MA Beri Waktu 90 Hari, KPU Masih Berhak Coret Eks Koruptor Nyaleg

Minggu, 16 September 2018
Ilustrasi napi koruptor (sumselupdate.com)

Jakarta, Sumselupdate.com – Mahkamah Agung (MA) memberikan waktu 90 hari ke KPU untuk pikir-pikir melaksanakan putusan judicial review. Oleh sebab itu, KPU masih berhak mencoret eks koruptor nyaleg.

Waktu 90 hari itu diatur di Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2011. “Selama KPU belum mencabut ketentuan yang telah dibatalkan oleh MA maka PKPU yang ada saat ini masih sah berlaku sebagaimana diatur Pasal 8 ayat (2) Perma 1/2011,” kata ahli perundang-undangan, Bayu Dwi Anggono kepada wartawan, Minggu (16/9/2018).

Bacaan Lainnya

Dalam Pasal 8 ayat 2 Peraturan MA Nomor 1/2011 disebutkan:

Dalam hal 90 hari setelah putusan MA tersebut dikirim ke Badan atau Pejabat Usaha Tata Negara, yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat tersebut tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

“Mengingat masih sah berlaku sampai dengan 90 hari ke depan maka segala tindakan hukum yang berdasarkan PKPU tersebut termasuk penetapan DCT oleh KPU masih sah di hadapan hukum,” cetus Bayu.

Proses judicial review di MA juga menjadi catatan buruk Bayu. Pertama, cara MA mengumumkan putusan itu tidak menunjukkan citra sebagai pengadilan modern dan terpercaya. Pengumuman putusan seharusnya dibarengi dengan tersedianya salinan putusan yang bisa diserahkan kepada para pihak baik pemohon dan termohon serta dapat diakses oleh publik. Namun pengumuman hanya dilakukan oleh Jubir MA ke wartawan, bukan lewat sidang layaknya Mahkamah Konstitusi (MK).

Kedua, putusan MA itu bertentangan dengan Pasal 55 UU MK yang menyebutkan:

Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.

“Ketentuan Pasal 55 ini sampai saat ini masih berlaku dan bahkan melalui putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017 makna wajib dihentikan tersebut adalah dimaknai ‘ditunda pemeriksaannya sampai ada putusan MK’,” ujar Bayu.

Ketiga, MA masih mempraktikkan judicial review secara tertutup. Padahal UUD 1945 dan UU MA tidak pernah memberikan amanat persidangan judicial review MA dilakukan secara tertutup.

“Persidangan tertutup ini adalah praktik penerapan independensi peradilan yang tanpa disertai dengan akuntabilitas,” cetus Bayu.

Keempat, putusan ini mengabaikan penyelarasan harmonisasi yang dilakukan Kemenkumham, antara Peraturan KPU-UU dan Putusan MK dalam kasus terkait.

“Penyelarasan ini adalah solusi hukum dan merupakan konsensus banyak pihak karena di satu sisi tidak menabrak putusan MK dan UU Pemilu, di sisi lain bisa menjempatani aspirasi publik perihak caleg berkualitas dan berintegritas dalam pemilu,” pungkas Bayu. Demikian dilansir Detikcom.(dtc/adm5)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.