“Berpangkal dari Sejarah perkembangan estetika”. Atau barangkali lebih tepatnya “Pereduksian etimologi estetik”, mengingat pemfungsian terkait penulisan lebih bersifat mengantarkan (penunjang).
Selain sisi historisitas estetik bukanlah sesuatu yang sublim dalam penulisan, kajian Sejarah estetik itu sendiri mensyaratkan kompleksitas berbagai aspek yang luas dan sangat pelik.
Pada umumnya mengkaji wilayah Sejarah estetika, sekurangnya mencakup: pendefinisian keindahan, objek keindahan, focus keindahan, pemfungsian keindahan, dan periodenisasinya. Bahkan dengan nada optimisme The Liang Gie menuliskan, jangkauan periode estetika itu sendiri terbagi kedalam dua wilayah, di antaranya: Estetika tradisional, dan Estetika ilmiah. Secara terperinci, Ia mengklasifikasikan sasaran estetik tradisional meliputi pembahasan: keindahan secara umum, perbedaan keindahan alam dan keindahan seni, entitas keindahahan pada karya seni, cita rasa, dan pengalaman estetis.
Sementara sasaran estetika ilmiah meliputi pembahasan: karya seni sebagai ilmu, Sejarah karya seni, sosiologi karya seni, estetika eksperimental, estetika psikologi, dan estetika matematis.
Dasar klasifikasi diatas, dengan sendirinya mengarahkan kita pada corak rumusan pemikiran estetik era mula-mula sampai dewasa ini. Dapat diglarifikasi bahwa perumusan periode estetika dimulai dari era, Sokrates (Abad ke-4 SM) sampai Baumgarten (Abad ke-18), dan era modern sejak Baumgarten sampai sekarang.
Menilik uraian diatas jelas dibutuhkan waktu yang relatif lama, dan bab tersendiri untuk mengkaji historisitas estetik, sehingga memperoleh pemahaman yang tuntas dan memadai. Pada sisi yang berbeda kegamangan juga disebabkan karena kekurangan pengetahuan penulis yang terbatas, untuk memanfaatkan Sejarah estetis sebagai pisau analisis didalam penulisan.
Studi literasi menunjukan bahwa, istilah estetika pertama kali digunakan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1750). Terkait hal itu, diterangkan bahwa sebelum memperoleh cakupan kajian yang otonom, estetika menjadi bagian dari filsafat (metafisika).
Representasi metafisik yang melekat pada estetika, pada hakikatnya berpangkal pada objek yang dijadikan landasan didalam medan penelitian. Titik tekannya bahwa, pada dasarnya ruang lingkup perbincangan estetika, lahir dari benda-benda materiil (objek yang terindra). Namun demikian benda material itu tidak dipahami secara Das Ding An Sich, sehingga menginsyafi berbagai paradigma baru. Premis ini secara tidak langsung menunjukan adanya transisi di dalam perkembangan estetika, dimana focusnya bergeser pada wilayah subjek.
Sebagai contoh, tradisi pencerahan yang meyakini bahwa didalam diri kita, memiliki kemampuan untuk menghayati cita rasa (Faculty of Taste). Pandangan pencerahan ini pada gilirannya mendorong munculnya perdebatan, terkait dengan apa yang sering kita sebut “selera”.
Jelaslah bahwa domain estetika tidak hanya terkungkung pada, kubangan pengamatan subjek atas objek yang terindra. Previlage estetika itu sendiri justru datang dari kemampuannya, mensubordinasikan esensi keindahan, hakikat keindahan yang bersumber pada subjek maupun objek (focus), pengalaman dan kesadaraan estetik, serta efek-efek lain yang menyertainya.
Banal persoalan yang juga mewarnai Sejarah estetika adalah, sebagai studi tentang gejala “yang indah”, kajian estetika tidak hanya berkutat pada wilayah seni, karena keindahan tidak semata-mata berasal dari fenomena artistic, tetapi juga alam.
Donator pemikiran yang secara intrinsic mengandaikan keindahan antara seni (karya seni) atau alam, mensubordinasikan estetika pada wilayah filsafat keindahan. Demikian halnya silang pendapat yang berahir pada pengkultusan estetika sebagai filsafat seni, pada gilirannya membuka tabir bahwa semua yang dianggap seni mestinya bernilai estetik.
Kendati demikian pada kenyataannya perkembangan seni justru menunjukan, bahwa nilai estetis bukanlah prasyarat yang dibutuhkan oleh seni. Lebih jauh lagi, para estikawan klasik mengandaikan bahwa klaim atas seni mestinya dilihat juga melalui daya fungsionalnya.
Terangnya bahwa estetika sebagai filsafat seni, merupakan pendekatan karya seni yang dikaji melalui aspek-aspek particular (instrisik), hingga sampai pada kesimpulan tentang masalah yang dapat dibicarakan, dan dirumuskan secara universal. Bila diamati dengan penglihatan yang samar-samar, diskursus mengenai penting tidaknya nilai estetis atas seni, diinsayafi menjadi biang keladi berpisahnya estetika dari filsafat seni. Karena prejudice estetika, dinilai sebagai disiplin yang berfocus pada ikhwal persepsi yang menyandarkan kajiannya pada nilai-nilai idea keindahan.
Inilah warisan tradisi nalar estetika abad ke-18, yang bertolak pada pemikiran sikap estetis dan objek estetis. Sanjaya dengan bahasa yang cukup elegan mengatakan: kaitan estetika dengan “yang indah” kiranya bercokol dari kajian mengenai hal-ikhwal yang kita persepsi, apakah berkenaan dengan “sikap estetis” atau “objek estetik”.
Postulat diatas mengejawantahkan estetika menjadi salah satu metode berfikir filsafati yang kian dinamis. Pada umumnya sebagaimana dalam tradisi filsafat, kecamba pertengkaran tidak menjadikan kanal pemikiran menjadi hening, melainkan terbukanya jalur alternatif baru yang menjanjikan tantangan.
