Ketua MPR Tegaskan Amandemen Terbatas UUD NRI 1945 Hanya di Pasal 3 dan 23 UUD NRI 1945

Senin, 10 Mei 2021
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) hadir dalam dalam Diskusi Akademik 'Urgensi Amandemen Terbatas Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) untuk Kesinambungan Pembangunan', di Universitas Ngurah Rai, Bali.

Bali, Sumselupdate.com – Untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) diperlukan amandemen terbatas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Hanya akan ada penambah ayat di Pasal 3 dan Pasal 23 UUD NRI 1945 dalam amandemen terbatas UUD NRI 1945.

Hal itu dikatakan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet). Dijelaskannnya, jika hanya ada penambahan satu ayat saja.

“Penambahan satu ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN. Sementara penambahan satu ayat pada Pasal 23 mengatur kewenangan DPR menolak RUU APBN yang diajukan presiden pasca 2024 apabila tidak sesuai PPHN,” ucap Bamsoet dalam Diskusi Akademik ‘Urgensi Amandemen Terbatas Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) untuk Kesinambungan Pembangunan’, di Universitas Ngurah Rai, Bali, Senin (10/5/2021)

Selain itu, tidak ada penambahan lain dalam amandemen kelima UUD NRI 1945. Termasuk, wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode ataupun perubahan sistem presidensial. Justru kita perkuat, dari visi-misi presiden menjadi visi-misi negara melalui PPHN.

Advertisements

Dikatakannya, pasca amandemen keempat konstitusi, fungsi Garis Besar Haluan Negara (GBHN) digantikan dengan UU Nomor 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.

Sementara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) berlandaskan visi dan misi calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

“Hal ini justru tidak memberikan jaminan bahwa, satu periode pemerintahan akan melanjutkan program pembangunan yang sudah dilakukan pemerintahan periode sebelumnya. Sebagai gambaran analogi sederhana, kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara yang pembangunannya dimulai pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan membutuhkan waktu tidak sebentar, tidak memiliki jaminan pembangunannya akan dilanjutkan oleh presiden penggantinya,” kata Bamsoet.

Dia menekankan, ketiadaan PPHN uga menyebabkan ketidakselarasan pembangunan nasional dengan daerah. Karena sistem Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tidak terikat untuk mengacu RPJMN, mengingat visi dan misi gubernur/bupati/walikota sangat mungkin berbeda dengan visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih. Demikian juga dengan visi dan misi gubernur/bupati/walikota diantara berbagai daerah lainnya.

“Terdapat sepasang presiden-wakil presiden, 34 pasang gubernur-wakil gubernur, dan sekitar 514 pasangan bupati-wakil bupati/walikota-wakil walikota. Seluruhnya memiliki visi misi masing-masing, yang terkadang bertabrakan satu sama lain. Inkonsistensi arah dan kebijakan pembangunan antara jenjang nasional dan daerah berpotensi menghasilkan program pembangunan yang bukan saja tidak saling mendukung, tetapi juga bisa saling menegasikan satu sama lain. Kedepan, visi-misi presiden, gubernur, bupati/walikota akan mengacu kepada visi misi negara sebagaimana tercantum dalam PPHN,” tandas Bamsoet.

Bamsoet menambahkan, tidak heran jika berbagai kalangan mulai menyuarakan dan mendukung agar MPR RI kembali memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan PPHN. Dukungan yang datang, antara lain dari Forum Rektor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor Indonesia, serta berbagai Organisasi Keagamaan seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu.

“Hasil survei MPR periode 2014-2019 memperlihatkan 81,5 persen responden menyatakan, perlu reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN, dan hanya 18,5 persen yang menjawab tidak perlu. Alasan paling dirasakan dan paling dekat dengan kepentingan masyarakat karena saat ini pelaksanaan pembangunan nasional dianggap tidak berkesinambungan,” tutur Bamsoet.

Secara filosofis, kata dia PPHN adalah dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis kedaulatan rakyat. Artinya, rakyat melalui wakil-wakilnya dalam lembaga MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, berhak merancang dan menetapkannya.

Dokumen tersebut selanjutnya, menjadi rujukan bagi presiden dan lembaga negara dalam menyusun berbagai program pembangunan sesuai kewenangan masing-masing.

“Secara ideologis, keberadaan PPHN dipandang mendasar dan mendesak, mengingat tidak saja proses pembangunan nasional memerlukan panduan arah dan strategi baik dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Tetapi, juga yang lebih mendasar adalah guna memastikan proses pembangunan nasional tersebut merupakan manifestasi dan implementasi dari ideologi negara dan falsafah bangsa, yaitu Pancasila,” papar Bamsoet. (duk)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.