama maupun ajaran filsafat modern. Yang menjadikan ajaran luhur peninggalan para leluhur yang penuh dengan nilai nilai spiritualis luhur yang kini nyaris punah.

Bagi orang Jawa khususnya dan Indonesia umumnya, hidup sejatinya sebuah pengabdian dan pencarian. Hakekat pencarian diri selaku hamba yang hidup (urip) dalam spiritualisme Jawa adalah menemukan “Kayu Gung Susuhing Angin” yang merupakan upaya menemukan jati diri. Manakala sudah mampu menemukan susuhing angin di kayu Gung maka akan mengetahui jati dirinya dan Sangkan Paraning diri kita. Itulah sebab dapat dikatakan Teosofi adalah pandangan yang selalu memuja Tuhan berada dalam diri manusia, dimana Dzat Tuhan yang tidak berbentuk yang diidentifikasi sebagai kekuatan imanent dan Transenden

Salah satu ajaran kuno Nusantara yang mulai punah antara lain adalah “Tantra” merupakan ajaran kuno dan rahasia yang diajarkan secara terbatas oleh seorang guru Tantra. Suatu ajaran yang diwariskan dan dijalankan secara turun temurun dan hingga kini masih dipraktikkan dalam bilik bilik rahasia dimana ajaran tersebut bukanlah doktrin atau dogma sebagai mana ajaran ajaran agama samawi dan Hindustan yang dituangkan dalam ayat ayat suci yang diyakini sebagai Wahyu Illahi oleh pemeluknya. Tantra adalah kitab kehidupan yang membumi dalam wujud praktik mistik yang sangat dirahasiakan. Hingga kini belum ada kitab Tantra dalam bentuk buku layaknya kitab Weda, Injil dan Alquran dimana Tantra lebih merupakan jalan spiritual bukan doktrin agama ( I Ketut Sundika, Tantra ilmu kuno Nusantara)

Sedang ajaran Ronggo Warsito dalam konsep Ketuhanan dalam dimensi spiritual tasawuf Jawa dalam beberapa tulisan menjelaskan tentang persoalan keberadaan Allah sebagai Tuhan penguasa alam semesta yang menurut Ronggo Warsito Allah merupakan Dzat Yang Maha Suci yang Qadim Azali serta abadi

Dia tegak sendiri di alam yang masih kosong dan ketika menciptakan makhluknya maka makhluk tersebut merupakan Tajalli nya Dzat yang Maha suci., Dalam kesendiriannya diibaratkan Allah sebagai huruf Alif yang disifati dengan wajib Wujud yang maksudnya keberadaannya tanpa ada menciptakan yang terdapat kaitan erat antara Dzat, Sifat, dan Af, Al (perbuatan) Tuhan dimana oleh Prof Simuh ( 1988: 285 ) memberikan catatan hubungan antara Dzat dan sifat ditamsilkan laksana hubungan antara madu dan rasa manisnya

Meskipun pengertian sifat bisa dibedakan dengan Dzat namun keduanya tidak bisa dipisahkan. Ada madu pasti ada rasa manis , demikian juga hubungan sifat dengan asma Tuhan laksana hubungan matahari dengan sinarnya. Keduanya tidak bisa dipisahkan, dimana ada matahari ada pula sinarnya yang keduanya tidak bisa dibedakan. Sedangkan hubungan Asma dengan Af’ Al (perbuatan) ditamsilkan seperti hubungan benda di muka cermin dengan bayang bayang di cermin. Gerak bayang bayang menandakan gerak benda di muka cermin sedangkan hubungan antara Af’al dengan Dzat diumpamakan Ronggo Warsito laksana hubungan antara ombak di lautan dengan samudranya

Gerak ombak hanyalah mengikuti gerak samudera yang dihempas angin yang merupakan hukum satu kesatuan yang Ronggo Warsito disebut Manunggaling Kawulo lan Gusti yang merupakan manifestasi dari tauhid itu sendiri. Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti adalah cara orang Jawa mempraktikkan ilmu tauhid melalui laku atau tirakat dengan menjalani puasa, menahan tidur, menahan diri dari amarah menahan bicara dan bukan hanya puasa bersifat lapar. Tapi puasa terintegrasi dalam istilah modern saat ini, untuk menguatkan Ruh pada diri kita seperti orang orang sebelum kita

Sedangkan dari sudut pandang Sufi dan filsuf serta pemikir Islam terbesar “Jallaluddin Rumi” dalam buku nya Fihi Ma Fihi menulis soal menyatunya antara mahluk hamba dengan sang Khaliq (Tuhan) dalam ucapan yang sangat terkenal okeh Syeck Lemah Abang atau Siti Jenar “Ana Al Haqq” yang secara harfiah artinya aku adalah Tuhan maha benar.

Sebagian orang mengira itu adalah klaim kehebatan diri. Padahal itu ungkapan kerendahan hati yang luar biasa, saat orang menyatakan “Ana’ Abd Al Haqq (aku adalah hamba Tuhan yang maha benar) ia memastikan adanya dua wujud yaitu dirinya dan Allah dan mengklaim dia hamba paling suci dan benar, Sedangkan saat seseorang menyatakan “Ana Al Haqq” (Aku adalah Tuhan yang Maha benar) maka ia telah meniadakan dirinya dan menyerahkan dirinya kepada angin dan alam semesta alias kosong (suwung) dan Orang yang menyatakan ” Ana Al Haqq” berarti menyatakan aku tidak ada, yang ada serta segalanya adalah Allah, tidak ada wujud kecuali Allah, aku beserta keseluruhan diriku adalah tiada, dimana aku bukan apa apa. Disinilah ada nuansa kerendahan luar biasa dan ini yang tidak dipahami banyak orang hingga kini.

Ketika seseorang mempersembahkan ibadahnya hanya untuk Allah maka ibadahnya selalu ada (Maujud) masih bisa melihat dirinya, melihat tindakannya, dan melihat Allah, dimana ia belum bisa dan mampu tenggelam dalam Nur Cahaya Allah secara total. Pendapat Jalaluddin Rumi tersebut juga merupakan ungkapan dan pendapat dari syech Siti Jenar, (Syech Abdul Jalil, di Keling kec Keling kab Jepara jaman itu pada medio Abad ke 15.) yang saat itu menyatakan “Ana Al Haqq” yang lalu dipolitisasi dalam sejarah seolah Siti Jenar dihukum pancung yang mustahil bagi para wali untuk membunuh sesama wali Allah. Yang ada adalah dimatikan pengaruh ajaran tasawuf nya dari perspektif Syech Siti Jenar menyangkut Manunggaling Kawulo lan Gusti (menyatu nya Hamba dan Tuhan) hal ini juga merupakan intisari dari perspektif Pujangga besar Sang Ngabehi Ronggo Warsito menyangkut Manunggaling Kawulo lan Gusti bahwa pemahaman dalam suatu masalah tergantung sudut pandang dari si pemilik. Yang sebenarnya hampir sama antara sudut pandang Jalaluddin Rumi, Syech Siti Jenar, Syech Abdul Karim Al Jilli serta pujangga Ronggo Warsito sendiri.


Penulis

Agus Widjajanto

Penerhati Sosbud dan Sejarah Bangsa

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.