Cerpen : Peluit Kejujuran

Minggu, 20 Februari 2022

Peluit itu menempel lekat dibibir tuanya. Sesekali, matanya mendongak. Menatap langit yang berpayung awan tebal berwarna hitam gelap. Usai subuh, hujan terus menguyur bumi. Iramanya bak tempo nada musik. Kadang reda, kadang deras. Sesekali disertai angin dan suara petir yang menggelegar.

Untuk tiba di lokasi mangkalnya sebagai tukang parkir di sebuah toko serba ada ini pun, Markudut harus rela tubuh tuanya dibasahi hujan yang terus menetes ke bumi tanpa ragu. Tiba-tiba dari arah perutnya, terdengar suara nyanyian. Markudut merogoh kantongnya. Terlihat satu lembaran uang dua ribuan. Hanya itu yang didapatnya pagi ini dari para pengendara kendaraan yang memarkir kendaraannya di depan toko serba ada itu.

Bacaan Lainnya

Mestinya dia dapat dua lembaran uang dua ribuan pagi ini. Seorang pengendaraan bermobil yang mengulurkan uang dari dalam mobilnya bernilai seratus ribu, tak mampu dikembalikannya.
Dan dengan jiwa yang ihlas, dia merelakan uang lembaran berwarna merah itu kembali ditarik pengendara bermobil itu yang langsung tancap gas meninggalkan asap di wajah tuanya dan tanpa mengucapkan terima kasih kepadanya yang hanya melongo menatap mobil itu.

Hujan yang datang membasahi bumi semenjak subuh tadi, membuat aktivitas di depan toko serba ada itu sepi. Sesepi jiwa Markudut menatap halaman toko serba ada itu yang kosong melompong dari para pembeli. Para pembeli tampaknya enggan untuk datang ke toko serba ada itu dengan kondisi hujan yang belum ada tanda-tanda untuk berhenti.

Di seberang jalanan, di sebuah kedai kopi, tampak oleh mata tuanya, seseorang melambaikan tangannya sembari memanggil namanya. Markudut menatap ke arah lambaian itu. Terlihat olehnya, Mang Liluk, sahabatnya seorang tukang becak melambaikan tangannya sembari tersenyum ke arahnya.

“Markudut. Markudut, ngopi dulu,” teriak Mang Liluk.

Dengan berlari pelan membelah hujan, Markudut menuju ke Kedai kopi itu. Saat tiba di Kedai Kopi, terlihat olehnya, mang Liluk sedang menyeruput kopi. Usai kopi diseruputnya dengan penuh penghayatan, sebatang rokok ditancapkannya di bibirnya. Seketika asap pun memenuhi kedai kopi.

“Ngopi dulu, Mar,” ajak Mang Liluk.

“Ramai?,” narasi Mang Liluk terus bersenandung.

“Sepi,” jawab Markudut dengan suara lesu.

Sembari menatap kopi yang baru saja disuguhkan Mbok Iyem, pemilik Kedai Kopi, mata tua Markudut teringat dengan istri dan anaknya di rumah. Entah apa yang mereka makan pagi ini. Setahunya, beras di rumahnya sudah menipis. Hanya cukup untuk dimasak pagi ini.

Markudut mendongak. Terlihat olehnya langit mulai cerah. Beberapa kendaraan mulai masuk ke dalam halaman toko serba ada itu. Senyum mengembang dari wajah tuanya. Dengan penuh semangat, dia berlari menyebrang jalanan menuju halaman Toko serba ada itu.

Matahari sudah di atas kepala. panasnya sangat terasa. Mata Markudut tiba-tiba menatap sebuah dompet yang tergeletak di halaman toko serba ada itu. Secepat kilat, tangannya mengambil dompet itu.

Dan betapa kagetnya Markudut, saat dompet itu dibuka, puluhan bahkan mungkin ratusan lembaran uang bergambar Sukarno Hatta tersusun rapi dalam dompet itu.

