Dianggap Bersalah, Bupati Muaraenim Non Aktif Ahmad Yani Divonis 5 Tahun Bui

Selasa, 5 Mei 2020
Suasana sidang vonis Bupati Muaraenim non aktif, Ahmad Yani di Pengadilan Negeri (PN) Kls 1 A Khusus Palembang, Selasa (5/5/2020).

Palembang, Sumselupdate.com – Majelis Hakim yang diketuai Erma Suharti SH menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Bupati Muaraenim non aktif, Ahmad Yani dengan hukuman penjara lima tahun dan denda Rp200 juta subsider enam bulan, atau lebih ringan dua tahun dari tuntutan Jaksa KPK dua pekan sebelumnya dengan tujuh tahun penjara.

Majelis hakim berpendapat Ahmad Yani terbukti bersalah berdasarkan Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan pasal 55 ayat 1 junto pasal 64 ayat 1.

“Mengadili, menyatakan terdakwa Ahmad Yani secara sah dan meyakinkan menyalahi aturan dengan melakukan tindak pidana korupsi. Terdakwa divonis dengan pidana penjara 5 tahun, dan subsider enam bulan,” tutur Erma Surharti di Pengadilan Negeri (PN) Kls 1 A Khusus Palembang, Selasa (5/5/2020).

“Selain itu menghukum terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp.2,1 miliar yang apabila tidak dibayar selama 1 bulan, maka  harta benda terdakwa akan dilelang. Dan apabila tidak mencukupi, maka digantikan dengan 8 bulan penjara,” ujar ketua majelis hakim Erma Suharti.

Advertisements

Vonis terhadap mantan anggota DPRD Muaraenim ini lebih ringan dari tuntutan JPU KPK yang pada sidang beberapa waktu lalu menuntut Ahmad Yani agar mendapat hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp.300 juta subsider 6 bulan kurungan.

JPU KPK juga menuntut agar terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp.3,1 miliar subsider 1 tahun penjara.

Suasana sidang vonis Bupati Muaraenim non aktif, Ahmad Yani di Pengadilan Negeri (PN) Kls 1 A Khusus Palembang, Selasa (5/5/2020).

 

Selain itu dalam pertimbangannya, majelis  hakim juga menolak tuntutan JPU KPK yang menuntut agar hak politik Ahmad Yani dicabut.

Sebagaimana pada sidang beberapa waktu lalu, JPU KPK menuntut agar hak politik Ahmad Yani dicabut selama 5 tahun terhitung sejak ia dibebaskan dari penjara.

“Hal-hal memberatkan yakni bahwa terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam memberantas korupsi serta sebagai seorang bupati seharusnya menjaga kepercayaan warganya. Sedangkan hal yang meringankan yakni terdakwa

sebagai kepala keluarga yang mempunyai tanggungan keluarga,” ujar hakim.

Menanggapi putusan hakim, kuasa hukum Ahmad Yani, Maqdir Ismail mengatakan pihaknya masih pikir-pikir atas putusan tersebut.

Namun dalam kesempatan itu, Maqdir juga menyampaikan beberapa poin dalam putusan yang dinilainya mengecewakan.

Di antaranya terkait mobil Lexus yang dalam catatan Pemkab Muaraenim merupakan pinjaman. Namun dari putusan majelis hakim tidak ada catatannya.

“Sebenarnya kami juga tidak ingin memperpanjang, termasuk soal 35 ribu USD. Karena memang tidak pernah ada. Dan seharusnya pihak penyidik dan penuntut juga memanggil Erlan. Tapi hingga detik ini, hal itu tidak pernah dilakukan,” katanya.

Maqdir juga menilai bahwa selama persidangan seolah semua kebenaran berada di pihak A Elfin MZ Muchtar yang merupakan PPK proyek yang juga ditetapkan sebagai terdakwa dalam perkara ini.

“Menurut kami tidak adil. Karena itu nanti akan kami bicarakan bagaimana sikap kami dalam menyikapi putusan ini,” ujarnya.

Ahmad Yani ditangkap KPK atas dugaan kasus suap di Dinas PUPR Muara Enim pada 2 September 2019 lalu.

Tepatnya pada proyek Dana Aspirasi DPRD Kabupaten Muaraenim pada proyek APBD Murni TA 2019 di Dinas PUPR Kabupaten Muaraenim senilai Rp130 miliar.

Kontraktor Robi Okta Fahlevi telah diputus bersalah sebagai penerima suap dan divonis 3 tahun penjara serta denda Rp250 juta subsider 6 bulan.

Sedangkan A Elfin MZ Muchtar selaku PPK proyek juga divonis bersalah dan dihukum 4 tahun penjara serta denda Rp200 juta.

Ia juga divonis mengembalikan uang pengganti senilai Rp2,6 miliar.

Dalam dakwaan dikatakan Ahmad Yani mengatur kesepakatan dengan terdakwa A Elfin MZ Muchtar untuk memenang kontraktor Robi Okta Fahlevi sebagai pemenang proyek.

Dengan kesepakatan Ahmad Yani menerima komitmen fee sebesar 10% dari proyek tersebut.

Sedangkan 5% lagi diterima oleh sejumlah pejabat lain di Muaraenim.

Ahmad Yani juga disebut menggunakan nama Omar saat menerima aliran dana  sebagaimana yang diungkap dalam persidangan.

Nama Omar tertulis dalam buku biru catatan Jenifer yang merupakan asisten Robi Okta Fahlevi yang dibeberkan pada sidang beberapa waktu lalu. (tra)

 

Yuk bagikan berita ini...

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.