Jakarta, Sumselupdate.com– Ahli psikologi anak, Vera Hadiwidjojo, menyarankan pemerintah tak perlu menjalankan program kurikuler sebagai istilah terbaru pengganti full day school. Salah satunya alasannya, program kurikuler dapat mengurangi keleluasaan anak melakukan hal yang disukainya.
Salah satu bentuk keleluasaan memilih yang berkurang ialah bermain. Menurut Vera, seperti dilansir antaranews.com, Rabu (10/8), sekalipun anak bisa bermain di sela waktu sekolah, namun sekolah tetaplah tempat terstruktur yang membatasi keleluasaan anak. Ini berbeda dengan suasana di rumah.
“Dalam bermain ada unsur kebebasan memilih, keleluasaan anak untuk melakukan apa yang ia suka. Apakah ini akan terpenuhi ketika anak sekolah full day? Sekolah tetaplah tempat terstruktur yang memiliki aturan atau batasan yang membuat anak tidak seleluasa di rumah dalam bermain,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, ilmu pengetahuan soal kehidupan dan hal lainnya tak melulu didapatkan dari sekolah. Ilmu dari sekolah bukan satu-satunya penentu anak kelak menjadi kompeten, mandiri, dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
“Belajar tidak hanya akademis. Anak belajar tidak hanya di sekolah tapi juga di lingkungan lainnya. Anak belajar kehidupan tidak hanya di sekolah. Sekolah merupakan salah satu bagian dalam kehidupan anak, jadi perlu ada tempat juga untuk lingkungan lainnya seperti lingkungan sekitar rumah,” kata dia.
Belum lagi bila anak memiliki masalah di sekolah, misalnya sulit bergaul dengan teman-temannya. Vera mengatakan, pada kasus seperti itu orangtua dan pihak sekolah perlu terlebih dulu mengembangkan keterampilan sosialisasinya.
Alih-alih memberdayakan peran orangtua, menurut Vera, program kurikuler justru mengambil peran orangtua dalam kehidupan anak.
Wacana perpanjangan jam belajar anak di sekolah, yang kemudian diubah istilahnya menjadi program kurikuler, belum lama ini mencuat dari pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Dia menegaskan wacana ini tak berarti siswa harus belajar sehari penuh. Siswa menjalani pembelajaran formal sampai setengah hari dan selanjutnya dapat diisi kegiatan ekstrakulikuler.
Sebelumnya, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun N Sholeh, juga meminta kajian utuh atas penerapan perpanjangan jam belajar siswa di sekolah alias full day school itu.
“Menteri baru tidak harus membuat kebijakan baru, apalagi tanpa didahului kajian yang matang. Akibatnya justru akan merugikan anak,” kata Sholeh, Selasa (9/8).
Dia mengatakan, kebijakan pendidikan, terlebih yang bersifat nasional, tidak bisa didasarkan pada pengalaman orang per orang dan tidak boleh sepotong-sepotong. Sebab, kebijakan yang diambil akan berdampak sangat luas.
Menurut Sholeh, masing-masing siswa memiliki kondisi berbeda. Siswa satu dengan lainnya tidak bisa disamaratakan. Menghabiskan waktu dengan durasi panjang di sekolah dapat mengganggu hubungan sosial anak dengan teman-teman sebayanya di lingkungan tempat tinggal dan keluarganya di rumah.
Dia pun menilai perpanjangan jam belajar siswa di sekolah akan menyebabkan waktu pertemuan anak dengan orangtua akan berkurang. Apalagi, tidak semua orangtua bekerja di luar rumah sehingga tidak bisa disamaratakan. Ini justru akan berpengaruh dalam proses tumbuh kembang anak. (shn)