Jakarta, Sumselupdate.com – Peneliti The Indonesian Institute Center for Public Policy Research Rifqi Rachman menyoroti rencana Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo melibatkan virtual police. Virtual police sebagaimana dijelaskan Listyo akan terlibat dalam program penguatan partisipasi masyarakat dalam skema masyarakat informasi di ruang siber.
Program akan dilaksanakan melalui kampanye untuk meningkatkan kesadaran pentingnya keamanan data pribadi serta cara bermedia sosial dengan berbudaya dan beretika baik.
Berbeda dengan tupoksi polisi siber, virtual police ala Listyo justru bersifat edukatif dan bahkan akan berkolaborasi dengan influencer.
Pendekatan secara halus tersebut justru menjadi pertanyaan bagi Rifqi.
“Hal ini menimbulkan pertanyaan lebih jauh soal urgensi pembentukan virtual police. Ketika pendekatan melalui cyber police tidak mampu memasuki ranah etis di ruang digital, pembentukan virtual police dengan pendekatan edukatif senyatanya juga tidak dapat langsung menjadi jawaban,” kata Rifqi dalam keterangan tertulis, Rabu (20/1/2021) seperti dikutip dari suara.com jaringan nasional sumselupdate.com.
Ketika pendekatan melalui cyber police tidak mampu memasuki ranah etis di ruang digital, pembentukan virtual police dengan pendekatan edukatif senyatanya juga tidak dapat langsung menjadi jawaban.
Apalagi, kata dia, aksi pengintaian atau surveillance pada warga negara di ruang digital menjadi fenomena yang begitu mengkhawatirkan dan hal itu seringkali dilancarkan oleh institusi seperti kepolisian.
“Dua entitas ini akhirnya sangat mungkin mempersempit ruang kebebasan berekspresi warga negara di ruang digital,” tuturnya.
Rifqi juga menanyakan perihal batas ruang lingkup edukasi yang diberikan oleh virtual police tersebut.
Rifqi menganggap kalau hal tersebut bakal sulit diterapkan karena konsep berbudaya dan beretika baik yang dijadikan pakem bermedia sosial dalam pemaparan Kapolri tidak memiliki indikator jelas.
Misalkan Polri tidak segera memperjelas pakem itu, kata dia, kondisi penerapan yang rawan penyimpangan akan sulit untuk dihindarkan.
Rifqi juga mengkhawatirkan ketidakjelasan konsep berbudaya dan beretika baik akan semakin mengkhawatirkan di mana influencer terlibat dalam memperkuat pesan yang dibawa oleh virtual police.
“Dengan hanya bersandar pada kriteria ‘memiliki followers yang cukup banyak’ seperti yang disampaikan Listyo, terdapat dua dampak yang mungkin timbul dan merugikan warga negara pengguna internet,” tuturnya.
Dampak yang pertama ialah kuantitas yang masif dan kontinyu sangat berpotensi membuat pesan yang disampaikan oleh virtual police dan influencers mendominasi perbincangan atau informasi di ruang digital.
Limpahan sumber daya dan model satu komando dinilai akan menjadikan narasi-narasi yang dimunculkan oleh pihak virtual police dan influencers sulit untuk ditandingi.
Kemudian dampak yang kedua berkaitan dengan kapasitas influencers.
Rifqi menjelaskan fenomena influencer yang mengampanyekan UU Ciptaker mengingatkan publik bahwa tidak semua akun yang diikuti oleh banyak followers memiliki kapasitas untuk memahami secara utuh substansi pesan yang mereka siarkan.
“Jika kriteria ini tidak segera dibenahi, kasus menggandeng influencers dalam mengampanyekan UU Ciptaker menjadi mungkin untuk terjadi kembali,” kata dia. (adm3/sur)