Oleh:
Eni Purwanti, M.Pd
(Kepala MSU/SMA Nurul Huda Sukawinatan Palembang)
Kesetaraan gender masih menjadi isu yang selalu digaung-gaungkan oleh kaum perempuan. Tuntutan perempuan untuk memiliki hak yang sama dengan laki-laki menjadi alasan para perempuan untuk memperluas kiprahnya dalam dunia publik.
Hal ini tidaklah salah, karena perempuan sebagai makluk Tuhan juga sebagai warga negara Indonesia harus ikut berkontribusi dalam mensejahterakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Jika dilihat dari perspektif islam, bahwa kedudukan antara perempuan dan laki-laki sudah sama. Yang membedakan hanyalah ketakwaannya.
Seperti yang terdapat dalam terjemahan Al-Quran surat An-nisa ayat 124 yang berbunyi” dan barang siapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun”.
Dari kutipan ayat tersebut sudah sangat jelas bahwa dihadapan-Nya, Allah tidak membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki, yang membedakannya hanyalah keimanan dan ketakwaan. disini dapat kita lihat bahwa dalam islam tidak ada istilah kesetaraan gender, karena memang sudah setara.
Sementara dalam realitas kehidupan di masyarakat, perempuan terlihat tidak bisa bergerak leluasa berkiprah di dunia publik. Beberapa faktor yang bisa menjadi penghalang, yaitu:
Pertama, adanya budaya patriarki. Budaya patriarki adalah budaya yang memprioritaskan laki-laki. Dimana laki-laki ditempatkan sebagai sosok otoritas utama dalam organisasi sosial. Posisi laki-laki dianggap lebih tinggi daripada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.
Budaya ini sangat sulit dihilangkan. Sehingga hal ini membuat perempuan menjadi second sex dan atau subordinasi perempuan yang bisa diartikan penomorduaan perempuan.
Dimana perempuan dianggap lebih lemah/rendah dari laki-laki sehingga fungsi, kedudukan, dan juga peran perempuan seakan lebih rendah dari laki-laki. Kenyataan ini dapat kita lihat diberbagai posisi didalam pekerjaan.
Laki-laki cendrung ditempatkan diposisi jabatan penting, struktural tertinggi sementara perempuan cendrung diposisi bawahan. Hal ini mungkin bercermin pada posisi laki-laki sebagai suami didalam rumah tangga, yang mana suami sebagai kepala keluarga dan bertugas mengambil keputusan.
Kedua, adanya Regulasi yang belum seratus persen memihak perempuan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Pasal 28 H ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Kemudian, terdapat pada pasal 10 ayat 7 dan pasal 92 atau 11 UU 7/2017 yang mengatur bahwa komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Dalam hal ini yang perlu saya garis bawahi adalah kata ”Memperhatikan”.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), memperhatikan memiliki arti melihat lama, mengamati. Ini berarti bahwa peraturan undang-undang dalam regulasi keterwakilan perempuan tersebut hanya sebatas sunah bukan wajib. Wajar saja kalau masih banyak penyelenggara pemilu di KPU dan Bawaslu diberbagai tingkatan baik di pusat, provinsi maupun kota/kabupaten belum memenuhi kuota 30 % keterwakilan perempuan. Kedepan, perlu adanya ketegasan bahwa regulasi harus memuat kewajiban keterwakilan perempuan 30 % dalam penyelenggara pemilu maupun bidang yang lainnya sehingga 30 % keterwakilan perempuan dapat tercapai.
Ketiga, kapasitas perempuan itu sendiri. Perempuan sejatinya memiliki peran domestik dan publik. Tidak bisa dipungkiri perempuan yang sudah menikah akan lebih banyak perannya di domestik. Peran perempuan sebagai anak, istri, dan ibu serta sebagai anggota masyarakat harus bisa dijalankan dengan seimbang. Tokoh perempuan dalam islam, Aisyah istri Rasulullah bisa dijadikan panutan dalam kita melakukan kegiatan aktivitas publik khususnya kepemimpinan perempuan dimana istri Rasulullah tersebut pernah menjadi pemimpin perang.
Kurang lebih satu tahun pemilu akan digelar. Perempuan sebagai tiang negara, harus ikut berpartisipasi dalam menyukseskan pemilu 2024. Penyelenggara pemilu yang terdiri atas KPU, Bawaslu, dan DKPP harus mengikutsertakan perempuan 30 % sesuai peraturan undang-undang pada pasal 10 ayat 7 dan pasal 92 atau 11 UU 7/2017 .
Perempuan yang ikut serta dalam penyelenggara pemilu harus memiliki kapasitas yang mumpuni, memiliki semangat yang tinggi, pantang menyerah serta kemauan yang kuat untuk belajar. Perempuan dihadapan laki-laki bukan sebagai pesaing/kompetitor melainkan sebagai pelengkap. Artinya dalam suatu organisasi tidak akan berjalan maksimal tanpa perempuan ikut serta didalam organisasi tersebut.
Sehingga ini bisa menjadikan keterwakilan perempuan sebagai sebuah keharusan yang harus dipenuhi. Namun kenyataannya, Menurut ketua Bawaslu, Abhan dalam acara Rapat Persiapan Keikutsertaan Peningkatan Kapasitas bagi Anggota Bawaslu Perempuan Daerah Seluruh Indonesia yang diselenggarakan atas kerja sama dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial Politik Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia (UI) secara virtual, Selasa (31/8/2021) mengatakan bahwa dari total 188 orang dari 34 provinsi terdapat jumlah perempuan sebanyak 38 atau 39 orang. “Jadi, persentasenya baru sekitar 20%”.
Dari ketiga faktor penghalang perempuan berperan dalam kemajuan bangsa khususnya penyelenggara pemilu tahun 2024 ini yang telah dipaparkan diatas, maka timbul pertanyaan” Apakah keterwakilan 30% perempuan dalam penyelenggara akan tercapai?”, ini menjadi PR bagi kita semua bagaimana perempuan bisa ikut berperan tanpa harus meninggalkan tanggungjawabnya sebagai anak bagi yang belum menikah, dan perannya sebagai istri dan ibu bagi mereka yang sudah berkeluarga.
Tetap semangat bagi semua perempuan di Indonesia, semoga kita bisa menjadi perempuan yang berilmu, berani, dan percaya diri sehingga bisa ikut serta mewujudkan masyarakat, bangsa dan negara yang adil dan sejahtera.(rel)