Batang, Sumselupdate.com – Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal MPR RI Siti Fauziah SE, MM menyerahkan tokoh Bimo Sakti kepada Dalang Ki Atmo Subarno Arso Carito sebagai penanda dibukanya pagelaran wayang kulit dengan lakon Pandu Suwargo.
Pagelaran wayang kulit itu terlaksana berkat kerjasama MPR RI dengan pemerintah Desa Gringgingsari Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten Batang Jawa Tengah. Pagelaran rakyat itu diselenggarakan di lapangan Desa Gringgingsari Minggu (15/9/2024).
Ikut hadir pada acara tersebut Forkopimcam Wonotunggal, Kepala Desa Gringgingsari Khoiruddin beserta perangkatnya, serta ribuan warga masyarakat sekitar berlangsungnya pagelaran rakyat.
Tak ketinggalan ratusan penjaja aneka dagangan, yang mengular dengan berjajar hingga beberapa ratus meter panjangnya.
Saat membuka pagelaran rakyat, itu Siti Fauziah mengajak masyarakat untuk menjaga, merawat dan melestarikan kesenian daerah, tak terkecuali wayang kulit.
Wayang kulit merupakan peninggalan nenek moyang yang memiliki nilai seni budaya luhur. Mengandung tuntunan yang baik dan bisa dijadikan sebagai panutan bagi masyarakat.
Wayang juga mengajarkan sikap tolong menolong dan kerjasama, mulai dari pemain musik, sinden, hingga dalang, harus bisa bekerjasama dengan baik, satu sama lain.
Kalau tidak bisa bekerjasama, saling bantu dan bergotong royong niscaya permainan wayang tidak bisa dinikmati.
“Kalau pemain musiknya memainkan nada dengan seenaknya sendiri, tidak mau bekerjasama dengan pemain musik lain tentu irama yang dihasilkan tidak bisa dinikmati. Membuat sindennya bingung apalagi dalang, sehingga semua kacau,” kata Siti Fauziah.
Menurut Siti Fauziah dalam kehidupan sehari-hari. Semua warga masyarakat, harus mau memainkan peran dengan baik, saling bekerjasama, saling bantu dan tolong menolong. Agar tercapai ketenangan, ketentraman dan keserasian dalam kehidupan bermasyarakat.
“Tuntunan tersebut harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih saat ini kita akan menghadapi pilkada serentak. Pilihan boleh beda, tetapi tidak harus mengorbankan persaudaraan. Jaga pesatuan kan kesatuan untuk kemaslahatan kita semua,” tegasnya.
Dalam Lakon Pandu Suwargo dikisahkan sang panegak pandawa Raden Ayra Werkudara merasa resah dan sedih. Sepeninggal orang tuanya yaitu prabu Pandu Dewanata dan Dewi Madrim.
Penyebabnya karena kesalahan Prabu Pandu yang berani meminjam lembu Andini, sehingga dihukumlah Prabu Pandu dan Dewi Madrim di dalam Yomaniloka atau Neraka Jahanam.
Di tengah kegundahan Raden Werkudara dan para Pandawa di panggillah para Dewa untuk menerima hukuman. Lalu Di utuslah Raden Sadewa untuk melapor kepada sang kakak yaitu Prabu Puntadewa.
Mendengar laporan itu Prabu Puntadewa marah. Ia lantas berubah menjadi Dewa Amral dan segera menyusul adik-adiknya.
Kepergian para Pandawa dirasakan oleh Bhatara Kresna dan menanyakan kebenarannya kepada Dewi Kunthi. Mendengar jawaban Dewi Kunthi Prabu Kresna pun ikut-ikutan marah dan berubah menjadi Raksasa Brahala Sewu.
Mengamuklah kedua Raksasa tersebut di Kahyangan. Di tengah keributan di Kahyangan, para Dewa sibuk mencari cara untuk melawan. Akhirnya disarankanlah untuk dihadapkan dengan para Pandawa dengan satu syarat, Prabu Pandu harus dinaikan/dimasukkan di Surga. (**)