Cerpen: Rumah Impian

Rabu, 17 November 2021
Ilustrasi: Desain rumah favorit menggambarkan kepribadian Anda. (Little Things)

Sore menjelang. Rusman tiba di rumahnya setelah menempuh jarak yang sedang dengan sepeda motornya. Ia sampai dengan keringat yang telah mengering menjadi daki di sekujur tubuhnya. Ia baru saja selesai menguras tenaga untuk mengerjakan pembangunan sebuah rumah mewah milik seorang pengusaha rumah makan.

Cepat-cepat, ia melangkah ke dalam rumahnya, menjurus ke meja makan. Ia lalu menuangkan air putih dari wadah plastik ke dalam gelas. Tetapi seketika, ia merasa dongkol setelah melihat tahi cicak mengendap di dasar wadah air minum itu, juga beberapa ekor semut yang mengapung. Ia pun terpaksa menggantinya dengan air panas dari dalam termos, lantas meniup-niupnya agar lekas menghangat.

Setelah membasahi tenggorokannya dengan air yang masih terbilang panas, ia kemudian beranjak ke sisi dapur untuk mencari makanan. Ia ingin mengisi perutnya yang masih keroncongan atas porsi makanan dari sang tuan rumah proyek yang seadanya. Tetapi sial, ia menyaksikan potongan-potongan ikan asin goreng telah berserakan dan dijamah kawanan lalat, entah karena ulah tikus, kucing, ataukah anjing.

Atas rentetan persoalan itu, ia pun duduk termenung sembari melayangkan pandangan ke segala sisi ruangan. Seketika pula, ia kembali meratapi keadaan rumahnya yang sungguh memprihatinkan. Dinding-dinding kayunya telah lapuk diterpa musim yang berganti. Terdapat celah dan lubang di mana-mana. Akibatnya, para binatang bebas memilih jalan masuk untuk memangsa isi kediamannya.

Akhirnya, ia kembali merenungi kenyataannya. Ia sangat ingin membenahi rumahnya, tetapi ia tak punya dana yang cukup. Penghasilannya sebagai tukang bangunan dengan proyek pekerjaan yang kadang-kadang, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hariannya sekeluarga. Penghasilan istrinya yang bekerja sebagai tukang jahit di sebuah pabrik pembuatan seragam sekolah, juga hanya bisa menambahi tabungan mereka untuk keperluan yang lebih mendesak.

Advertisements

Karena keadaan itulah, rencananya selalu berakhir sebagai khayalan semata. Ia begitu berhasrat memperbarui rumahnya dengan keahliannya sendiri, tetapi ia tak punya ongkos yang memadai. Sedang sebaliknya, orang-orang kaya yang sama sekali tak punya keahlian bertukang, malah bisa membangun rumah mewah mereka atas pikiran dan tenaga orang-orang sepertinya, sebab mereka punya uang.

Atas kondisi perekonomiannya, Rusman memang tak bisa berbuat apa-apa untuk mewujudkan permintaan anak dan istrinya agar mereka segera memiliki hunian yang layak. Jika istri dan anaknya bertanya perihal perbaikan rumah, paling, ia hanya akan kembali menjanjikan bahwa ia akan menunaikannya ketika ia sudah punya uang berlebih, kala ia enteng memerhatikan perkara papan dan tak lagi mengkhawatirkan perkara pangan, entah kapan.

Memang wajar jika rumahnya sudah tidak keruan dan mesti diremajakan. Rumah semi permanen yang ia beli tersebut, memang dibangun lebih dari tiga puluh tahun yang lalu. Sepanjang itu, berdasarkan informasi yang ia dapat, sudah ada empat keluarga yang sempat membeli dan menempatinya. Selama itu pula, para penghuni tak pernah melakukan perbaikan yang berarti, termasuk pemilik terakhir sebelum dirinya.

Namun membeli rumah yang sedari awal memang dalam kondisi yang buruk, adalah pilihan yang pas bagi Rusman. Itu karena dahulu, empat tahun yang lalu, ia hanya memiliki sedikit tabungan, sedangkan rumah tersebut dijual kepadanya dengan harga yang sangat murah, seolah-olah ia membeli tanahnya saja, tanpa bangunan.

