Akulturasi Budaya, Agama, Lahirnya Pujangga-Pujangga, dan Persiapan Indonesia Merdeka

Penulis: - Selasa, 9 April 2024

Penulis : Agus Widjajanto:
Pemerhati Budaya, Sospol dan Hukum

AKULTURASI adalah terjadinya pencampuran budaya dan agama tanpa harus menghilangkan budaya asli.  Sedangkan asimilasi dua kebudayaan atau lebih di lingkungan masyarakat sehingga memunculkan budaya baru. Biasanya antara budaya asli dengan budaya asing.

Sebelum budaya Hindu Budha datang di wilayah kepulauan Nusantara ini, telah berkembang kepercayaan  berupa pemujaan terhadap roh nenek moyang. Kepercayaan itu bersifat animisme, dinamisme dan toremisme.

Akulturasi budaya Nusantara khususnya Jawa dengan budaya agama yang datang ke bumi Nusantara ini sangat erat. Saat pengaruh agama Hindu Budha masuk ke Indonesia, masyarakat kita sudah berbudaya, sudah mempunyai agama walaupun belum terkodifikasi dalam aturan dogma. Masih bersifat animisme dan dinamisme menyembah ruh leluhur dengan caranya.

Wujud dari akulturasi pengaruh Hindu Budha dengan kebudayaan Nusantara ini bisa dilihat dari berbagai bentuk antara lain seni angkasa dan seni sastra, seni rupa, seni ukir dan seni arsitektur bangunan. Yang hingga kini masih bisa kita lihat, walau mempunyai ciri dan corak  khas tersendiri yang tidak ditemukan di India maupun belahan bumi lain yakni candi Borobudur dan Prambanan, pure Hindu di Bali beserta rumah rumah adat nya, karya sastra, baik Kitab Kakawin Negara Kertagama maupun Kakawin Sutasoma serta huruf Pallawa dan bahasa sansekerta yang akhirnya tercipta huruf honocoroko, merupakan hasil akulturasi antara budaya kita di Nusantara khususnya Jawa dengan pengaruh India yang membawa agama Hindu dan Budha.

Dengan datang nya kebudayaan India saat abad ke dua Masehi mampu mempengaruhi kepercayaan yang dianut  masyarakat Indonesia yaitu paham animisme dan dinamisme.

Baca juga : Anggota Komisi IX DPR: Wajar Banyak Barang Bawaan PMI dari Luar Negeri

Dengan pengaruh tersebut, kepercayaan asli masyarakat Nusantara berakulturasi dengan agama Hindu dan Budha  melahirkan  agama yang punya corak khas ke Indonesiaan  yang tidak sama dengan di India. Yang bisa kita lihat hingga saat ini yakni agama Hindu Bali.

Demikian juga saat masuknya Islam ke Nusantara khususnya Jawa  juga terjadi akulturasi budaya dan kepercayaan. Yang awalnya animisme dinamisme dan toremisme tadi dilebur lagi berakulturasi dengan paham baru dari agama samawi, yang berakibat semakin beragam akulturasi tersebut  secara kebudayaan maupun  kepercayaan dalam bidang spiritualitas.

Akibat dari akulturasi tersebut menimbulkan terbentuknya kepercayaan dan agama  berbeda beda di Nusantara  akan tetapi mereka tetap berpegang teguh pada budaya asli, yang pengaruhnya hingga kini masih ada yakni kepercayaan animisme dinamisme tadi yang justru hal tersebut merupakan tali pengikat, simpul dari pada persatuan, kebhinekaan di Indonesia.

Sebagai contoh adanya akulturasi budaya dalam hal ini selamatan kematian dari tiga hari, satu Minggu, empat puluh hari, seratus hari hingga seribu hari, suronan, sekatenan, ziarah kubur, sesajen  yang bagi masyarakat  Nahdatul ulama masih ada dan dipertahankan sebagai bagian dari budaya leluhur yang tidak bertentangan dengan akidah agama.

Baca juga : Kemenkumham Sumsel Kuatkan Pembangunan ZI, Budaya Antikorupsi, dan SPIP kepada Seluruh Jajaran

Maka tidak mengherankan apabila gagasan sufi sekaligus pujangga sekaliber Raden Ngabehi Ronggo Warsito sangat dipengaruhi  akulturasi agama dan budaya hingga beliau berbeda dalam gagasan menyangkut keterkaitan antara Dzat, Sifat, Asma  dan Af’ Al yang agak mirip dengan gagasan Syech Abdul Karim Al Jili, yang tertulis dalam bukunya insan Kamil, hanya saja syeck Abdul Karim tidak menggunakan tamsil untuk menjelaskan hal tersebut karena hanya akan memberikan batasan dan penyerupaan antara Tuhan dan Mahluk.

