Dari kacamata pejabat Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang melihat persoalan banjir yang hingga kini belum terpecahkan jalan keluarnya, disebabkan habit atau kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah tidak pada tempatnya. Namun berbeda dari pandangan pemerhati lingkungan.
HABIT masyarakat ini disebut pejabat Pemkot Palembang membuat aliran air di anak sungai dan drainase atau got di saat banjir, menjadi tersumbat.
Namun berbeda dengan pandangan akademisi yang konsen terhadap lingkungan utamanya Sungai Musi.
Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Bina Darma Palembang, Prof Dr Ir Achmad Syarifudin, MSc melihat jika persoalan banjir ini, lebih disebabkan pengembangan kawasan tanpa perencanaan.
Berdasarkan hasil penelitiannya, pengembangan kawasan tanpa perencanaan yang matang akan berdampak luas.
“Saya sudah pernah membahas hal ini, termasuk dengan Pak Harno (mantan Walikota Palembang –red) dan Pak Gubernur. Saat itu saya sudah menekankan bahwa Kota Palembang harus berhati-hati dalam pengelolaan tata ruang, terutama dalam pengembangan kawasan yang rawan genangan. Saya juga sudah menyampaikan hal ini kepada Pak Gubernur melalui Dinas Pengairan dan pihak terkait lainnya, agar tidak melanjutkan pengembangan tertentu karena dapat berdampak pada kapasitas aliran air masuk dan di keluar,” kata Prof Dr Ir Achmad Syarifudin, MSc saat ditemui Sumselupdate.com di ruang kerjanya, Senin (17/2/2025).
Dikatakan Achmad Syarifudin, banyak konservasi yang berubah fungsi tanpa mengikuti aturan yang baik. Sehingga hal ini memicu bukan hanya masalah banjir, akan tetapi juga bagaimana air bisa mengalir dengan baik.
“Banjir itu sendiri merupakan perubahan aliran air yang melimpah tanpa bisa dikendalikan, dan konsepnya mencakup daerah hulu, tengah, dan hilir. Di Palembang, sistem aliran dan drainase harus diperhatikan. Saya sudah meminta agar ada koordinasi dengan PU Bina Marga. Jika kita membuat saluran tanpa koordinasi dengan Bina Marga dan instansi terkait, maka akan berdampak negatif. Drainase perkotaan dan lingkungan harus direncanakan dengan baik, dan tidak boleh dilakukan penimbunan secara sembarangan, karena akan menyebabkan genangan yang lebih parah,” tuturnya panjang lebar.
Achmad Syarifudin menyarankan Pemkot Palembang meninjau ulang tata ruang dan kawasan rawa tidak boleh ditimbun sembarangan. Dalam arti kata lahan yang seharusnya menjadi resapan air jangan diubah menjadi area perumahan.
Solusi lain yang harus dilakukan Pemkot Palembang mengeluarkan perizinan yang ketat. Dalam arti kata, pemerintah harus lebih selektif dalam memberikan izin pengembangan kawasan.
Di samping itu, langkah lain yang diambil Pemkot Palembang pemberdayaan masyarakat dan lurah dan camat harus berperan aktif dalam mengedukasi warga tentang pentingnya menjaga lingkungan.
“Alih fungsi lahan yang tidak terkontrol sangat berbahaya. Dampaknya mungkin belum terasa sekarang, tetapi dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, kita akan mengalami masalah yang lebih besar. Jika suatu daerah memang rawa, lebih baik dibangun rumah panggung daripada ditimbun,” tandasnya.
Senada dikemukakan Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumsel, Yuliusman yang menyebutkan jika rentannya Kota Palembang mengalami banjir, salah satunya yakni tata ruang yang mulai berubah.
Dia mencontohkan seperti area rawa yang ada di Kota Palembang yang sejatinya merupakan titik resapan air, kini mulai ditimbun untuk menjadi area pemukiman baik yang dilakukan perseorangan ataupun perusahaan pengembang perumahan.
