Penulis : Agus Widjojanto
Praktisi Hukum, Pemerhati Sosial Budaya, Politik dan Sejarah
KALAU ada yang berpendapat Indonesia saat ini mengalami kemajuan di segala bidang, baik kehidupan sosial, politik, hukum, ekonomi dan pendidikan, adalah pandangan yang menghibur diri sendiri di tengah krisis moral dan etika dari seluruh strata lapisan anak bangsa.
Banyak kasus yang sekarang lagi viral di media dan media sosial yakni kasus kematian vina Cirebon yang menurut beberapa pengamat menyatakan berpotensi terjadi kasus sengkon dan karta terulang kembali.
Terus ada lagi kasus terbaru yakni Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febri ArDiansyah yang dikuntit dua anggota Densus 88, dimana Jampidsus tengah menangani kasus tambang terbesar dinegeri ini.
Bagi masyarakat tentu akan menilai telah terjadi konflik antar penegak hukum, belum lagi kaum muda milenial sudah tidak lagi mengenal budaya lokal warisan leluhur. Pola hidup sudah kebarat baratan dari segi pakaian makanan, gaya hidup dan budaya.
Dalam kontek keagamaan ada keturunan tertentu merendahkan para ahli agama atau ulama asli Nusantara, hingga digugat menyangkut keabsahan nazab nya oleh Kyai Imaduddin Ustman Al Bantani yang lagi viral menunjukan sedang terjadi pergeseran nilai dan pola di masyarakat dalam kaitan berbangsa dan bernegara dimana Indonesia tidak baik baik saja yang perlu terobosan untuk memperbaiki sistem yang dibangun sejak pasca runtuhnya Orde Baru memasuki era Reformasi yang sudah ke luar jalur serta kebablasan.
Dan harapan ini ditujukan kepada presiden terpilih tahun 2024 agar lebih peka dan tanggap bahwa ada yang salah dan perlu dilakukan terobosan radikal untuk memperbaiki .
Fenomena tersebut tidak bisa dilepaskan karena terjadinya degradasi moral dari anak bangsa itu sendiri yang merupakan tugas kita mengajarkan moral dan etika serta cinta tanah air, sopan santun , rasa berbagi, toleransi antar umat beragama karena Negeri ini terdiri dari berbagai suku dan ratusan bahkan ribuan bahasa daerah, harus dimulai sejak usia dini, yang merupakan tugas kita semua seluruh elemen anak bangsa. Baik orang tua, guru tingkat pendidikan dasar, menengah hingga dosen, guru besar pada perguruan tinggi, kaum Agamawan, budayawan serta pejabat negara selalu pengambil kebijakan.
Sementara sistem pendidikan kita dalam proses belajar mengajar sudah dibuat sedemikian rupa seperti sistem pendidikan di Eropa, dimana pada usia dini sudah dijejali matematika, logaritma, Bahasa asing yang merupakan pelajaran berat yang merupakan porsi pada pendidikan menengah atas dan pada level lebih tinggi yang justru menghapus beberapa mata pelajaran Budi Pekerti, Cinta Tanah Air, penghormatan terhadap guru, sopan santun, bahasa daerah, serta sejarah bangsa nya.
Agar tetap melekat pada usia dini tersebut merupakan dasar dari membentuk karakter anak dan manusia seutuhnya dikemudian hari.
Di Jepang yang merupakan negara maju dan negara industri sistem pendidikan mengajarkan pada usia kelas satu hingga kelas tiga sekolah dasar. Hanya diajarkan ekstra kulikuler bidang olah raga untuk membentuk tubuh sehat serta diajarkan khusus pendidikan budi pekerti, sopan santun, sosialisasi sesama teman dan bersih terhadap lingkungan serta menghormati guru, orang tua dan cinta budaya tanah air.
Di Jepang dalam proses belajar tingkat dasar pada kelas satu hingga kelas empat tidak ada ujian seperti di negara kita. Akan tetapi guru memantau karakter dan cara bersosialisasi dalam pergaulan, sopan santun terhadap orang lebih tua dan guru. Dengan sistem pendidikan tersebut apakah jepang menjadi negara terbelakang ? Oh tidak. Jepang tetap sebagai negara industri maju, negara kampiun industri mobil, digital elektronik dan sumber keuangan dunia .
Jaman saya kecil dulu tahun 70 an dengan sistem pendidikan lama, diajarkan tata cara menulis huruf latin halus, menulis huruf honocoroko yang merupakan bagian sejarah dari bangsa ini, diajarkan sopan santun, unggah ungguh, hormat terhadap guru serta orang lebih tua dan orang tua.