Namun demikian, kontemplasi mengenai kompleksitas perkembangan ilmu (filsafat), tidak bisa dibaca secara diametral. Keliru ketika dalam benak pembaca memahami, semakin komplek jalan alternatif yang disediakan filsafat, maka semakin rancu kajian maupun pembahasan.
Efek kedinamisan berfikir filsafati yang ada justru membawa kajian dan pembahasan semakin sistematis, terstruktur, serta terklasifikasikan dengan jelas.
Terkait penulisan Nyoman Kutha menjelaskan dalam bukunya bahwa, berpisahnya estetika dari filsafat (metafisika) berdampak pada: 1. terklasifikasinya, antara pengetahuan intelektual dengan pengetahuan indrawi; 2. Mempersempit pengertian persepsi indra dengan persepsi artistic, 3. Membedakan antara pengalaman artistic dengan pengalaman indra yang lain. ketiga point diatas melegesikan bahwa wilayah estetika berkutat pada entitas indra, persepsi artistic (keindahan), dan pengalaman artistic.
Di tengah analisa yang bisa jadi terkesal ambiguitas pada satu sisi, dan memberi kejelasan pada sisinya yang lain, warisan tradisi klasik dalam menyelami perestroik antara estetika, filsafat metafisika, filsafat keindahan, dan filsafat seni, mestinya tidak dipahami secara final. Karena mematenkan paradigma terkait estetika, ditengah perkembangan seni yang terus berjalan, hanya akan menemui absurditas pemahaman.
Ketika nilai estetik menjadi bagian sublime pada seni, lalu kemudian bergeser pada sisi fungsional (sebagaimana penjelasan berpisahnya estetika dengan filsafat seni), berkebalikan dengan legitimasi seni diabad ke-19 yang lebih gencar menyuarakan slogan “I art pour I’ art”. Artinya apa? mode perbedatan pemikiran mengenai seni, abad ke-19 lebih dipicu dari distingsi antara fine art (seni murni), dan applied art (seni terapan).
Dimana tradisi seni romantic memiliki kecendrungan untuk mengidentifikasi suatu karya seni lebih pada aspek disfungsionalnya. Bahkan Gautier dengan sangat radikal mengatakan: tidak ada yang sungguh-sungguh indah, kecuali hal-hal tidak berfungsi sama sekali. Atau dengan bahasa yang filosofis dapat diterangkan, barang yang masih menyimpan tujuan eksternal bukanlah karya seni, atau sekurangnya masuk dalam kategori karya seni rendahan.
Oleh karenanya pemahaman absur yang alakadarnya, dengan mengalienasi estetika, filsafat metafisik, filsafat keindahan, dan filsafat seni secara terpisah berdampak fatal, karena berakibat pada bias sensibilitas modern. Mendekati berbagai aspek mulai dari estetika, filsafat metafisik, filsafat keindahan, dan filsafat seni secara liberal, merupakan salah satu strategi yang bijak dan arif, bagi pembaca dewasa.
Payung peneduh untuk mendamaikan disonan didalam paparan, diantara: ketercerabutan sekaligus kemelekatan estetika dari filsafat, baik: (filsafat metafisik, filsafat keindahan, dan filsafat seni), adalah dengan membangun premis melalui objek garapan estetika, yakni seni.
Baik pada aras filsafat secara keseluruhan, maupun seni sebagai (objek estetika), keduanya sama-sama identik memiliki cabang kajian. Mengenai hal itu Suryajaya membagi cabang kajian filsafat, diantaranya: ontologi (kajian filosofis tentang hakikat dari kenyataan), epistemologi (kajian filosofis tentang asal-usul pengetahuan), dan filsafat sosial (kajian filosofis yang berkait dengan aspek sosial), sementara cabang kajian estetika (seni) diantaranya: ontology seni (kajian filosofis mengenai hakikat karya seni), epistemology (kajian filosofis tentang pengetahuan yang melatarbelakangi lahirnya karya seni, serta pemahaman atas karya tersebut), filsafat sosial seni (mengkaji hubungan antara kesenian dengan masyarakat). Pembahasan estetika selalu dipenuhi dengan perenungan dari ketiga aspek kajian tersebut.
Silang pendapat diantara pakar ektikawan yang menandai zamannya, lebih ditengarai oleh adanya perbedaan sudut pandang yang menjadi dasar pemikirannya. Terlepas dari perbedaan apapun itu, yang jelas keselarasan estikawan dengan filosof terletak pada jalur pendekatan yang sama-sama abstrak.
Berikut contoh ilustrasi keabstrakan pertanyaan estikawan, misalnya: apakah makna keindahan?, apa parameter suatu benda dikatakan sebagai karya seni?, kapan barang yang dipesan seniman dari pengrajin menjadi karya seni? sejak diciptakan pengrajin, sejak dikonsep seniman, atau saat ditampilkan/ dipamerkan, apakah karya seni tetap menjadi karya seni, meskipun tidak ada satu seorangpun di dunia ini…dan apakah karya itu tetap indah?…Begitulah roman pemantik estikawan, yang selaras dengan rumusan para filosof dalam mempertanyakan segala sesuatu.
Secara harafiah istilah “Estetika” dinisbatkan, dengan kata keindahan beauty (Inggris), dan beaute (Perancis). Keduanya berasal dari bahasa Latin, belus yang merupakan kata turunan dari bonum atau bonus yang berarti kebaikan, keutamaan dan Kebajikan. Sementara itu etimologi dari beau-tiful bertalian dengan benefit, yang berarti “kebermanfaatan atau berguna”. Baik melalui pendasaran pemaknaan kata pertama maupun kata kedua, mensyaratkan adanya suatu aktifitas perhatian subjek terhadap objek.