Mata Markudut menatap ke kiri dan ke kanan. Dan tak ada seorang pun yang ada disekitarnya. Hanya beberapa mobil milik pembeli yang terparkir di halaman toko serba ada itu. Markudut menjauh. Pergi ke sebuah WC yang ada di belakang toko serba ada itu. Jiwanya diliputi kerisauan yang luar biasa yang menerjang jiwanya. Sementara tangan tua gemetar.

Markudut tiba-tiba teringat dengan anak dan istrinya. Lelaki tua itu teringat pula dengan tausiah dari Pak Ustad di Masjid. Jiwanya bergemuruh. Sekujur tubuhnya dilanda kerisauan yang sungguh amat luarbiasa. Sementara suara yang datang memaksanya untuk mengambil uang itu.

“Itu uang milikmu. Engkau tak mencurinya. Engkau menemukannya. Kapan lagi kamu berkesempatan memiliki uang sebanyak itu. Kamu akan kaya raya. Kamu tak perlu lagi menjadi tukang parkir. Kamu sudah menjadi orang kaya. Ambil uang itu. Ambil uang itu. Cepat bawa pulang uang itu,” suara itu terus merecoki jiwa Markudut.

Cahaya matahari mulai menipis. Tanda senja telah tiba. Markudut pulang ke rumahnya. Rumah kecil yang dia tempati bersama anak semata wayangnya dan istrinya. Di rumah, istrinya menyambutnya dengan hangat.

“Bapak pasti sudah capek dan lapar ya. Ayo makan dulu, ibu sudah sediakan makanan!” ajak istrinya.

“Aku mau mandi dulu ya, Bu. Badanku sangat kegerahan,” ucap Markudut sambil membawa handuk dan pergi ke kamar mandi.

Selesai mandi, Markudut menghampiri meja makan. Istri dan anaknya sudah menunggu di meja makan. Sebelum makan tak lupa mereka berdoa dan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Sang Maha Pengasih untuk rezeki hari ini. Mereka makan dengan lahapnya walau dengan lauk seadanya.

Ketika istrinya sedang membereskan piring-piring kotor bekas makan mereka, terdengar pintu diketuk dari luar. Dengan bergegas Markudut membuka pintu dan mempersilakan masuk. Saat pintu terbuka, terlihat wajah Pak RT dan dua orang asing yang tak dikenalnya sama sekali.

“Ini Pak Markudut. Bapak dan Ibu ini mau ketemu dengan Bapak,” ujar Pak RT.

“Ada apa ya, Pak RT,? tanya Markudut dengan penuh kecurigaan.

“Maaf sebelumnya Pak. Mungkin kedatangan saya dan istri mengagetkan Bapak dan keluarga. Saya dan istri ingin mengucapkan terima kasih kepada bapak yang telah menyelamatkan dompet istri saya yang tertinggal di halaman parkir toko. Dalam dompet itu ada surat-surat penting,” jelas tamunya.

“Dan uang yang ada dalam dompet istri saya, dengan hati yang sangat ikhlas, hari ini kami berikan kepada Bapak yang sungguh berhati mulia,” lanjut sang tamu dengan wajah tersenyum.

“Benar sekali Pak. Uang itu kami berikan untuk bapak dengan hati yang sangat ikhlas. Semoga Bapak berkenan untuk menerimanya,” sambung sang istri tamunya.

Mendengar narasi indah dari mulut tamunya, seketika tubuh tua Markudut pun rubuh di lantai rumahnya.

Toboali, Sabtu Malam, 19 Februari 2022

(**)

Karya : Rusmin Toboali
Pengirim: Rusmin Toboali

Bantu Kami untuk Berkembang

Mari kita tumbuh bersama! Donasi Anda membantu kami menghadirkan konten yang lebih baik dan berkelanjutan. Scan QRIS untuk berdonasi sekarang!


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.