Saking kerasnya guru mengajarkan disiplin terhadap murid agar menjadi manusia berahlak, bertanggung jawab serta berbudi luhur, maka di jaman itu guru sangat dihormati. Coba jaman reformasi sekarang guru dianggap teman, apabila ada guru menghukum murid di sekolah yang ada sang guru dilaporkan polisi oleh orang tua murid karena semena mena.
Disinilah telah tejadi pergeseran nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat yang menafsirkan sesuai nilai nilai Pancasila dan ajaran bapak taman siswa Tut Wuri Handayani ing Karso sun tulodo, tidak lagi terdengar diajarkan pada bangku sekolah oleh guru guru kita.
Bahkan lebih berorientasi pada pendidikan yang menguntungkan secara finalcial (education bisnis) hingga jangan kaget begitu mahal biaya pendidikan saat ini yang harus ditanggung masyarakat.
Dengan pembelajaran sopan santun, tata krama, sosialisasi cara bergaul yang dilakukan sejak usia dini tentu akan melekat pola pikir di usia dini dari anak anak kita agar menjadi pribadi yang luhur, jujur dan penuh toleransi terhadap sesama . Bahkan sekarang kabarnya di tingkat perguruan tinggi rencananya akan menghilangkan mata kuliah Pancasila di semester pertama pada beberapa universitas negeri maupun swasta. Hal ini berbanding terbalik dengan masa pemerintahan Orde Baru yang mengajarkan nilai nilai Pancasila lewat program Eka Prasetya Panca Karsa untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, pejabat, kaum pendidik agar bisa memberikan suri tauladan kepada masyarakat. Apa itu makna dan nilai nilai dari Pancasila.
Di dunia dengan kemajuan Tekhnologi komunikasi dan informasi yang seolah olah tidak ada lagi batas negara, dengan kemajuan tersebut hampir semua anak bangsa menggunakan internet, listrik bahkan masa pandemi covid dilakukan lock down dirumahkan.
Masyarakat dipaksa untuk rapat dan sistem belajar mengajar menggunakan Zoom di internet, belum lagi sistem perbankan , bahkan mobi juga bertenaga listrik yang semua bermuara pada sistem kontrol, bermuara pada Cip yang diciptakan berdasarkan tehnologi canggih yang tidak semua negara mampu menguasai dan membuatnya seolah olah kita digiring pada suatu kondisi tertentu secara bersamaan dan merata.
Apakah kita pernah membayangkan secara imajinasi saja , pada suatu ketiga terjadi Shotdwon (mematikan seluruh sistem dan komputerisasi) sedang sistem yang dibangun menggunakan tehnologi yang belum sepenuhnya kita kuasai, dan harus belajar dari kasus negara Estonia. Saat Shootdwon seluruh operasi perbankan dan operasional internet mati yang berakibat seluruh jaringan mati, dimana Estonia saat itu mengalami kelumpuhan total, dan ini harus kita pikirkan bersama.
Tehnologi seolah membuat kita bangga dan hebat padahal membuat diri kita semakin bodoh karena dikuasai sistem tehnologi tersebut dan kita tidak bisa berbuat banyak kecuali ikut arus sistem tersebut. Contoh segala internet pakai pulsa, token listrik, tarik tunai uang dalam perbankan, tranfer, telpon dan sebagainya. Yang mau tidak mau kita dipaksa untuk ikuti sistem Dunia tersebut pada titik tertentu bukan tidak mungkin jikalau terjadi turbulensi dalam sistem berakibat mati total dan lumpuh pada semua sektor .
Bahwa suatu sistem yang dirancang dan diciptakan salah akan membuat orang baik terseret dalam turbulensi lingkungan menjadi orang jelek dalam kapasitasnya sebagai warga negara, tapi dengan sistem yang baik orang yang jelek secara mens rea (niat jahat) akan terkikis dan ikut terseret menjadi baik karena sistem yang bagus.
Demikian juga dalam kehidupan politik, setiap hari dipertontonkan dengan hujatan karena pilihan berbeda dalam politik. Di tengah kebebasan mengeluarkan pendapat, belum lagi pada masa lalu terjadi politik identitas menyangkut keagamaan dalam pilkada yang menggiring masyarakat pada potensi perpecahan antar umat beragama.
Masyarakat digiring pada opini dikaitkan dengan keagamaan bahkan surga dan neraka. Hal ini akibat dari kebebasan yang tidak dibarengi dengan rasa tanggung jawab akibat dari perubahan sistem ketatanegaraan.