Algoritma diatas mengejawantahkan aktifitas pengindraan, sebagaimana metanarasi Plato yang berbunyi “syarat mutlak untuk dapat memaknai keindahan, yakni dengan cara mencintai dan memperhatikan”. Maklumat ini sekaligus mengarahkan istilah makna “estetika” yang dipahami kita dewasa ini. Apabila ditelisik lebih jauh lagi, akar kata “estetika” berasal dari bahasa Yunani aistheta atau aiste, yang berarti (hal-hal yang dapat ditanggapi melalui indra).
Pada umumnya penggunaan kata aiste sendiri dipertentangkan dengan kata noeta, nous yang bermakna (hal-hal yang berhubungan dengan konstruksi pikiran). Dengan kalimat sederhana dapat disimpulkan bahwa, estetik berkaitan dengan kemampuan pencercapan indra terhadap suatu objek; dalam bahasa pergaulan sering disebut kepekaan atau sensitivitas. Melalui dasar argumentasi dan legitimasi etimologi di atas, secara apriori penulis berkesimpulan bahwa estetika merupakan setudi tentang gajala keindahan yang berfocus pada pencercapan pengetahuan (cagnitio aesthetica) atas seni. Atau sekurangnya dapat dikatakan estetika sebagai kajian multidispliner, yang membentangkan berbagai aspek pendekatan mengenai seni.
Oleh karena itu penting kiranya, pembaca dewasa melakukan perenungan estetika secara teliti, dengan cara mau berhenti sejenak, lalu kemudian mundur dua sampai tiga langkah kebelakang, untuk mengambil jarak pemahaman yang luas dan memadai terkait kontek.
Karya seni “art” yang merupakan objek kajian estetika, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “ars”, yang berarti keahlian (Kemahiran). Pendasaran lebih jauh, dalam kerangka atau terminologi linguistic, kata “ars” berasal dari akarkata “ar”, yang bermakna menyambung, menghubungkan, dan menggabungkan.
Nalar tradisi positifistik menganggap, bahwa hakikat keindahan hanya dapat dimungkinkan melalui jalan menghubungkan atau menyambungkan antara subjek dengan objek. Dengan sendirinya pengandaian aktifitas menghubungkan atau menyambungkan disini, jelas mensyaratkan terpenuhinya kualitas keahlian, Kemahiran, serta keterampilan yang tentu saja bersifat teknis.
Sampai pada klause ini pemahaman seni secara tradisional, sejatinya sudah tercapai. Dimana dasar etimologi sudah cukup memberikan sinyal, bahwa aktifitas seni merupakan kegiatan pencercapan subjek atas objek, dengan tidak menihilkan kemampuan diri (keahlian). Dalil epistemic tradisional menghayati bahwa subjek seni sebagai manusia istimewa, karena dibekali kemampuan mengolah pengalaman estetis menjadi kesadaran estetis, dan mentransformasikannya menjadi karya.
Pemahaman tradisional melihat kemampuan subjek seni, dimanifestasikan pada aktivitas perenungan, intuisi, dan kreativitas. Oleh karena itu kerja estetis dari subjek seni lebih berorientasi pada produksifitas capaian nilai estetis. Bahkan dibanyak sumber literasi diwartakan, bahwa pada frem tertentu seringkali aktifitas seni dikaitkan dengan domain-domain teologis. Mengenai hal itu, dengan cukup meyakinkan Nyoman Kutha menuliskan, keindahan yang semula berasal dari Tuhan, dikongkretisasi oleh seniman kedalam bentuk karya seni. Relevan dengan pernyataan sejenis tertuang:
Pada dialog ion “Plato mempertanyakan kemampuan para penyair menuliskan kehidupan para Dewa? melalui pengetahuan dengan dasar pengalaman, ataukah inspirasi Ilahi…”. Blueprint: Masyarakat Yunani pada kalanya, menginsyafi kata-kata penyair sebagai pegangan…melalui ilustrasi pertanyaannya, Plato memulai ideologiekritik dengan mengandaikan penyair sebagai orang bijak. Dalam metanarasi yang saja, Sokrates, mengungkapkan: kemampuanmu dalam berkisah tentang Homeros, merupakan suatu daya Ilahi yang menggerakanmu” (Suryajaya).
Konsonan diatas merupakan dokrin empiris, pemahaman tradisional yang memposisikan subjek seni (seniman) pada tempat yang tinggi.
Dimana subjek pencipta merupakan manusia yang khas dan Istimewa, sehingga mampu membenamkan diri dengan aktifitas-aktifitas artistic. Secara egaliter penulis tadaskan, bahwa kualitas subjek seni dalam kaitan ini, lebih dikerucutkan pada subjek (seniman), mengingat kualitas sejenis menyertai sisi penanggap dan penikmat seni secara umum. Dasar argumentative diatas memberikan corak: pemahaman tradisional selaras dengan pemaknaan seni didalam KBBI, yakni suatu keahlian untuk menciptakan karya yang bermutu.
Perdebatan akibat mempertahankan pendirian, terkait interdepandensi filsafat, estetika, dan seni, merupakan keniscayaan yang tidak terbantahkan. Ketika pemahaman tradisional mempertahankan pendapat seninya secara hierarkis, tradisi kontemporer justru menjungkirbalikan pemahaman itu. Pemikir kontemporer menuduh, bahwa pemikiran tradisional tampil dengan berbagai sifat eskusifnya, bermaksud melegalkan statusquo. Otonomi seni, yang diproyeksikan secara tradisional merupakan suatu pemahaman semu, karena berakibat pada mengebiri esensi dan hakikat seni secara luas.
Ungkapan seni demi seni merupakan anomaly, mengingat argumentasi yang diberikan tidak mendasar dan memadai. Nalar kontemporer menyoal bahwa seni milik masyarakat, dari padanya kepentingan seni mesti dimerdekakan dari kepentingan-kepentingan seni semata. Oleh karenanya, pembahasan seni tidak hanya sebatas persoalan estetik, baik dalam cakupan nilai intrinsic maupun ekstrinsiknya.
