CERPEN: Ada Cerita Palsu Dari Mulut Palsu Penutur Palsu

Minggu, 21 Maret 2021
Ilustrasi

NARASI berupa cerita tentang sesuatu itu bergema hingga ke cakrawala. Menembus tebalnya awan. Gemanya kencang sekali. Bergaung keras hingga angkasa biru. Menyusuri kaki-kaki langit.

Menyusup hingga ke bumi. Bergulir kencang bak meteor. Dimangsa perilaku zaman yang makin kehilangan peradaban.

Menembus dinding-dinding hati penghuninya yang kering kerontang. Siap tersulut bara. Siap menebar api.

Narasi berupa cerita tentang sesuatu itu terus bergulir dan bergulir tanpa arah bak bola liar. Menembus hutan. Menyeberangi lautan. Melewati sungai hingga tiba di peradaban yang katanya berbudi luhur.

Advertisements

Menembus jantung mereka yang tertidur tanpa masa depan. Menembus jiwa mereka yang berbudi. Menembus akal mereka yang berada di puncak kehidupan hingga menembus kegelapan malam yang bening.

Narasi berupa cerita tentang sesuatu itu seakan-akan ingin memangsa tanpa malu. Mengaum keras bak suara harimau lapar yang siap menerkam mangsanya.

Menetes dalam nurani para penghuni bumi tanpa kontrol. Mengikat dalam sanubari hingga mengakar ke dalam sekujur tubuh tanpa mampu dibendung.

Akal mulai kehilangan jati dirinya. Kemanusiaan hanya tinggal slogan. Emosi telah membakar jiwa tanpa kendali.

Narasi berupa cerita tentang sesuatu telah merasuk ke dalam jiwa para penghuni bumi. Mereka, para kaum penggelisah mulai dimangsa oleh narasi tentang sesuatu itu.

Mereka, mulai terbuai dengan narasi berupa cerita tentang sesuatu itu yang mereka klaim sebagai sebuah kebenaran baru yang wajib diperjuangkan.

Narasi berupa cerita tentang sesuatu itu mulai menyusup ke seluruh aliran darah dalam tubuh mereka yang putus asa dan mencari identitas diri.

Narasi berupa cerita tentang sesuatu itu mulai berkobar dengan suara bergemuruh dalam sanubari miskin mereka. Narasi berupa cerita tentang sesuatu itu seolah dianggap sebagai sebuah dogma baru yang harus diperjuangkan dengan semangat membara.

“Kalau bapak-bapak semua bersikap bak menelan obat tanpa resep dokter, bukan justru membuat tubuh menjadi sehat, namun membuat tubuh kita menjadi lemah dan sensitif terhadap isu yang berkembang biak. Ini baru katanya. Belum terbukti. Tidak ada faktanya. Bisa-bisa kita sesama warga memangsa kita sendiri,” terang Pak Kades saat melihat warga berkumpul di halaman rumahnya dengan wajah-wajah penuh keberingasan. Wajah-wajah yang dikendalikan emosi

“Tapi Pak Kades, suara itu terus berbunyi kencang menembus jiwa kami. Merongrong nurani kami,” sergah seorang warga dengan nada suara emosi.

“Benar. Pertanyaannya apakah suara yang berbunyi kencang dalam nurani itu mengandung sebuah kebenaran? Apakah suara hati yang berbunyi kencang di dalam jiwa kita itu mengandung kebenaran? Perlu kita uji dengan mencari sumber suara itu dan mengecek kebenarannya,” jawab Pak Kades setengah bertanya.

“Pak Kades jangan membela suara yang salah. Pak Kades harusnya membela kami yang telah memilih Pak Kades sehingga bisa mengemban amanah ini,” sahut warga yang lain dengan suara tinggi.

“Saya tidak membela siapapun. Sebagai pimpinan di Desa ini saya berkewajiban membela kebenaran. Bukan mengikuti suara jiwa palsu yang berbunyi kencang yang ditiupkan para penebar hoax,” jawab Pak Kades.

