Rehat Sejenak
Meski dunia hijau dan terang,
kadang masih kusangsi jalan-jalan yang menghadang
Meski dedaunan berdesir,
angin menyilir
kadang masih kusangsi
suar-suara kenyataan
Maka kemarilah..
bersama orang-orang kalah
yang jujur sembunyi
yang hilang dalam nyanyi
Mari sejenak menunduk
memandang kaki
menginjak tanah – kegetiran
melihat sangsi dan berpesta
di tubuh tak berdaya
Bagaimanapun menguak kenyataan,
pun lebih ngeri jika tak berbuat apa-apa
Bagaimanapun meruyak luka,
pun lebih runyam menonton saja
2023
Menengok Kematian di Bawah Pohon
Di mana itu jalan-jala, kalau tuju enggan malu
meringsing aku – menunduk-ringkuk di bawah pohon
berkaca aku; dalam rimbun daun bagaimana kematian
bisa dekat di bawah ini
Aku telah sampai, kematian sudah menjadi keadaan lain
apakah musim demikian?
2023
Puisi Bersama Emoji Kesedihan
Aku membalas cintamu dari sini:
Tandailah dirimu ada di mana?
karena tidak ada siapa-siapa di sini
karena merasa bukan siapa-siapa di sini
Tandailah diriku ada di mana?
Karena merenggut hati di sini
menghempas dendammu di sini
Tetapi aku berdoa; barangkali Tuhan menjenguk batinmu.
2023
Jurang Kebimbangan
Pilih buang atau bunuh? manusia satu nasib dengan kematian
Membicarakan sebuah kematian, bagaimana cara membaca puisi ketika berada di liang lahad? tunjukkan aku di jurang kebimbangan itu!
Aku rindu sebuah panggung di mana namaku disebut-sebut sebagai binatang langka
namun, mengapa puisi ikut mati juga?
2023
Kanalisasi Argumen
Tak seperti jum’at biasanya, ide kali ini telah tertambat oleh mesin tik, aku ditelan bersama lembaran kertas putih virtual
Waktu kerap kali menghabiskan kata-kata
kata-kata seakan menyikapi dirinya sendiri
berkecamuk dalam lantunan suara, meliar di ruang yang gema
Pada saat yang tepat, sosialita sedang berkecimpung di dalam otak
memaknai setiap kejadian yang ada
Memutus realita
hingga merantai diri dalam ekspektasi
“Pasti dan pasti, akan ada saatnya pengasinganku telah lepas dari penjara orang-orang tertutup”
Tetapi, langkah-langkah apa yang akan bermula di dalamnya? ah! aku masih saja bernyawa dalam dunia fantasi.
2023
Non (Identity)
Aku tidak mengerti cara bernapas; sekalipun dua kendaraan saling bertabrakan dan menghantui saksi mata
Sisi kepercayaan itu; antara yang memeluk dan menyikut. Telah ambruk di hadapanku
Tubuh yang hangus, seperti api mengingat ajalnya. Lewat keyakinan; kita mati di ujung kertas.
2023
Makam Waktu
Di luar; aku pesan kuburan. Bunuh mereka! sebelum aku memancang nisanku sendiri di balik kesedihan
Aku tidak ada; tidak ada aku — tidak ada hidup
Di balik monokrom selain diriku; hanyalah abu, hanyalah batu
Tamat, sebuah renungan terhapus.
Setelahku; istirahat panjang adalah napas yang sehat di masa depan.
2023
Tentang Penulis:
Rifqi Septian Dewantara asal Balikpapan, Kalimantan Timur, Mei 1998. Karya-karyanya pernah tersebar di beberapa media online dan buku antologi puisi bersama. Kini bergiat dan berkarya di Halmahera, Maluku Utara. Bisa disapa melalui Facebook: Rifqi Septian Dewantara