Dialektika mengenai seni seyogyanya dibawa pada persoalan yang lebih luas, termasuk tujuan dan interdepandensi dengan berbagai aspek kehidupan yang menyeluruh. Aksioma kontemporer dengan ciri deskonstruksinya, memberikan sinyal bahwa pemahaman estetika tidak hanya terbatas pada persoalan seni.
Terkait hal ini Lan Hunter berpendapat, bahwa estetika kontemporer merupakan kritik estetis, dalam arti menolak pemahaman dan istilah-istilah estetika sebelumnya. Lebih lanjut Nyoman Kutha menuliskan, estetika harus diperluas pada persoalan politik, ekonomi, kebudayaan popular, dan kehidupan manusia seluruhnya, jadi semacam politisasi estetis. Singkat kata, estetika kontemporer atau postmodernisme (periodenisasi), meliputi pembahasan seni dan non seni.
Dengan menyandarkan diri pada pengertian kontemporer, interdepandensi antara estetika dan seni menjadi bias, karena tidak mengerucutkan pada substansi “subjek seni”. Terkait dengan penulisan, sekurangnya ada 3 premis yang dapat membawa kita pada bias pemahaman, bila kita bersandar pada tradisi kontemporer, di antaranya: 1. Hakikat estetika (keindahan) “kita bisa saja takjuk dengan keindahan alam (laut, pegunungan, dan danau), kita juga bisa terhipnotis oleh keindahan karya seni (musik, lukisan, tarian), dan kita juga dapat berempati menyaksikan keindahan budi, sikap, perilaku, serta perbuatan. 2 objek estetika (seni) “distingsi antara fine art dan applied art “;turunanya perbedaan keahlian, keterampilan, dan kerajinan; apakah seorang yang ahli dibidang computer dapat dikatakan seniman…, apakah seorang penjahit pakaian, khoki, dapat disebut seniman… dan apakah pembuat gerabah, ukiran, tukang bangunan dapat disebut seniman…apa batasan seseorang dapat dikatakan sebagai seorang seniman?…3. entitas estetika (pengalaman estetis dan kesadaran estetis) “kesenjangan kenyataan mendahului karya seni atau karya seni merepresentasikan kenyataan”.
Bagi pembaca dewasa, ilustrasi dari ketiga premis sudah cukup menerangkan, keterikatannya yang inhern. Namun demikian, ikhtiar penulisan ditujukan pada pembaca secara umum, yakni insan-insan yang bisa jadi tidak bersentuhan langsung dengan dunia seni. Oleh karenanya, penulis lebih berfocus pada kedua premis diatas, yakni: hakikat estetik dan objek estetis sebagai kongklusinya. Sementara terkait dengan judul penulisan, sejatinya secara khusus saya arahkan pada dikotomi, antara pemahaman seni tradisional dan pemahaman seni kontemporer.
Dengan demikian bahan refleksi pada semua paparan, secara spesifik penulis ringkaskan substansinya, sebagai berikut: 1. Secara tradisional, subjek seni (seniman) merupakan manusia yang khas, manusia Istimewa yang berbeda dengan manusia pada umunya; sementara 2. Pemikiran kontemporer, memahami subjek seni (seniman) adalah manusia pada umumnya, tetapi memiliki keterampilan dan Kemahiran yang berbeda. Nalar tradisional bermuara pada pengangungan subjek seni (seniman), sementara nalar kontemporer memakzulkan narasi besar bahwa, aktivitas artistic dapat dilakukan oleh semua orang. Pada gilirannya tradisi kontemporer menginsyafi, bahwa aktivitas seni dapat dilakukan oleh siapapun yang tergerak hatinya, untuk memberikan pemahaman yang berbeda terhadap suatu objek. Yang membedakan dari kedua pemahaman diatas adalah, nilai kualitas keterampilan yang berhasil untuk dibangun, terutama proses dan hasil kreatifnya.
Dengan dasar pemahaman yang ajeg, serta legitimasinya pada esensi-esensi seni yang particular, maka penulis menjatukan pembelaan pada pengertian yang pertama, yakni secara tradisional. Dalam ruang yang sangat khusus, yakni penulisan: subjek seni (seniman) disama artikan dengan “Mutiara dari Brebes”. Berdasarkan hasil sublimasi itu, “Mutiara dari Brebes” dapat direpresentasikan sebagai seniman, yang karyanya didedikasikan untuk kemaslahatan, dan keberlangsungan budayaan Brebes. Mutiara dari Brebes oleh karenanya diarahkan pada pengklasifikasian 3 kategori, yang dapat memawa kemaslahatan dan keberlangsungan budaya Brebes, diantaranya: kecintaan, eksistensi, dan karyanya. Melalui spesifikasi diatas, kemudian lebih lanjut diuraikan beberapa nama seniman, yang dinilai konsisten turut memberikan warna pada seni dan kebudayaan Brebes. Hanya saja dalam kesempatan yang baik pula, izinkan penulis meminta permohonan maaf kepada para pembaca, mengingat tidak semua atau sebagian besar seniman Brebes saya tuliskan. Dan adapun beberapa subjek seni (seniman), “Mutiara dari Brebes” yang bisa saya paparkan, sebagai berikut:
A. Ki Tarto
Bagi sebagian besar pelaku dan pegiat seni Brebes-an, nama Ki Tarto sudah tidak asing lagi ditelinga. Bahkan menurut para pegiat seni yang sudah akrab dengannya, pasti kebingungan menggambarkan eksistensinya dalam dunia seni. Kegamangan itu terjadi karena, sangat sulit memetakan secara spesifik cabang seni apa yang didalami dan ditekuni oleh Ki Tarto, terlebih pada dunia seni Brebes-an. Dilema itu sekurangnya sedang penulis rasakan, yakni kepelikan memetakan peran-perannya pada dunia seni secara spesifik. Jikalau ada, peribahasa lama “Tak Kenal Maka Tak Sayang” mestinya perlu ditambahkan “Semakin Kenal Semakin Membingungkan”. Dalam upaya melengkapi pribahasa diatas, dan dalam rangka memanipulasi kebingungan pribadi, kiranya tidak berlebihan bila sebutan “budayawan” merupakan gambaran yang cukup mewakili sosok Ki Tarto. Secara apriori melalui kaca mata penulis, kesimpangsiuran peran Ki Tarto dimasyarakat, paling tidak mensubordinasikan dua aspek, diantaranya: kultural dan sosial. Argumentasi semacam itu bukan tanpa alasan, tetapi didasari dengan dalil-dalil yang cukup kuat dan signifikan. Seperti yang kita ketahui bahwa pemahaman teoritis mensyaratkan, sebagaimana seni menjadi bagian dari kebudayaan, oleh karena itu keberadaannya tidak dapat terpisahkan dari masyarakat, terutama terkait aspek-aspek sosialnya. Sementara pada satu sisi yang berbeda, yakni nilai praktisnya, penulis meyakini bahwa sebagian hidup Ki Tarto berkaitan dengan kegiatan maupun aktifitas-aktifitas artistic. Secara apriori Ki Tarto tidak pernah memberikan batasan tegas terkait nilai artistic, karena beliau berhasil menenggelamkan diri pada entitas-entitas seni yang ada.
