Jakarta, Sumselupdate.com – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menerima aduan dari 390 orang yang terdiri dari mahasiswa, pelajar, karyawan, hingga ojek online. 390 orang ini mengadukan peristiwa yang dialaminya mereka selama melakukan aksi demo ke posko pengaduan KontraS.
“Dari pengaduan yang masuk total aduan sampai tanggal 3 Oktober kemarin pukul 21.00 WIB, kami menerima 390 orang yang melaporkan melalui medium tersebut, dengan mayoritas yang dilaporkan adalah mahasiswa, pelajar, karyawan, pekerja lepas sampai ojek online,” ujar Peneliti KontraS, Rivanlee Anandar di Kantor KontraS, Jalan Kramat, Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat (4/10/2019). Demikian dilansir Detikcom.
Mereka yang mengadu ini tidak hanya di Jakarta saja, melainkan di sejumlah daerah di Indonesia yang melakukan aksi demo pada 23 September hingga 30 September. Namun, kata Anandar mayoritas pelapor dari Jakarta yang melakukan aksi di depan DPR.
Jenis laporan yang masuk itu antara lain penangkpan disertai intimidasi dari aparat kepolisian. “Berdasarkan proses yang masuk, proses perburuan atau penangkapan yang dilakukan oleh polisi selalu disertai dengan intimidasi, baik itu verbal maupun non verbal,” katanya.
Anandar mengaku timnya juga melakukan investigasi dengan melakukan konfirmasi ke pelapor dan ke Polda Metro Jaya dan Polres terkait kebenaran laporan yang diterimanya. Tim hukum Kontras juga melakukan verifikasi di lapangan.
Dalam kasus ini, Anandar mengatakan polisi melakukan pelanggaran saat bertugas di lapangan karena melemparkan gas air mata saat mahasiswa menggelar aksi demo di DPR. Selain gas air mata, polisi juga melakukan kekerasan.
“Tindakan yang dilakukan pihak kepolisian, yang kami temukan itu mayoritas memang ada penembakan gas air mata yang memberikan dampak pada orang, mata perih, iritasi kulit. Terus juga penganiayaan, pelemparan batu, peluru tajam, peluru karet, sampai pengeroyokan,” ucapnya.
Ia juga bercerita banyak kendala dialami tim Kontras ketika hendak melakukan pebenaran atas laporan-laporan itu. Ia menjelaskan kendalanya seperti sulitnya berkomunikasi dengan anggota polisi .
“Ketika kita mencoba melakukan verifikasi kepada korban-korban yang ditangkap, dan ditahan di beberapa kesatuan, itu terkait dengan, pertama, ketersediaan informasi, artinya ada kesulitan untuk memastikan apakah orang yang bersangkutan ada di Polda atau Polres. Kedua, akses informasi yang terbatas, ketika ditanya itu, tidak semua polisi menjawab,” paparnya.
“Salah satu keluarga korban itu juga sempat datang ke KontraS mengeluhkan dia sudah kedua kalinya datang ke Polda, tapi tidak bisa bertemu dengan anaknya. Padahal, ada surat panggilan terhadap orang tuanya untuk mendatangi Polda,” imbuhnya.(dtc/adm5)