Pertamina Diminta Tak Lagi Bisnis Pertalite

Kamis, 8 September 2022
Fahri Hamzah

Jakarta,sumselupdate.com – Pemerintah diingatkan dan hati-hati dalam memitigasi dampak dari kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebab, langkah tersebut, bisa berujung pada perubahan besar  di Indonesia.

“Tidak semua perubahan besar di dunia itu di rencanakan, bisa tidak direncanakan dan bisa datang tiba-tiba, termasuk apa yang terjadi di kita. Jadi kita perlu waspada, rendah hati dan hati-hati dalam memitigasi keadaan ini,” kata Fahri Hamzah, Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia dalam Gelora Talk bertajuk ‘Akhirnya Harga BBM Melambung Tinggi, Apa Dampaknya?, Rabu (7/9/2022).

Menurut Fahri, penderitaan masyarakat bertambah pilu, akibat dampak Covid-19 dan krisis global. Di mana pendapatan masyarakat tidak bertambah, namun  pengeluaran bertambah berkali lipat.

Sehingga akan berpengaruh pada neraca keluarga masyarakat Indonesia, meskipun pemerintah telah menyiapkan bantalan sosial sebagai antisipasi dampaknya.

Advertisements

“Ketika pemerintah memutuskan pencabutan subsidi untuk penyelamatan APBN, itu membawa resiko besar. Berpengaruh pada neraca rumah tangga keluarga masyarakat Indonesia. Karena pendapatannya tidak  bertambah segitu-gitunya, tidak naik. Tetapi, pada saat yang sama ditekan dengan kenaikan harga BBM, sehingga menyebabkan inflasi tinggi dan daya beli, menurun” ujarnya.

Seharusnya, kata Fahri, pemerintah tidak menggunakan instrumen APBN dijadikan alasan untuk menambah beban rakyat, karena saat yang sama pemerintah mendapatkan windfall atau ‘durian runtuh’ dari keuntungan beberapa komoditas, di samping harga minyak dunia sedang turun.

“Keputusan ini dianggap penuh dengan agenda di belakang layar, sembunyi-sembunyi dan tidak transparan. Dan kita sayangkan, anggota DPRnya sejak Omnibus Law itu fungsi anggaran dan pengawasan dimatikan, sehingga tidak ada perdebatan. Persekongkolan mereka sudah sempurna, kekuatanya sudah tidak ada,” tutur Fahri.

Karena itu, kata dia, apabila terjadi manuver politik di DPR, sudah dianggap tidak relevan, karena publik melihat sudah tidak substantif.

“Ini akhirnya dihubungkan dengan upaya cari muka saja, termasuk yang dilakukan PKS kemarin. Semua sudah tidak ada harganya di mata masyarakat. Perlu ada reformasi politik besar-besaran di DPR agar struktur dan postur dari pengawasan rakyat ini menjadi menjadi kuat, kalau sekarang tidak ada sama sekali,”  tegasnya.

Partai Gelora tidak berharap ada masyarakat miskin yang bunuh diri, akibat menghadapi tekanan kesulitan hidup saat ini yang dirasa semakin berat.

“Ini masalah serius yang harus diwaspadai, efek kepada rakyat memang ada bantalan-bantalan sosial yang sedang diusahakan. Tetapi sekali lagi, kita harus hati-hati,  karena kita sendiri belum terlalu disiplin dengan data. Kita perlu memitigasi dan mengidentifikasi cara menolong orang-orang ini,” tandasnya.

“Kepada para pejabat, ya tolonglah agak rendah hati sedikit, untuk menimbang kesulitan masyarakat. Jangan merasa sok hebat, kalau diprotes. Sebab, banyak orang-orang yang tidak sanggup berbicara untuk menyatakan apa yang sebenarnya. Sementara lembaga perwakilannya sudah ditutup dan tidak berani bicara juga. Jadi penderitaan rakyat tambah pilu,” pungkas Fahri.

Andi Rahmat, Anggota DPR RI Periode 2004-2014 mengatakan, pemerintah seharusnya berani membeli minyak Rusia yang harganya lebih murah, sehingga bisa melakukan restrukturisasi belanja kompensasi, tidak perlu mencabut subsidi atau menaikkan harga BBM.

“Hanya saja apakah pemerintah berani mengambil resiko secara politik mengadapi tekanan Amerika. Ini harus didiskusikan di DPR agar ada solusinya soal ini, karena melibatkan banyak perspektif, tidak bisa pemerintah saja,” kata Andi Rahmat.

Andi melihat DPR sekarang tidak mau mengambil resiko, dan menyerahkan  ke pemerintah untuk melakukan perubahan APBN melalui Perpres 2022.

“Jadinya budgeting DPR tidak sempurna, karena berdasarkan Perpres tidak perlu lagi didiskusikan, cukup dilaporkan saja. Jadi memang saya lihat teman-teman di parlemen sekarang  buang resiko,” katanya.

Mantan Anggota Komisi XI DPR ini mengatakan carut marut penyelamatan ABPN  harusnya diselesaikan melalui Panitia Khusus. Sebab, tidak ada penjelasan panjang lebar mengenai kedaruratan penyelamatan APBN, termasuk peningkatan belanja kompensasi.

“Jadi tidak ada penjelasan panjang lebar, bahwa ini sudah ada istilahnya ke daruratan untuk kepentingan APBN. Lantas untuk kepentingan apa atau siapa, kenaikan harga BBM ini, karena harga minyak turun. Dan kalau ada pertanyaan adanya efisiensi, itu juga harus dikejar, seperti apa efisiensinya. Inikan tidak ada penjelasan sama sekali,” katanya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal  menegaskan menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan mengancam akan melakukan aksi massa secara berkesinambungan.

