Denpasar, Sumselupdate.com – Perlu kesadaran para politisi di Senayan untuk memahami esensi dari Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) serta kesadaran bergerak bersama agar undang-undang PPRT segera terwujud.
“Kita berharap pada sidang paripurna terakhir DPR periode 2019-2024 pada 27 September 2024 RUU PPRT bisa disahkan menjadi undang-undang,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Bedah RUU PPRT: Perlindungan untuk Pemberi dan Penerima Kerja – dari Apriori ke Afirmasi DPR RI yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (14/8/2024).
Menurut Lestari, catatan terkait pekerja rumah tangga (PRT) sudah begitu banyak, tetapi tidak dipedulikan pimpinan DPR. “Ini yang menjadi tanya besar bagi kami,” ujar Rerie, sapaan akrab Lestari.
Padahal, kata Lestari, pada RUU PPRT kita bicara tentang hak azasi manusia.
Bila RUU PPRT berhasil menjadi undang-undang, berarti negara menempatkan manusia sebagai manusia, menghargai setiap kerja manusia dan menghargai manusia sebagai makhluk Tuhan.
“Dengan esensi perlindungan yang terkandung dalam RUU PPRT, mengapa sampai 20 tahun pembahasan untuk dijadikan menjadi undang-undang,” ujar Rerie.
Wakil Ketua Badan Legislatif DPR RI, Willy Aditya menegaskan, kendala dalam proses legislasi RUU TPKS lebih besar karena terkait bias agama, jika dibandingkan dengan pembahasan RUU PPRT saat ini.
Sejauh ini, tambah Willy, di Badan Musyawarah DPR belum ada pembahasan terkait RUU PPRT, sementara di hampir setiap rapat paripurna selalu ada interupsi terkait perlindungan PRT.
Di sisi lain, jelas Willy, Surat Presiden untuk menindaklanjuti pembahasan RUU PPRT sudah dilayangkan sejak lama ke pimpinan DPR.
“Kita butuh strong politicall will dari pimpinan atau lebih tepatnya Ketua DPR RI,” tegas Willy.
Menurut Willy, pada RUU PPRT lebih banyak menerapkan azas kekeluargaan dan kemanusiaan.
Hingga saat ini, RUU PPRT belum masuk pembahasan tingkat I sehingga menjadi kendala untuk bisa di-carry over ke periode mendatang.
“Tetapi kami bertekad menuntaskan pembahasannya pada periode ini,” tegasnya.
Direktur Institute Sarinah, Eva Kusuma Sundari mengungkapkan kelompok yang menolak RUU PPRT saat ini, pada awalnya merupakan kelompok yang mendukung RUU PPRT.
Eva mengakui mendapatkan kesulitan saat berupaya membangun komunikasi kepada pimpinan partai politik yang menolak RUU PPRT, agar segera mengesahkannya menjadi undang-undang.
“Semua cara untuk melobi sudah dilakukan mulai lobi secara personal hingga langit. Mungkin hanya Tuhan yang bisa menggerakkan hati mereka,” jelasnya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman berpendapat, kondisi kebuntuan yang dihadapi dalam proses legislasi RUU PPRT memperlihatkan adanya political ignorance (ketidaktahuan politik) yang disebabkan adanya fear for equality dari kelompok yang menolak.
Bila RUU PPRT menjadi undang-undang, jelas Airlangga, kelompok yang menolak khawatir tidak lagi berada di posisi lebih tinggi daripada PRT.
Padahal tambah dia, setiap warga negara sama kedudukannya di mata hukum.
Menurut Airlangga, meski terbilang moderat, aturan pada RUU PPRT penting untuk dituntaskan menjadi undang-undang agar kita bisa melangkah ke depan. (**)