Diskusi di Media Center, Mantan Ketua Komisi I DPR: Hoaks dan Ujaran Kebencian Akan Terjadi Lompatan Besar Mulai November

Penulis: - Jumat, 3 November 2023
Sekretaris Mantan Ketua Komisi I DPR Mahfuz Sidik dalam diskusi 'Dialektika Demokrasi dengan tema "Bersama Mencegah Hoaks dan Kampanye Hitam Jelang Pilpres 2024’. di Jakarta, Jumat (3/11/2023).

Jakarta, Sumselupdate.com – Sekretaris Mantan Ketua Komisi I DPR Mahfuz Sidik mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu menginisiasi pembentukan Satuan Gugus Tugas Khusus Keamanan Informasi Pemilu 2024.

Hal ini perlu untuk menjaga keamanan informasi pemilu dari serangan cyber terhadap proses penyelenggaraan Pemilu 2024.

Bacaan Lainnya

“Nampaknya penyelenggara pemilu dalam hal ini, KPU dan Bawaslu perlu menginisiasi terbentuknya satu gugus khusus, yaitu Gugus Tugas Keamanan Informasi Pemilu. Gugus tugas ini tidak hanya untuk mengantisipasi hoaks, framing ujaran kebencian, tetapi dalam pengertian yang luas,  menjaga keamanan informasi pemilu,” kata Mahfuz di Jakarta, Jumat (3/11/2023) dalam diskusi ‘Dialektika Demokrasi dengan tema “Bersama Mencegah Hoaks dan Kampanye Hitam Jelang Pilpres 2024’.

Menurut Mahfuz, gugus tugas  nanti bisa melibatkan Dewan Pers, KPI, BSSN, Polri dan pihak terkait untuk melakukan patroli cyber dalam rangka  melakukan penegakkan hukum (Gakkum) terhadap disinformasi Pemilu 2024.

“Saya khawatir banyaknya hoaks sekarang akan menjadi gangguan besar pada pemilu 2024. Dan yang lebih penting kita bersama punya tanggung jawab sosial memberikan literasi kepada masyarakat. Jangan sampai kita ikut membodohi masyarakat dengan disinformasi di media sosial,” katanya.

Baca Juga: Pemerintah Pusat Ambil Alih Pengelolaan KIR, Dishub Palembang Lost Potensi Rp6 Miliar

Dikatakan, gugus tugas tersebut diperlukan, karena regulasi kita yang mengatur dunia digital saat ini sudah tertinggal 10 tahun.

“Dunia digital ini sudah berjalan di tengah-tengah kita,  dan merangsek ke semua aspek kehidupan termasuk  kehidupan politik dalam 10 tahun terakhir secara sangat progresif,” ujar Sekjen Partai Gelora tersebut.

Dia menilai, regulasi penyiaran Indonesia tidak mampu menjangkau penyebaran hoaks yang dilakukan  televisi (TV) berbasis internet.

“Sekarang  banyak TV yang platformnya internet. Ketika dia menyebarkan hoaks, siapa stake holder atau pemangku kepentingan yang bisa menegakkan regulasi, apakah Dewan Pers atau KPI, kan nggak ada sekarang,” tutur Mahfuz.

Akibat regulasi penyiaran yang tertinggal 10 tahun, lanjut Mahfuz, membuat banyaknya sampah digital, yang bisa ‘digoreng’ menjadi isu hoaks dan ujaran kebencian menjelang pelaksanaan Pemilu 2024.

“Ini sekarang yang menjadi rumit dan menjadi ruwet, karena memang basis regulasinya yang memang tidak lengkap,” katanya.

Baca Juga: Ketua MPR RI Apresiasi UNHAN Banyak Melahirkan Pemimpin Bangsa

Banyaknya hoaks dan ujaran kebencian bertebaran di dunia maya, menurut Mahfuz, KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara akan kesulitan  melaksanakan pesta demokrasi secara riang gembira.