Tetapi di balik harga miring rumah itu, akhirnya, ia pun tahu dari cerita beberapa warga sekitar bahwa pemilik rumah terakhir mengalami kisah yang tragis. Pasalnya, lelaki tua yang baru saja pulang dari luar negeri sebagai tenaga kerja itu, yang merupakan ayah dari seorang lelaki yang menjual rumah itu kepadanya, meninggal dalam keadaan mengenaskan. Ia mati dibunuh oleh sekelompok perampok yang menyatroni rumahnya itu.

Namun Rusman tak mau peduli dengan kisah horor tersebut. Ia hanya berharap semoga cerita itu tidak sampai ke telinga anaknya.

Hingga akhirnya, di tengah menungan dan kekalutannya, hujan deras tiba-tiba turun. Dengan langkah sigap, ia pun mengambil beberapa ember di rak perabotan untuk menadah air hujan yang menetes dari atap seng yang keropos dan berlubang. Ia lantas menyebarnya di ruang dapur, ruang keluarga, dan kamar-kamar. Ia tentu tidak ingin air hujan menggenangi lantai rumahnya, hingga merusak harta bendanya.

Dan akhirnya, atas kerepotan yang berulang itu, tekadnya untuk membenahi rumahnya makin menguat. Ia merasa tak tahan lagi menanggung permasalahan yang berlarut akibat kondisi rumahnya yang basah di musim hujan, kemudian berdebu di musim kemarau. Karena itu, untuk kesekian kalinya, ia memanjatkan doa kepada Tuhan, semoga ia lekas dikaruniai rezeki yang berlimbah, entah bagaimana caranya.

Sesaat kemudian, di tengah kemurungannya, istrinya pun datang sepulang bekerja. Sang istri lantas menuju ke tepi kamar dengan wajah yang muram, semuram suasana rumah mereka di tengah hujan. Sampai akhirnya, setelah mencuci kaki, sang istri pun duduk di depannya, di samping meja makan.

“Jadi, sebenarnya, kapan Bapak akan memperbaiki rumah kita ini?” tanya sang istri, dengan nada datar, seolah menagih janji Rusman yang telah terucap berulang kali. “Lihat, Pak. Keadaan rumah kita sudah hancur. Mana mungkin kita bisa hidup tenteram kalau begini.”

Rusman mendengkus saja mendengar tuntutan istrinya. Ia merasa malas untuk kembali menegaskan bahwa permasalahannya adalah ongkos yang tidak ada.

Dengan raut merengut, istrinya kembali meluruhkan kekesalannya, “Apa Bapak tidak malu menyaksikan rumah kita rusak begini di tengah rumah para tetangga kita yang tampak bagus?” Ia lantas melengos. “Aku sungguh merasa rendah diri dan iri terhadap mereka, Pak. Mereka punya rumah yang layak sebagai tempat berlindung. Sedangkan kita?” Ia kemudian menggeleng-geleng kecewa. “Sebagai ayah dan suami, Bapak seharusnya mengambil tindakan. Itu tanggung jawab Bapak.”

Merasa tersinggung, Rusman terpaksa mengulang nasihatnya seperti dahulu, “Bersabarlah. Ibu berdoa saja, semoga kita mendapatkan rezeki yang cukup untuk itu.”

Namun seolah tak terima, istrinya sontak mendengkus gusar, kemudian beranjak mengurus ikan yang baru saja ia beli.

Akhirnya, atas desakan sang istri untuk kesekian kalinya, Rusman pun makin tak sabar untuk segera membenahi rumahnya.

Tak lama berselang, di tengah hujan yang mereda, Ferdi, anaknya yang masih duduk di bangku kelas III SD, akhirnya datang dari sekolah. Ia lantas menuju ke sisi kamar mandi, kemudian mengurai baju dan celananya yang basah.

“Bu, lihat, baju seragamku sudah bernoda dan berjamur,” kata anaknya kemudian.

Istrinya pun lekas membalas, “Makanya, lain kali, kau jaga kebersihan bajumu baik-baik. Usahakan agar tidak terkena noda. Usahakan juga untuk mencucinya dan menjemurnya dengan benar.”

