Jakarta, Sumselupdate.com – Sejumlah parpol yang semula dikenal sebagai oposisi kubu pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kini membuka peluang untuk bergabung bersama kelompok pemenang Pilpres 2019 Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Sudut oposisi tak lagi seksi, sedikit saja parpol yang menghampiri.
Pandangan itu disampaikan oleh Direktur Presidential Studies-DECODE UGM Nyarwi Ahmad. Pakar lulusan UGM yang menyabet gelar doktoral dari Bournemouth University ini justru khawatir lemahnya oposisi bisa berakibat tidak baik bagi pemerintahan Jokowi, tak baik pula bagi demokrasi.
“Kalau melihat gejala yang ada saat ini, oposisi sepi peminat,” kata Nyarwi, Jumat (28/6/2019) kemarin, seperti dilansir dari Detikcom.
Dia mengamati perjalanan politik nasional, oposisi di Indonesia memang cenderung sepi peminat sejak awal reformasi. Hanya sedikit parpol yang mampu menjalankan tugas itu dengan baik. Ini karena budaya oposisi tidak berkembang dengan baik di sistem demokrasi Indonesia.
“Oposisi juga sering dilabeli dengan stigma negatif, seperti melawan pemerintah, bahkan disebut juga makar. Akibatnya, budaya oposisi tidak berkembang baik,” kata Nyarwi.
Kalaupun ada parpol yang dikenal bersikap oposisi, Nyarwi menilai itu karena semacam kecelakaan politik atau takdir politik, konretnya: gagal menjadi juara di pilpres dan tidak mendapat teman di pemerintahan. Nyarwi menyalahkan kerdilnya tradisi oposisi tulen pada elite-elite parpol di Indonesia.
“Rezim politik pemerintahan dalam sistem demokrasi tanpa oposisi… itu sangat mengkhawatirkan,” ujar Nyarwi resah.
Dia menjelaskan oposisi tetap diperlukan dalam sistem demokrasi apa pun, baik untuk sistem presidensial seperti Indonesia maupun parlementer seperti di negara lain.
Oposisi punya tiga manfaat. Pertama, menjadi saluran pelampiasan gerakan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Bila ketidakpuasan terhadap pemerintah tak menemukan salurannya, hasrat perlawanan itu bisa tertumpah di jalanan yang rentan diwarnai aksi kekerasan.
Manfaat kedua dari eksistensi oposisi adalah sebagai pemberi kritik maupun pandangan alternatif terkait kebijakan pemerintah. Tanpa oposisi yang sehat dan kuat, pemerintah bisa terjebak pada cara-cara otoriter dalam mengelola kekuasaannya.
“Cara-cara otoriter itu sering kali dilakukan oleh aktor di dalam pemerintah secara tidak sadar,” kata Nyarwi.
Manfaat kedua dari keberadaan oposisi adalah untuk membangun checks and balances dalam demokrasi. John Dalberg-Acton atau Lord Acton (1834-1902) punya adagium terkenal, “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut sudah pasti korup.” Untuk menghindari kekuasaan absolut, dibutuhkan peran oposisi sebagai alat kontrol dan penuntut transparansi.
Kembali ke konteks aktual, yakni potensi Jokowi bakal memerintah dengan oposisi yang lesu darah, Nyarwi melihat ada sisi positif dan negatifnya. Jokowi tentu tak akan terganggu oleh riak-riak politik di parlemen maupun nonparlemen ketika menjalankan kebijakannya.
“Namun, di sisi lain, pemerintahan Jokowi bisa tanpa sadar terseret logika populis otoritarian, yakni dipilih dengan mandat rakyat banyak namun sekaligus dianggap menjalankan pemerintahan secara sewenang-wenang atau otoriter,” kata Nyarwi.
Kondisi ini tak baik bagi citra Jokowi pada periode keduanya. Bisa-bisa, banyak orang menjadi emoh mengapresiasi pencapaian Jokowi karena citranya kadung terlihat otoriter. “Hal ini berbahaya bagi image pemerintahan Jokowi,” ujarnya.
Namun lebih dari urusan citra politik, demokrasi tanpa oposisi memang berpotensi melahirkan otoritarianisme. “Oposisi tetap diperlukan dalam sistem demokrasi mana pun,” kata Nyarwi.(dtc/adm5)