Baginya “semua aktifitas yang mangandung seni, merupakan suatu kegiatan luhur yang paripurna”…Oleh karena itu, aktivitas berkesenian tidak berjarak antara seni formal dan non formal, karena seni bersifat universal.
Sikap konsistensinya dibuktikan dengan cara merobohkan bangunan angkuh, yang sering dijadikan klaim pembenaran, untuk mencerai beraikan seni secara ketat. Kesenian rakyat yang dahulu didiskreditkan generasi muda, kini berhasil ditransformasikan dan dikembangkan Ki Tarto pada bangku-bangku formal sekolahan. Tugas pokoknya sebagai Kepala Sekolah dan guru Seni Budaya, dijadikan jembatan untuk memperkenalkan seni kerakyatan Brebes-an kepada generasi muda. Berkat perannya, pemanfaatan seni pada dunia Pendidikan didaerah Brebes, dapat terbilang cukup sukses. Kesenian-kesenian tradisional, Beliau sisipkan sebagai bahan Pelajaran dan ekstra-ekstra di Sekolah, terutama pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kreatifitas gagasan dan ide estetisnya, bahkan banyak diakui dikalangan pendidik dan dinas terkait. Kerja praktisnya dapat dijumpai pada berbagai evant budaya, terutama keberhasilan Ki Tarto dalam membawa anak-anak didiknya, menampilkan ragam seni Brebes-an. Bahkan tidak jarang kerja kesenimanannya, membuahkan apresiasi dari berbagai kalangan. Sehingga tidak mengherankan bila hasil-hasil pengasuhan seninya, banyak tampil diberbagai kesempatan, seperti pada tingkat regional maupun nasional. Untuk dapat memetakan keberhasilannya dalam mentransformasikan seni, berikut penulis paparkan peran formalnya dalam lingkup pelestarian dan perkembangan seni Brebes-an diantaranya: 1. Guru SMP (Senibudaya), 2. Ketua, dan pengurus aktif MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran, Senibudaya Kab. Brebes), 3. Anggota dan pengurus Dewan Kesenian, Kab. Brebes), 4. Ketua Persatuan Pedalangan, Kab. Brebes, 4. Aktif sebagai tim juri seni Tingkat Kecamatan, Kabupaten, dan provinsi (terutama pada jenjang Sekolah Menengah Pertama). Adapun salah satu hasil capaian hasil kerja seni formal Ki Tarto, yang dirasakan oleh pendidik seni khususnya adalah, membuat karya kegiatan siswa dalam bentuk pagelaran/ pentas di SMP N 2 Bulakamba, (yang kemudian dijadikan rujukan di sekolah-sekolah yang sederajat), membuat karya seni masal dengan takjub “100 barong”
Keberhasilan lain terkait dengan kerja seninya, yakni kesuksesaannya memperkenalkan dan mengelaborasikan seni formal kepada masyarakat. Keahliannya mengelaborasikan seni formal yang akademis dengan seni-seni kerakyakatan, disambut baik oleh berbagai kalangan. Manifestasi kecerdasan kegiatan berkeseniannya, dapat terindra dari berbagai bentuk pertunjukan dan hasil karya Ki Tarto. Peran seninya secara sosial tidak terbatas pada masyarakat dimana beliau tinggal, tetapi hampir menjamah semua kemasyarakatan Brebes pada umumnya. Hal ini secara pribadi dapat penulis buktikan, bahwa hampir disetiap grup kesenian yang ada di desa-desa Se- Kabupaten Brebes, mempunyai keterkaitan dengan beliau. Artinya baik secara langsung maupun tidak langsung, beliau turut andil terlibat melestarikan grup kesenian-kesenian yang ada. Peran seni Ki Tarto secara sosial terejawantahkan, diantaranya sebagai pelaku seni, penanggung jawab, ketua grup, dan Pembina. Bahkan peran seni sosialnya dilakoni Ki Tarto dengan cukup profisional, melalui Dewan Kesenian dan Pariwisata Brebes. Berkat arahan dan terutama keterlibatannya, tidak sedikit grup kesenian asal Brebes tampil diberbagai evant bergengsi tanah air. Sepengetahuan penulis pribadi, sekurangnya ada 3 grup kesenian yang berhasil tampil di Taman Mini Indonesia Indah (Jakarta), Semarang, dan Jimbaran (Bali). Grup Kesenian tradisional Brebes-an yang mewakili Dinas Kesenian diantaranya: Gebyar Binangkit, Genjring Sulap, dan Sintren. Andil Ki Tarto secara tidak langsung, jelas memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi eksistensi kesenian-kesenian tersebut. Dengan mengenalnya secara pribadi, penulis meyakini bahwa banyak seniman tradisional yang notabene budayawan Brebes, kenal bahkan pernah menjalin kerjasama seni dengan Ki Tarto. Keotentikan kerjasama seni Ki Tarto dengan para seniman Brebes-an, diantaranya melahirkan berbagai karya, dalam bentuk lagu seperti: sate blengong kupat glabet, ademe Kaligua, Cipanas Buaran, batik Salem, waduk Malahayu, dan Randu Sanga Indah, dan Mandalika.
