Jakarta, sumselupdate.com – Dalam negara hukum, kedudukan penguasa dengan rakyat dimata hukum sama dan sederajat. Yang membedakan hanya fungsinya. Pemerintah berfungsi mengatur, sedangkan rakyat diatur. Yang mengatur maupun diatur memiliki satu pedoman sama yaitu peraturan perundang-undangan.
“Sayangnya, sistem peradilan pidana di Indonesia ditengarai telah lama menjadi industri hukum. Sebagaimana dikatakan, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dalam Forum ILC pada 11 Februari 2020. Masih ditemukan praktik penyimpangan dalam penegakan hukum. Padahal ada lembaga penegak hukum, dari KPK sebagai badan antikorupsi, Kejaksaan Agung dan Bareskrim Mabes Polri,” ujar Praktisi Hukum Agus Widjajanto dalam rilisnya Sabtu (30/9/2023).
Dikatakan, belajar dari negara maju yang indeks korupsinya sangat rendah, dapat dicatat, Negara Denmark selain Inggris yang patut diteladani dalam hal penegakan hukum. Denmark, menurut laporan Global Transparency International tahun 2021, menduduki peringkat pertama dalam pemberantasan korupsi, dapat nilai indeks 88 dari nilai acuan 100.
Di Denmark, lembaga antikorupsi tidak dipimpin polisi atau pejabat antikorupsi melainkan lembaga Ombudsman dan oditur Negara yang terintegrasi langsung dengan pemerintah. Ombudsman tidak bisa berjalan dengan baik dan optimal bila penegak hukum tidak baik.
Ombudsman Denmark didirikan tahun 1955 sebagai lembaga independen, yang merupakan sarana kepentingan publik yang berporos pada pemerhati transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi pemerintahan serta memiliki tanggung jawab sebagai pengawas, penasihat, dan penyidik terhadap pejabat yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
“Kebijakan transparansi di bawah skema keterbukaan yang dilakukan sejak tahun 2009 menjadi upaya pengawasan efektif memantau perilaku para pejabat. Sehingga politisi di Denmark menjadi panutan masyarakat dengan gaya hidup sederhana seperti bekerja dengan mengendarai sepeda ontel dan jas harga murah. Parlemen Denmark mempunyai komitmen tinggi dalam pemberantasan korupsi. Bandingkan dengan Indonesia!. Demikian juga Inggris, dengan sistem hukum yang kuat dengan peraturan sangat ketat dan mekanisme penegakan hukum efektif sangat berperan dalam pencegahan dan penindakan korupsi,” kata Agus.
Menurut Agus, Inggris, serupa Denmark, mempunyai (1) lembaga pengawasan independen dalam penindakan dan pencegahan, (2) lembaga tersebut berwenang memeriksa pelanggaran etika pejabat pemerintah.
Kemudian (3) adanya budaya antikorupsi dimana digalakkan pentingnya akuntabilitas dan integritas, budaya ini dapat mengurangi toleransi dalam perbuatan korupsi dan (4) media yang bebas dan independen dapat menjadi pengawas serta dinamisator dan stabilisator dalam transparansi dan akuntabilitas.
Yang jelas, kata Agus, kedua negara tersebut memiliki sistem yang kuat, tranparan dan akuntabel, ditangani pihak independen.
Bagaimana dengan Indonesia, yang sudah memiliki lembaga Ombudsman, KPK, Kejaksaan Agung dan Bareskrim Polri, tetapi struktur hukum tersebut belum bisa menekan korupsi?.
“Malah tidak jarang terjadi peradilan yang aneh, perdata dijadikan pidana, kepentingan politik dibawa ke ranah hukum, mengaminkan ucapan Menkopolhukam di atas,” jelasnya.
Apabila saat ini penegak hukum lebih berorientasi pada kepentingan untung rugi keadaan ini mirip dengan tontonan atas peradilan di Amerika, sebagaimana dikatakan William T. Pizzi, pakar hukum Amerika dalam pembelaannya yang sangat fenomenal: Trial Without Trust (peradilan sesat).
Dengan kondisi saat ini, ada beberapa hal menjadi pemicu kondisi tersebut antara lain karena Sistem. Indonesia mempunyai sistem yang sangat menunjang terjadinya korupsi, salah satunya sistem pemilu langsung, untuk pemilihan kepala daerah baik gubernur, walikota/bupati, maupun presiden.
Sistem Pemilu Langsung dengan biaya begitu tinggi, sehingga antara modal dengan pendapatan tidak berimbang, meskipun ada upaya melakukan pencegahan korupsi. Hal ini seperti lingkaran setan yang tidak mungkin dicegah penegak hukum, maka tidak heran banyak kasus kepala daerah terjerat korupsi.
Kedua, budaya. Korupsi sulit diubah karena kondisi ekonomi yang diakibatkan sistem yang membuat kesejahteraan tidak merata, sehingga yang kaya makin kaya, yang miskin tetap saja miskin. Fakta ini bertentangan dengan cita-cita Proklamasi dan esensi Kontitusi kita.
Ketiga Peraturan perundang-undangan yang kadang tidak tegas, baik tujuan pencegahan maupun dalam penindakan. Contohnya Pasal 4 UU Tipikor yang berbunyi:
“Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 3.”
Konsekuensi bunyi pasal tersebut membuat para tindak pidana korupsi cenderung memilih pasang badan ketimbang menyerahkan kerugian baik berupa gratifikasi maupun hasil korupsi. Hal ini merintangi upaya pengembalian kerugian negara. Lain hal apabila pasal tersebut berbunyi, “Apabila pelaku tindak pidana korupsi telah mengembalikan kerugian negara atau perekonomian negara, maka dapat dipertimbangkan dan/atau tidak akan dituntut pidana.”
Begitu pula sebaliknya, “Apabila ternyata terbukti tidak mau mengembalikan kerugian negara dan atau perekonomian negara, pelaku akan dijatuhi pidana maksimal beserta denda disertai perampasan seluruh aset yang ada,” katanya.
Sehingga lanjut Agus, perlu kemauan bersama memperbaiki dari segi sistem, mental maupun politik, dari pemegang kebijakan, baik pemerintah, DPR, maupun penegak hukum. Dengan rendahnya tingkat korupsi akan bermanfaat bagi seluruh masyarakat dan negara untuk kesejahteraan bersama. (duk)