Padahal dalam ilmu Kalam Tuhan berada di atas segala penyerupaan di mana Tuhan tidak serupa dengan suatu apapun.

Dengan demikian ada beberapa kemungkinan berkaitan pendapat Ronggo Warsito , dimana, pertama Ronggo Warsito mendapat pengetahuan ghaib berkaitan dengan tamsil ( pemisalan ) yang menurut nya wajib disampaikan ke masyarakat.

Kedua, masyarakat pada masanya membutuhkan model penjelasan berwujud pemisalan untuk bisa memahami hakekat Tuhan yang dimaksud lebih mudah dimana beliau sebagai seorang pujangga agar bisa menerangkan lebih mudah.

Untuk bisa memahami dan mengetahui latar belakang dari kajian pendapat dan pendalaman spirit keagamaan dari Ronggowarsito yang dituangkan  melalui  sastra dalam tasawuf Jawa yang berlatar belakang Islam  dengan pondasi yang sebelum nya sudah mengajar dari pengaruh Hindu Budha, maka harus mengetahui dimana masa dan jaman Raden Ngabehi Ronggo Warsito hidup dan berkarya.

Ronggo Warsito hidup dan besar dalam lingkungan keraton kasunanan Surakarta  hingga meninggal. Saat itu terjadi perubahan besar dalam keraton  dimulai dari Raja Pakubuwono IV hingga Pakubuwono IX.

Pakubuwono IV yang lahir di Surakarta pada 2 September 1768 Masehi dan meninggal  2 Oktober 1820 pada usia 52 tahun  merupakan raja ke tiga Kasunanan Surakarta yang dijuluki sebagai Sunan Bagus karena naik tahta dalam usia muda dan berwajah tampan.

Pasa pemerintahannya terjadi semacam perubahan tradisi di kalangan keraton di antaranya beliau mengeluarkan beberapa kebijakan pakaian prajurit yang awalnya seperti pasukan Belanda diganti menjadi pakaian prajurit adat Jawa. Dan beliau membenci VOC terutama atas sikap residen Surakarta bernama W.A Palm yang korup. Pada masa pemerintahan Pakubuwono IV inilah kesusastraan Jawa bernafaskan Islam mencapai  jaman keemasan pada keraton Kasunanan Surakarta. Pakubuwono IV diyakini mengarang naskah Serat Wulang Reh yang berisi ajaran ajaran luhur untuk memperbaiki moral kaum bangsawan Jawa. Bahkan pujangga besar Ronggo Warsito mengakui semasa muda ia pernah belajar beberapa ilmu kesaktian / kanuragan kepada Pakubuwono IV.

Hubungan hangat antara Ronggo Warsito muda dan Raja Pakubuwono IV ini akan memberikan kontribusi besar membentuk kepribadian sang Pujangga penutup khusus nya terhadap keperpihakan kepada rakyat dan cara berpikirnya cenderung memadukan antara ajaran Islam dan ajaran kejawen yang punya latar belakang Hindu Budha  yang menonjolkan sisi Islam dalam tasawuf Jawa, yang mengajarkan Budi pekerti luhur yang sesuai tasawuf Islam  dan memberikan contoh tentang laku sufi dalam suluk.

Salah satu contoh budaya halal bihalal dan silaturahim terhadap sesema pada saat lebaran setelah selesai menjalankan ibadah  puasa terhadap  tetangga, kekuarga handai taulan sebagai manifestasi budaya lokal dalam hablu minanas (persudaraan dalam bermasyarakat) dan hanya dijumpai di Indonesia.

Hal inilah nanti yang akan membentuk karakteristik  pemimpin Jawa  dalam persiapan menuju Indonesia merdeka yang mempunyai Budi pekerti luhur dan selalu rela berkorban demi bangsa dan negaranya.

Maka tidak heran rasa nasionalisme dan cara sudut pandang  membentuk Dasar Negara dan Hukum dasar kita Pancasila dan UUD 1945  diilhami dari  ajaran luhur  di Indonesia dari para pujangga dan Raja Raja Jawa yang membentuk karakter para Negarawan agung bapak bapak dan ibu pendiri bangsa kita, untuk persiapan Indonesia Merdeka. (**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.