“Apalagi kalau lihat diksi tentang pemilu sekarang yang telah bergeser dari pesta menjadi kompetisi atau kontestasi. Jadi dua kata diksi ini, yang selalu akrab di telinga kita,” katanya.

Sehingga ketika kata diksi kompetisi dan kontestasi itu, menjadi persepsi besar tentang pemilu, maka faktor yang akan menentukan adalah seberapa kuat dan kerasnya kompetisi dan kontestasi berlangsung di lapangan.

“Apa faktornya, menurut saya, adalah adanya power struggle (perebutan kekuasaan) yang ikut pertarungan kekuasaan di Pilpres 2024. Bobot pertarungannya akan semakin sengit, apabila dari satu kekuatan politik  adu power strategi. Misalnya kalau saya baca di media ada pertarungan antara Ibu Megawati dan Pak Jokowi,” katanya.

Pertarungan antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo   merupakan satu kompetisi atau kontestasi power struggle.

“Pertarungan tersebut semakin keras dalam ruang digital, maka rasanya serangan pertarungan di dunia digital  tidak bisa terelakan,” jelasnya.

Karena itu, tidak mengherankan apabila ada peningkatan jumlah hoaksi selama Periode Januari 2023 hingga Oktober 2024  seperti dilaporkan Kementerian Kominfo dan Mabes Polri.

“Saya prediksi pertarungan cyber melalui hoaks, ujaran kebencian akan terjadi lompatan sangat tajam dalam perang di dunia digital pada bulan November ini. Saya kira disinilah pentingya kita memahami, menyadari dan memitigasi, karena apa konsekuensi, resiko atau cost yang harus kita bayar secara secara kolektif bisa seperti Pemilu 2019, yakni pembelahan sosial dan polarisasi,” katanya.

Jika melihat tren kenaikan hoaks dan ujaran kebencian saat ini, ada beberapa hal yang melatarbelakangi. Antara lain adanya pemilih di kalangan generasi Z dan milenial yang mencapai 55 persen lebih, yang sehari-hari tidak bisa lepas media sosial atau gadget.

Sementara mereka menjadi target bidikan suara dari para calon presiden, calon wakil presiden, calon legislatif dan partai politik, serta para tim sukses.

“Mereka akan disuguhi disinformasi melalui media sosial mengenai power struggle, pertarungan yang keras untuk menggaet pemilih yang 50% dari generasi Z dan milenial ini,” katanya.

Dia melihat penyedia jasa hoaks dan ujaran kebencian menjelang Pemilu 2024 akan hidup lagi, meskipun mereka telah pecah kongsi.

“Kita perlu hati-hati menyikapi hal ini, karena mulai ada narasi yang dikembangkan mengenai potensi kecurangan, terlepas dari situasi dan kontroversi proses politik sekarang. Ini akan menjadi opini umum, akan menjadi bumbu yang paling sedap untuk proses disinformasi di dunia digital,” katanya.

Ia mengingatkan disinformasi digital saat ini telah melibatkan kemajuan kecerdasan buatan atau artificial Intelligence (AI) seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, ketika ada informasi tiba-tiba Presiden Jokowi mahir berbahasa Mandarin.

“Ketika hal ini didengar saudara-saudara saya di majelis taklim di masjid, kalau Presiden Jokowi ngomong Bahas Mandarin, persepsinya bisa berbeda. Tun kan bener, dia sangat dekat dengan China, dengan Tiongkok. Tetapi beberapa hari kemudian kita lihat ternyata Presiden Jokowi juga sangat mahir Bahasa Arab, jadi bingung lagi kita,” katanya.

Artinya, penggunaan AI untuk memproduksi hoaks dan ujaran kebencian akan meningkat menjelang Pemilu 2024.  Inilah yang membedakan antara Pemilu 2024 dengan Pemilu 2019. (duk)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.