Said Iqbal mengatakan kenaikan harga BBM tanpa dibarengi kenaikan upah adalah hal tidak masuk akal. Dia mengibaratkan hal itu seperti keajaiban dunia nomor 11 setelah Candi Borobudur.

“Tiga tahun berturut-turut, buruh dikendalikan oleh negara atas permintaan pengusaha melalui UU Omnibus Law UU Cipta Kerja. Udah nggak naik upahnya. Saya ini ILO Governing Body. Keajaiban nomor 11 di dunia setelah Candi Borobudur adalah upah enggak naik, BBM naik. Ini aneh,” kata Said.

Dikatakan kenaikan harga BBM seharusnya diiringi dengan income per kapita atau upah yang diterima buruh yang juga harus naik.

Karena kelompok pekerja di Indonesia pasti pengguna BBM bersubsidi atau segala sesuatu yang terkait dengan subsidi.

Akan tetapi Menteri Ketenagakerjaan sudah mengumumkan jika Pemerintah dalam menghitung kenaikan UMK 2023 kembali menggunakan PP 36/2021.

Dengan kata lain, diduga tahun depan upah buruh tidak akan naik lagi.

“Ini doktor dan profesor sekolah di Harvard, di Berkeley, tapi cara menghitungnya nggak masuk akal sehat. Semua teman-teman internasional saya bilang this is crazy,” ungkapnya.

Menurut Presiden Partai Buruh ini,  apa yang dilakukan pemerintah saat ini membebani masyarakat, tidak hanya kelompok miskin.

Kenaikan BBM tersebut akan menurunkan daya beli yang sekarang ini sudah turun 30 persen. Dengan BBM naik, maka daya beli akan turun lagi menjadi 50%.

Penyebab turunnya daya beli adalah peningkatan angka inflasi menjadi 6.5% hingga-8%, sehingga harga kebutuhan pokok akan meroket.

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources (CERI) Yusri Usman mengatakan, pemerintah sebaiknya melarang Pertamina berbisnis Pertalite, jika tidak bisa efisien. Sebab, Pertalite adalah BBM penugasan setelah Premium sejak 10 Maret 2022, namun pengelolaan justru tidak efisien, membebani rakyat dan APBN.

“Dengan asumsi harga minyak mentah  USD 63 perbarel dan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika adalah Rp 14.500. Tetapi semua asumsi itu meleset akibat perang Ukraina dengan Rusia,” ujar Yusri.

Sehingga Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan  mengatakan bahwa kuota Pertalite pada September 2022 akan habis, karena besarnya konsumsi BBM hingga mencapai 1,5 juta kilo liter per hari, sehingga terjadi defisit BBM sekitar 400 ribu barel perhari yang harus diimpor.

“Pertamina sekarang ini tidak efisien dari sisi hulu dan hilirnya. Mereka tidak berani jawab ketika saya tanya, lebih murah mana beli minyak dari kilang minyak Singapura atau kilang Pertamina,” katanya.

Terlepas dari hal itu, jika menurut perhitungan Kementerian Keuangan terhadap kebijakan harga BBM terbaru, setelah penyesuaian harga BBM Solar di SPBU Rp 6,800 perliter berdasarkan harga Keekonomian Rp 14,750 perliter, maka kompensasinya menjadi Rp 7,450 perliter dan subsidinya Rp 500 perliter.

Pertalite harga Keekonomian Rp 13.150 perliter dengan harga jual Rp 10.000 perliter, maka biaya kompensasinya Rp 3.150 perliter dari sebelumnya Rp 5,500 perliter, Pertamax 92 dengan harga Rp 14,500 perliter dengan subsidi ditanggung Pertamina Rp 924 perliter.

“Tapi yang masih menimbulkan tanda tanya besar adalah mengapa Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014 tentang Penyedian, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM sudah lama di meja Presiden belum ditanda tangani sampai dengan hari ini, sehingga tidak ada payung hukum siapa yang berhak membeli Solar Subsidi dan Pertalite,” ujarnya.

Sementara Pertamina sendiri sejak Juli hingga September 2022 telah merilis harga keekonomian Pertalite yang berkisar antara Rp 18.200 hingga Rp 18.700 perliter belum termasuk Pajak.

“Sehingga timbul pertanyaan, mengapa harga keekonomian Pertalite produk Pertamina sangat tinggi hingga mencapai diatas Rp 18.200 perliter belum termasuk pajak atapun sudah termasuk pajak ?” ujarnya.

Yusri menilai bisa jadi rilis yang dikutip Presiden Jokowi, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri BUMN Erick Tohir yang dikatakan ke masyarakat, jangan-jangan adalah harga Pertalite yang tidak sebenarnya, alias menyesatkan.

“Patut diduga Direksi Pertamina Holding telah memberikan informasi tidak utuh kepada Pemerintah, atau sebaliknya Pemerintah telah mendapat informasi seutuhnya dari Pertamina, tetapi disampaikan kepada masyarakat tidak seutuhnya, hal ini harus diluruskan.

Selain itu juga, pada 28 April 2020 CERI menemukan bukti juga bahwa Direksi Pertamina terkesan berbohong kepada Presiden dalam Rapat terbatas Kabinet dengan agenda Simulasi Harga BBM Disaat Pandemi Covid19, yaitu ketika saat itu Pertamina tidak menurunkan harga BBM nya di saat di seluruh dunia menurunkan harga BBM dibawah harga normal, karena harga minyak mentah berada dibawah USD 20 perbarel. (duk)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.