Jakarta, Sumselupdate.com – Negara menjamin hak asasi manusia (HAM) warga sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28A sampai dengan 28J UUD NRI Tahun 1945. Salah satu bagian dari warga negara adalah penyandang disabilitas atau difabel yang mempunyai hak asasi dan kedudukan sama dihadapan hukum.
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah melalui Otonomi Daerah telah memberikan semangat baru bagi penyelenggara pemerintahan daerah untuk mendukung pemenuhan hak hak penyandang disabilitas. Produk Hukum Daerah baik Perda dan Perkada didorong untuk ramah dan berpihak terhadap penyandang disabilitas.
Seiring dengan perkembangan masyarakat internasional, terjadi perubahan pandangan khususnya dalam pemenuhan hak Penyandang Disabilitas yang tertuang dalam Convention On The Rights Of Person With Disabilities (CPRD). Pemerintah Indonesia telah meratifikasi CPRD yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disablitas.
Ratifikasi CPRD menunjukkan adanya komitmen Pemerintah Indonesia melindungi, memajukan, dan memenuhi hak penyandang disabilitas yang diharapkan mampu mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan.
Perubahan paradigma berdasarkan CPRD yang memuat jaminan perlindungan, pemajuan, dan penegakan hak penyandang disabilitas, serta keharusan mengubah perlakuan pemerintah dan masyarakat yang semula memandang difabel sebagai “orang yang sakit dan perlu dibantu” menjadi “orang yang sehat namun berkebutuhan khusus sehingga perlu diberikan akses dan kemudahan”, mendorong pemerintah untuk mengubah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997.
Akhirnya15 April 2016, pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Hadirnya kebijakan pemerintah pusat dalam rangka pemenuhan hak penyandang disabilitas melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 dimaksud, juga perlu ditindaklanjuti bersama sama oleh stakeholder terkait yang salah satu pemerintah daerah.
Karena itu, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri sebagai pembina dan pengawas umum penyelenggaraan pemerintahan daerah membuka ruang koordinasi kepada penyelenggara pemerintahan di daerah, dalam rangka memahami lebih jauh mengenai pemenuhan hak penyandang disabilitas dan mendorong percepatan penyusunan produk hukum daerah mengenai penyandang disabilitas bagi daerah yang belum menetapkan.
“Dengan dibukanya ruang koordinasi ini, diharapkan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah dapat menjawab permasalahan dan memenuhi kebutuhan penyandang disabiltas sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Plh Direktur Produk Hukum Daerah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sukoco, saat membuka rapat koordinasi pusat dan daerah dalam rangka reviu dan percepatan penyelesaian produk hukum daerah yang berpihak terhadap penyandang disabilitas di Jakarta beberapa hari lalu.
Sukoco mengatakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas merupakan bentuk komitmen pemerintah melakukan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.
Undang-Undang dimaksud telah mempunyai peraturan turunan yang terdiri enam peraturan pemerintah dan dua peraturan presiden. Bentuk komitmen tersebut juga perlu didorong bersama-sama para stakeholder terkait. Mengingat saat ini difabel masih hidup dalam kondisi rentan karena pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan haknya sebagai warga negara.
“Salah satu aspek yang dapat disoroti terkait pemenuhan hak difabel dalam memperoleh pekerjaan,”kata Sukoco.
Survei BPS menyebutkan, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta orang pada 2022. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2021 yang sebesar 16,5 juta. Penelitian yang sama menunjukan hanya 7,6 juta dari 17 juta difabel usia produktif yang bekerja. Data tersebut hanya 44% difabel memperoleh pekerjaan.
“Secara tegas dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pemerintah pusat, pemda, BUMN, dan BUMD wajib memperkejakan paling sedikit 2% difabel dari jumlah pegawai atau pekerja. Sedangkan untuk perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1%,” tegas Sukoco.
Dikatakan, permasalahan dalam pemenuhan hak difabel perlu menjadi perhatian semua pihak. Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas beserta peraturan pelaksanaan juga telah memberikan kewenangan secara atributif kepada pemda untuk membuat kebijakan yang dapat melindungi dan memenuhi hak-hak difabel.
“Perlu percepatan dan langkah oleh pemda menyikapi hal tersebut, mengingat dari hasil inventaris yang telah dilakukan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, baru 123 produk hukum daerah yang mengatur mengenai difabel,” tuturnya.
Rapat koordinasi ini sebagai upaya mensinergikan kebijakan pasca ditetapkannya perubahan Undang-Undang dimaksud. Tujuan rapat koordinasi mengupayakan keselarasan dalam mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah. Melalui penyelenggaraan rapat koordinasi juga diharapkan masukan komprehensif bagi jalannya penyelenggaraan pemerintahan ke depan.
“Rapat koordinasi ini membangun ruang diskusi serta kesempatan yang terbuka kepada setiap sektor untuk bersama-sama memahami maksud dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, serta memberikan masukan dan saran terhadap pembentukan kebijakan di daerah terkait pemenuhan hak difabel agar dapat harmonis dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga dapat implementatif,” ujar Sukoco.
Peserta rapat koordinasi terdiri dari unsur DPRD yang meliputi Ketua Bapemperda DPRD Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Maluku, Papua Barat, dan Kabupaten Sukoharjo. Dari unsur pemda yang terdiri dari Kepala Biro Hukum dan Kepala Dinas Sosial, meliputi Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Maluku, Papua Barat, Kabupaten Sukoharjo. (duk)