“Seiring sejalan karena carut marut perubahan tata ruang itu berdiri, misalnya bangunan perkantoran, pertokoan, yang tidak memperhatikan yang tidak memperhatikan laju drainase, itu juga yang bisa memperparah (banjir –red), dan itu kita belum melihat dalam konteks lain misalnya area-area baru yang dibuat perumahan,” sebutnya.
Sorotannya terlebih seperti area-area yang memiliki kolam retensi cukup dekat misalnya di Simpang Polda, Simpang Demang Lebar Daun, Jalan Sudirman, dan Jalan Veteran justru sangat rentan terjadi banjir jika diguyur hujan dengan intensitas cukup tinggi.
Bahkan seperti upaya merestorasi aliran anak sungai, di mana sekarang disebut Lambidaro yang berlangsung dua tahun lalu, juga dinilai tidak berfungsi secara optimal.
“Kenapa masih banjir karena drainasenya tidak mengalir pada aliran yang sesungguhnya, ditambah parit dan got yang tidak jelas larinya kemana,” sebut Yuliusman.
Oleh sebab itu kata Yuliusman, tinggal bagaimana Pemerintah Kota Palembang yang saat ini memiliki Walikota dan Walikota Palembang terpilih, dapat memastikan drainase-drainase yang ada di Kota Palembang berfungsi dengan baik mengalirkan air hujan tersebut hingga ke Sungai Musi.
Kemudian juga memastikan tata ruang kota seperti area rawa yang menjadi konservasi resapan air tidak dijadikan area perumahan.
Lalu juga meningkatkan lagi luas area ruang terbuka hijau yang ada di Kota Palembang yang dinilai Yuliusman sudah sangat menurun di bawah 30 persen.
“Jadi banjir di Kota Palembang ini kesimpulannya karena salah urus pemerintah dalam menyusun tata ruang, kemudian infrastruktur yang dibuat juga tidak mengikuti kebutuhan tata ruang yang ada,” tandasnya.
Mengenai habit masyarakat membuang sampah sembarangan terlebih ke anak sungai menjadi penyebab yang sama terjadinya banjir, bagi Yuliusman, permasalahan sampah di Kota Palembang hanya instrumen permasalahan banjir, namun tidak menjadi faktor penentu penyebab Kota Palembang rentan akan banjir.
“Saya lihat sudah mulai beberapa toko modern sudah tidak menggunakan kantong plastik lagi, tinggal nanti di pasar-pasar tradisional tidak lagi juga menggunakan kantong plastik,” jelasnya.
Pastinya, kata Yuliusman, pemicu Kota Palembang rentan banjir, ada dua, selain salah urus pemerintah dalam menyusun tata ruang, juga faktor alam yakni siklus lima tahun sekali air rob yakni pasang air di Sungai Musi yang meluap akibat dorongan air laut, yang juga bisa berbarengan dengan curah hujan yang tinggi.
“Kalau faktor Sungai Musi yang meluap itu karena daerah Kota Palembang yang sebagian dataran rendah, bahkan kota rawa sebenarnya. Itu kalau orang Palembang lama itu nyebutnya itu banjir lima tahunan,” ucapnya.
Namun kata Yuliusman, jika dahulu tatkala air Sungai Musi meluap, surutnya relatif cepat. Namun kekinian lantaran drainase baik itu alami yakni anak sungai maupun drainase buatan mulai dari kanal hingga kolam retensi, tidak berfungsi secara optimal, air pasang Sungai Musi menjadi lambat surut.
Yuliusman menambahkan yang menjadi masalah serius di Kota Palembang yakni ketika memasuki musim penghujan menjadi langganan banjir. Bahkan hujan lebat berdurasi singkat pun sudah cukup untuk menggenangi sejumlah titik rendah di Kota Palembang.(**)