Dalam sesi wawancara, beliau menerangkan bahwa lagu-lagu Brebes-an itu beliau ciptakan dengan beberapa seniman local daerah Brebes. Ki Tarto juga secara eksplisit menjelaskan bahwa, penciptaan lagu-lagu tradisional Brebes-an diperuntukan sebagai media memperkenalkan beberapa objek wisata yang ada di daerah Brebes. Secara terperinci Beliau menegaskan bahwa objek garapan lagu tradisional diciptakan dengan berbagai seniman, melalui wadah Dinas Kesenian dan Pariwisata Brebes. (Ki Tarto).
Demi kepentingan mengapresiasi sekaligus memperkenalkan sosok seniman (budayawan Brebes) Ki Tarto, berikut ini penulis lampirkan beberapa hasil pencapaian atas kerja seninya: 1.. Juara 2 cipta tembang mocopat ditingkat Provinsi, (tahun 1995), 2. Ketua sekaligus Pembina persatuan dalang dan gamelan Kabupaten Brebes, 3. Pentas seni di Jateng, Jakarta, Solo, dan Bali, 4. Eksis beraktifitas secara aktif pada seni tradisi, dalang, dan gamelan hingga sekarang. Dengan menelisik peran berkesenian Ki Tarto, setidaknya dapat memberikan gambaran bahwa kecintaan dan kedekataan pada dunia seni, tidak dapat diragukan dan ditawar lagi. Menurut penuturannya, seni sudah menjadi dunia proksimitasnya, karena kemelekatan yang menjadikannya melek seni diperoleh dari Ayah dan Kakeknya. Hidup dan dibesarkan ditengah keluarga seni, menjadikan Ki Tarto memiliki banyak pengalaman, perenungan dan kesadaran akan seni. Semasa kecilnya, Beliau sudah mengenyam pola pengasuhan berkesenian dari keluarganya. Secara esklusif, Pria kelahiran Banyumas 19 September 1966, menjelaskan bahwa bakat seninya diturunkan dari Ayah dan Kakeknya yang merupakan seorang dalang. Dengan latar belakang yang ada beliau mengakui, semenjak kecil sudah akrab dengan tembang-tembang Jawa, gamelan, dan seni pedalangan. Ki Tarto menuturkan bahwa keseriusannya mempelajari kesenian, sebenarnya sudah dimulai pada saat beliau duduk dibangku Sekolah Dasar. Berkat kerja keras serta support yang diberikan oleh keluarga, kemampuan berkesiniannya terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Bakat bawaan itu kemudian dijalani dan ditekuni Ki Tarto secara serius, dibangku formal seni akademis. Sebagai legitimasi biografis akademis, dibawah ini penulis lampirkan jenjang formal Pendidikan Ki Tarto, sebagai berikut:
SD N Sukawera Kidul, Tahun 1972-1977
SMP N 1 Banyumas, Tahun 1979-1981
SMKI Banyumas (Seni Karawitan), Tahun 1982-1986
IKIP Semarang (Seni Tari), Tahun 1986- 1988
Adapun untuk melengkapi biodata dan peran-peran formal seninya, dibawah ini penulis paparkan sebagai berikut:
PNS Guru Seni Budaya di SMP N 2 Bulakamba, Tahun 1991
Kepala Sekolah, terhitung dari Tahun 2012: SMP 5 Tanjung, SMP 3 Banjarharjo, SMP 3 Losari, SMP 1 Larangan, dan SMP 3 Brebes.
Berikut penulis lampirkan, foto dokumentasi Ki Tarto
B. Ranu Wijaya
Ranu Wijaya merupakan anak kedua dari 3 bersaudara, yang lahir di Brebes pada tanggal 19 Agustus 2002. Dalam kanalisasi penulis, memposisikan Ranu Wijaya sebagai objek penulisan tentu bukan tanpa alasan. Bagi penulis yang mengenalnya secara dekat, sekurangnya ada sisi-sisi keunikan yang melekat pada pemuda berusia 22 tahun ini. Berbeda dengan pemuda kebanyakan yang turut larut tertelan zaman, sebagai dampak dari modernism. Disatu sisi, ditengah hiruk pikuk ketidakstabilan “hoby” pemuda-pemuda seusianya, Ranu tetap konsisten menekuni pilihannya, yakni musik.
Sementara pada sisi yang berbeda, ditengah perkembangan dan persaingan kesenian-kesenian modern, Ia tetap gigih dan bangga dengan kesenian tradisionalnya. Kekaguman lain yang bisa menjadi semacam previlage Ranu Wijaya, adalah kemlekatan atau kemampuan melek seninya diperoleh secara otodidik. Ranu menjelaskan bahwa kegemaran dan kecintaannya dengan musik, hanya berawal dari kebiasaan mendengarkan musik.