Anaknya kemudian mengaduh. “Aku ingin seragam yang baru, Bu.”

Seketika, istrinya menimpali dengan keras, “Ah, jangan minta-minta seragam baru. Aku tidak punya tabungan lebih untuk itu.” balasnya, sembari terus menyisiki ikan beliannya.

“Tetapi Ibu kan bekerja di pabrik pembuatan seragam. Seharusnya mudah bagi ibu mengambilkan satu baju seragam untukku,” tanggap anaknya.

Istrinya lantas mendengkus kesal. “Aku ini hanya buruh, Nak. Baju yang kujahit itu, punya pemilik pabrik, bukan punyaku. Kalau aku mau ambil, ya aku harus beli, dan aku tak punya uang untuk itu,” kilahnya. “Lagi pula, kalau aku punya uang, lebih baik digunakan untuk memperbaiki rumah kita. Kau lihat sendiri, kan, kalau rumah kita hancur begini.”

Sang anak pun melenguh menyikapi penolakan atas permintaannya, kemudian melangkah malas ke dalam kamar.

Sontak saja, Rusman terenyuh menyaksikan keinginan anaknya yang tertolak, sekaligus tersinggung mendengarkan sentilan istrinya.

Sesaat berselang, anaknya pun datang menghampirinya setelah mengenakan pakaian pengganti. Sang anak lalu duduk di depannya, kemudian bertanya, “Apa Ayah bekerja di rumah Gito, teman sekelasku?”

Rusman pun mengangguk. “Kamu tahu dari mana?”

“Gito yang cerita kepadaku. Kata dia, ayahnya membangun rumah besar berlantai tiga, dan Ayah adalah tukangnya,” terang sang anak.

“Oh,” tanggap Rusman, begitu saja.

Seketika saja, wajah anaknya berubah murung. “Jadi, kapan Ayah memperbaiki rumah kita? Ayah kan pernah berjanji kalau Ayah akan membuat rumah kita menjadi rumah berlantai dua, dengan satu kamar yang luas untukku.”

Rusman sontak kelimpungan mendengar penagihan anaknya. Ia lalu berpikir keras meramu kilahan. Dan akhirnya, ia hanya kembali mengutarakan nasihat dan janji manisnya, “Sabar, Nak. Yakinlah, suatu saat, aku akan membuat rumah kita ini menjadi seperti istana untukmu.”

Anaknya pun memanyunkan bibir. Tampak kecewa.

Istrinya kemudian mendengkus sinis.

Tiba-tiba, hujan deras kembali turun.

Perasaan Rusman jadi makin dingin.

Akhirnya, setelah setengah jam hujan deras kembali berlangsung, ketika ia tengah duduk sembari mengisap rokok di sudut rumahnya yang kering dan hangat, tiba-tiba, ia mendengar dentaman yang keras. Dengan rasa penasaran, ia lantas melangkah ke sumber suara, hingga ia melihat separuh dinding kamarnya yang tersusun dari batu bata, telah tumbang akibat pondasi yang amblas.

Sontak, ia merasakan kepiluan yang mendalam. Tetapi untuk sementara waktu, ia membiarkan saja keadaan itu hingga hujan benar-benar reda.

Detik demi detik berlalu. Di sudut ruang keluarga, ia beserta anak dan istrinya cuma terdiam sembari menghangatkan tubuh. Mereka seolah-olah kehabisan daya untuk sekadar berbagi kata-kata.

Beberapa lama kemudian, di penghujung sore, hujan pun berhenti. Rusman lantas beranjak ke sisi rumahnya yang porak poranda untuk menanggulangi kekacauan. Sampai akhirnya, di tengah kerjanya, ia mendapatkan sebuah kotak besi di sisi sudut ruangan, yang muncul dari sisi bawah coran lantai yang terungkit. Dengan penuh tanda tanya, ia pun membuka kotak tersebut, hingga ia terkejut hebat setelah menyaksikan bahwa isinya adalah perhiasan emas dalam jumlah yang banyak.

Seketika, ia pun terpikir soal urusan perbaikan rumahnya.(**)

 

Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa disapa melalui Twitter (@ramli_eksepsi).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.