Hukum dasar kita UUD 1945 telah diamandemen hingga ke empat kali yang merubah format dari sistem perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung, menggunakan proporsional terbuka dalam sistem pemilihan dalam partai politik. Ini akan berimbas pada suatu mata rantai yang saling terkait pada bidang lain, karena cost yang ditimbulkan sangat besar tentu bermuara pada saat menjabat pun akan berorientasi pengembalian modal dalam masa jabatannya. Karena sistem proporsional terbuka siapapun calon legislatif baik berusia muda maupun tua, belum lama masuk partai politik dan dengan pengalaman sangat minim boleh mencalonkan diri.
Akhirnya terjadi politik transaksional, layaknya pada negara sistem liberal yang berorientasi ekonomi kapitalis yang setiap calon kepala daerah, legislatif, bupati, walikota bahkan presiden ditengarai para ahli politik didukung oligarki yang tentu tidak ada makan siang gratis.
Dan hal ini berakibat pada sistem dan kondisi perekrutan jabatan strategis di pemerintahan, penegak hukum, perbankan, menjadi ajang transaksional yang muaranya akan timbul ketidak pastian dalam segala bidang, termasuk bidang penegakan hukum di tingkat penyidikan, penuntutan maupun di tingkat peradilan pada Pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung yang masih jauh dari rasa keadilan. Yang kerap dijumpai adalah peradilan sangat mahal yang harus ditebus pencari keadilan dan terjadi penjungkir balik kan aturan hukum positif demi kepentingan tertentu.
Ini diakibatkan adanya degradasi moral dari anak bangsa, ke dua sistem yang dibangun sudah salah kaprah yang telah dikoyak dan diporandakan. Sistem yang ada dibuat dengan konsep baru berorientasi pada Soko guru negara liberal dengan sistem ekonomi kapitalis, yang telah keluar dari rel konsep lama yang dibangun para pendahulu kita, para pemimpin kita masa lalu.
Kita harus belajar pada sejarah, tepatnya sejarah berdirinya bangsa ini yang dibentuk pendiri bangsa (founding father kita) bahwa negara ini dibentuk dari awal sebagai negara kesatuan yang menyatukan segala perbedaan baik agama, suku,ras, budaya, adat istiadat bahasa menjadi satu tujuan berdirinya negara Republik Indonesia yang berdasarkan sistem perwakilan sesuai sila ke empat dari Pancasila , dan sistem ekonomi kerakyatan secara gotong royong.
Dengan dasar dan falsafah serta pandangan hidup bangsa yakni Pancasia, bukan negara liberal yang berorientasi sistem kapitalis, juga bukan negara sosialis dengan sistem ekonominya sosialis, tapi sebuah negara dengan konsep ketatanegaraan ala Indonesia konsep ekonomi kerakyatan dengan cara gotong royong diilhami dari nilai nilai luhur para leluhur yang lalu dikonsep ulang pendiri bangsa dan nenek moyang bangsa ini. Bukan pula negara Agama akan tetapi negara yang melindungi segenap Umat beragama menjalankan ibadah dan ini merupakan tanggung jawab kita bersama, seluruh elemen bangsa. Dan harus merefleksi diri bahwa kita telah gagal menghantarkan calon pemimpin bangsa pada proses kawah pendidikan kawah Candradimuka pada bidang pendidikan pada tingkat menengah atas hingga perguruan tinggi yang melahirkan para anak bangsa yang telah menjabat dari berbagai strata.
Dengan kondisi korupsi yang masif dari berbagai lini, walau dibentuk rasuah anti korupsi seperti KPK tidak bisa berbuat banyak, justru korupsi terbesar dibongkar oleh kejaksaan agung. Ini sungguh memprihatinkan . Mungkin benar oleh Pujangga Raden Ngabehi Ronggo Warsito bilang. Ini jaman edan atau jaman kolo bendu, Yen ora edan ora keduman , yang digambarkan sebagai periode konflik dan permusuhan antara berbagai komponen bangsa yang dipicu manipulasi dalang yang tidak terlihat mengendalikan peristiwa di balik layar.
Maka tiada kata yang tepat, sebelum kita tersesat jauh dan terlambat dimana bangsa ini telah kehilangan jati diri dan Ruh nya ke Indonesiaan. Kembalilah belajar dari sejarah masa lalu dan jangan sekali kali melupakan sejarah bangsa ini pada masa lalu. Karena esok hari ditentukan oleh langkah kita hari ini. (**)