Setelah memiliki pemahaman dan pengalaman tentang musik (terutama lagu-lagu pantura), Ia mulai belajar bernyanyi. Baru pada gilirannya setelah memahami pola irama (ritme), Ranu mulai serius mempelajari instrument kendang dan drum secara otodidak. Dengan berbekal pada kemampuannya memainkan kendang dan drum, Ranu kemudian mulai tertarik dengan instrument gitar dan bass. Apabila barometer bermain musik menggunakan standar “bisa, bukan ahli”, maka Ranu hampir bisa memainkan semua alat musik (terutama yang ada pada kesenian tarling). Sepengamatan penulis, Ranu Wijaya merupakan sosok pemuda yang banyak menyimpan rasa ingin tahu dan rasa penasaran. Justru keingintahuan dan rasa penasaran-penasarannya, yang menjadikan Ranu memiliki kemampuan multi memainkan alat musik.
Talenta musiknya terus dikembangkan sampai pada kemampuan mengontrol audio (ng-sound), yang dipelajari juga secara otodidak. Dengan cara bertanya dan mempraktikannya secara langsung, Ranu kini memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman, terutama terkait pentas dan seni pertunjukan. Berdasarkan persinggungan dan pengamatan secara langsung, penulis meyakinkan bahwa Ranu Wijaya memperoleh bakat kesenimanan melalui jalur otodidak.
Kemandirian dengan sikap konsisten dalam menekuni hobi, pada giliranya membuahkan keterampilan, yang bila dikemas secara profisional bisa menjadi suatu profesi. Terbukti dalam banyak hal, bahwa eksistensi Ranu didunia seni terutama (seni tradisional), mampu mendatangkan pundi-pundi rejeki. Bahkan apabila kita mau melihat capaian kerja seninya dengan kalkulasi konvensionl, Ranu mulai dihargai secara profisional semenjak Ia duduk dibangku Sekolah Dasar.
Artinya, sejak dari bangku sekolah Ranu sudah memiliki penghasilan sendiri, dari musik yang ditekuninya. Dan bahkan terhitung setelah Ranu lulus dari Sekolah Menengah Pertama, Ia mendirikan Grup Kesenian Burok dengan nama “Wijaya Putra”.
Dengan berkesenian, Ranu bisa membuktikan bahwa hobi yang dijalani secara serius dapat menjadi sumber penghasilan, bahkan bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga orang lain. Dalam kaitan ini, Ranu mempertontonkan bahwa dengan kegiatan seninya, Ia mampu menciptakan lapangan pekerjaan akibat persaingan kerja yang kian pesat.
Berbeda dari tokoh sebelumnya, kemampuan melekseni yang ada pada Ranu Wijaya memang diperolehnya secara otodidak. Bahkan dalam wawancara, Ranu enggan mengatakan bahwa bakat yang ada pada dirinya, merupakan bakat yang diturunkan dari keluarga. Ranu menjelaskan, bahwa Ia terlahir dari keluarga yang sama sekali buta atau asing dengan dunia seni.
Kendati secara apriori Ia sendiri tidak dapat membantah, bahwa konon mendiang Kakeknya merupakan seorang pemain gong disatu grup seni. Namun demikian, Ranu menegaskan bahwa itu hanya sebatas konon….karena, Ranu mengaku tidak sempat melihat atau mengenal Kakeknya. Untuk memberikan gambaran riil berkenaan dengan pengalaman seninya, dibawah penulis lampirkan hasil wawancara, sebagai berikut:
Ketertarikan saya pada musik tradisional terutama, berangkat dari kebiasaan mendengarkan lagu-lagu pantura (Cirebonan)/ tarling. Massa-massa mendengarkan dan mempelajari seni secara otodidak itu, saya jalani semenjak duduk di kelas 2 SD. Sejatinya, motivasi terbesar saya untuk mempelajari musik, adalah instrument kendang. Setiap kali menyaksikan pertunjukan musik (lagu-lagu pantura), saya benar-benar terobsesi untuk dapat memainkan dan menjadi seorang pemain kendang. Dari pengalaman itu saya semakin giat mendengarkan lagu, dan belajar memainkan kendang dengan peralatan seadanya.
Saya mempelajari pola pukulan dan ritme, hampir pada semua jenis lagu pantura, memalui bass kocok (kendang yang terbuat dari bilah paralon). Baru kemudian saya mempelajari secara riil instrument kendang, setelah SD dimana saya bersekolah mampu membelinya. Jadi apabila ditanya, pengalaman awal saya bermusik…memang saya dapatkan secara otodidak, belajar sendiri sambil bertanya pada teman yang memang sehobi.
Jangankan mempelajari seni secara akademis, bahkan untuk memegang dan memainkan alat musik saja, setelah sekolah mampu membeli alat musik tradisional. Harus saya akui bahwa keleluasaan saya mempelajari dan memainkan alat musik, memang banyak dilingkungan sekolah. Untuk alat musik modern, seperti gitar, bass, dan dram memang secara khusus saya pelajari dibangku SMP. Dengan mengikuti ekstrakulikuler seni, secara intensif saya bebas mempelajari dan memainkan alat musik tradisional dan modern. Kalau ditanya bakat…jawabannya pasti abu-abu, mengingat kebisaan saya diperoleh karena kebiasan. Jadi kalau ditanya bakat bawaan pasti saya jawab, bahwa saya terlahir dari keluarga yang buta seni, meskipun ada informasi bahwa mendiang Kakek saya adalah seorang pemain gong. (Ranu Wijaya, Seniman dan Ketua Grup Wijaya Putra).
Untuk mempertegas keterangan bahwa Ranu Wijaya tidak pernah mempelajari seni secara formal, dibahwa penulis lampirkan biodatanya, sebagai berikut:
Nama : Ranu Wijaya
Tempat, Tanggal, Lahir : Brebes, 19 Agustus 2002
SD : SD N 3 Bulakamba
SMP : SMP N 2 Bulakamba
Setelah mengetahui biografinya yang singkat, sudah cukup menerangkan bahwa Ranu Wijaya memang memperoleh pengajaran seni secara otodidik. Lain pada itu, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa eksistensi seni Ranu Wijaya terus meningkat setelah Ia lulus SMP. Dengan nada penuh percaya diri, Ranu Wijaya bercerita bahwa pengalaman berkeseniannya banyak memberinya rejeki dan keberkahan.
Dahulu Ranu tidak pernah menyangka bahwa hobi, bisa menjadikan profesi dan bahkan dapat memberikan rejeki kepada orang lain. Sejalan dengan berbagai pengalamannya main dipanggung, Ia mulai memikirkan untuk merintis Grup kesenian sendiri. Dengan modal seadanya, Ranu Wijaya berhasil mendirikan Grup Kesenian Tradisional “burok” Wijaya Putra, pada tahun 2015an. Guna memperoleh gambaran terkait dengan Sejarah Grup Kesenian “Burok Wijaya Putra”, dibawah penulis lampirkan hasil wawancaranya, sebagai berikut:
Wijaya Putra sebenarnya lahir dari kenekatan saya, sebagai ketua Grup. Dikatakan nekat karena semua peralatan, mulai dari alat musik, soundsistem, bahkan kostum pemain diperoleh dengan menyewa. Kami mulai berani menyewa alat musik lengkap dengan soundnya, untuk keperluan latihan, dan itupun ketika ada informasi tanggapan.
Sebagai ketua Grup, saya hanya memiliki dua buah burok: burok ayu, dan singa depok. Adapun burok-burok itu saya peroleh, dengan cara membuatnya secara mandiri. Dengan keahlian seadanya, saya buat sendiri burok-burok itu secara tradisional. Ada 2 jenis bahan untuk membuat burok, yakni dari bahan koran yang dibasahi, dan bahan kayu. Burok yang berbahan dasar koran, saya buat secara cetak, sementara burok berbahan kayu, saya buat dengan cara mengukirnya menggunakan pahat. Alhamdulillah dari keahlian membuat burok alakadarnya, kini mulai banyak orang yang ikut memesan dan membeli burok buatan saya. Terus terang dari hasil penjualan burok, dan larisnya tanggapan Grup Wijaya Putra, saya alokasikan untuk membeli alat musik, soundsistem, dan kostum pemain. Setiap tampil Grup Wijaya Putra dimainkan kurang lebih 29-30 orang, di antarnya: 1 MC, 2 Penyanyi, 1 pemain bass, 1 pemain gitar, 1 pemain ritem, 1 pemain orgen, 1 pemain kendang, 1 pemain drum, 1 pemain suling, 1 pengatur soundsistem, 4 pemain burok ayu, dan 16 pemain singa depok. Adapun mengenai harga jual satuan burok ayu seharga 2,5 juta dan singa depok seharga 1,5 juta. Untuk proses pengerjaan kepala burok ayu dan kepala singa depok kurang lebih selama 1 minggu-1bulanan. Mengenai tarif pertunjukan Grup Wijaya Putra sendiri berkisar Rp. 5-7 juta, tergantung permintaan yang punya hajat dan porsi pertunjukannya. Semakin lengkap jumlah pemain, maka tarif yang dibayarkan semakin mahal. Sebagai sebuah Grup Tradisional, Alhamdulillah Wijaya Putra sudah sering tampil diberbagai tempat, seperti: Brebes, Tegal, Pemalang, dan Cirebon. Dari berbagai penjelasan yang saya uraikan, saya simpulan bahwa, ….Puji Syukur dan Alhamdulillah,….melalui seni saya memiliki penghasilan, bahkan dari kelas 4 SD- Sekarang. (Ranu Wijaya, Seniman Dan Ketua Grup Ranu Wijaya).
Setelah memberikan deskripsi biografi, dan pengalaman berkesenian Ranu Wijaya secara singkat, dibawah penulis lampirkan dokumentasi foto, sebagai berikut:
Berdasarkan hasil paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa representasi kata “Mutiara Dari Brebes” merujuk pada peristilahan kemelekatan atau melek seni yang ada pada diri seniman yang tinggal maupun lahir di daerah Brebes. Dalam kontek ini, penulis memberikan ruang yang secara spesifik tidak berfocus pada seniman “Asli Brebes”, karena penulis secara pribadi terteguh pada pengapresiasian sikap konsistensinya, dalam menjaga dan melestarikan kesenian Brebes-an.
Barangkali secara konsep dan kontek penulisan, bila dikaitkan dengan domain Pendidikan terutama teori multiple intelegencesnya Gardner, maka kedua tokoh diatas sangat representatif. Kehadiran Ki Tarto dan Ranu Wijaya dalam kaitan ini, menyingkirkan secara tegas pemaknaan kecerdasan yang diinsyafi secara tradisional.
Artinya Ki Tarto dan Ranu Wijaya berhasil membuktikan, bahwa kecerdasan tidak bisa dikerdilkan hanya sebatas persoalan, deret hitung dan kalkulasi matematis.
Berdasarkan hasil paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa representasi kata “Mutiara Dari Brebes” merujuk pada peristilahan kemelekatan atau melek seni yang ada pada diri seniman yang tinggal maupun lahir di daerah Brebes. Dalam kontek ini, penulis memberikan ruang yang secara spesifik tidak berfocus pada seniman “Asli Brebes”, karena penulis secara pribadi terteguh pada pengapresiasian sikap konsistensinya, dalam menjaga dan melestarikan kesenian Brebes-an.
Barangkali secara konsep dan kontek penulisan, bila dikaitkan dengan domain Pendidikan terutama teori multiple intelegencesnya Gardner, maka kedua tokoh diatas sangat representatif. Kehadiran Ki Tarto dan Ranu Wijaya dalam kaitan ini, menyingkirkan secara tegas pemaknaan kecerdasan yang diinsyafi secara tradisional. Artinya Ki Tarto dan Ranu Wijaya berhasil membuktikan, bahwa kecerdasan tidak bisa dikerdilkan hanya sebatas persoalan, deret hitung dan kalkulasi matematis.