“Hoax,?” tanya para warga dengan suara serempak dengan penuh tanda tanya

“Iya. Hoax. Berita palsu yang ditiupkan para penutur palsu untuk memecah belah kita sebagai warga Desa. Dan ini sudah mewabah hingga ke pelosok-pelosok,” ungkap Pak Kades.

“Dan kita sebagai warga harus selalu waspada dengan berita hoax ini. Filter sebuah informasi yang datang. Jangan ditelan mentah-mentah dan disebarkan,” lanjut Pak Kades.

Malam makin melarut. Selarut jiwa para warga yang terlelap dalam mimpi panjangnya. Bermimpi tentang apa yang akan disantap esok hari.

Bermimpi tentang hidupnya. Bermimpi tentang masa depan anak-anaknya. Bermimpi tentang sesuatu. Hingga terus bermimpi bertemu penutur narasi tentang sesuatu yang terus berkembang biak dalam mimpi mereka tanpa mampu mereka tepis dalam balutan jiwa yang kering kerontang dimakan peradaban zaman yang makin renta.

“Kalian semua harus percaya dengan cerita tentang sesuatu ini untuk masa depan kalian semua sebagai warga. Untuk kebahagian kalian semua sebagai warga,” bunyi suara itu terus bergemuruh dalam sanubari warga yang masih terus bermimpi tentang keindahan kehidupan hari esok.

“Anda siapa,” tanya warga.

” Bapak berasal dari mana,” sambung warga lainnya.

” Kami ingin tahu siapa sebenarnya Tuan ini hingga bisa bertutur cerita tentang sesuatu ini,” celetuk yang lain.

” Tuan jangan menjadi provokator,” sela warga yang lain.

” Buka topeng Bapak,” usut warga lainnya.

Penutur cerita tentang sesuatu itu terdiam. Menahan nafas. Menelan ludah tanpa harus kehilangan akal.

“Apakah penting bagi bapak-bapak semua tentang identitas saya? Mana yang lebih penting, cerita tentang sesuatu ini yang berguna untuk masa depan bapak semua atau identitas saya,” tawar penutur itu.

“Maaf, Kami tidak menerima narasi hoax. Kami tidak butuh cerita palsu dari mulut palsumu,” jawab seorang warga dengan suara tinggi.

“Benar sekali kata teman kami tadi. Kami tidak menerima cerita palsu tentang sesuatu yang palsu dari penutur cerita palsu yang membuat kami para warga bercerai berai,” sambung warga yang lain.

“Silahkan anda angkat kaki dari sini. Kami tidak menerima cerita palsu dari mulut palsu para penutur palsu,” jawab warga dengan suara tinggi.

Suara palsu itu terdiam. Tak ada lagi narasi bantahan. Tak mampu menjawab. Suara palsu itu pergi menjauh. Menjauh ke angkasa yang membentang. Menembus awan.

Mengejar kerlap-kerlip bintang dilangit. Mencari angkasa lain untuk menebar cerita palsu tentang sesuatu yang palsu tanpa malu.

Malam makin merentah. Kunang-kunang tersenyum menyaksikan cerita palsu tentang sesuatu yang palsu yang mengangkasa dilangit tanpa malu. Desiran angin pun enggan membawa cerita tentang sesuatu yang palsu yang mengikutinya di cakrawala. Narasi tentang sesuatu itu pun sendiri dalam sunyi. Dalam kegelapan. Sebatang kara mengapung di udara.

Mentari pagi terbangun dari mimpi panjangnya. Suara azan subuh terdengar sangat religius. Para warga berduyun-duyun menuju masjid. Berserah diri kepada Sang Maha Pencipta. Mohon ampunan.

Seiring hilangnya cerita palsu tentang sesuatu yang palsu dari penutur palsu yang sering mengusik mimpi indah mereka tentang hidup dan kehidupan.

Sejuta kedamaian yang dulu menjadi simbol kehidupan mereka kini terajut kembali. Sebuah anugerah yang kembali lahir dan hadir untuk mereka.

Ya, mereka, para warga kembali merajut jiwa dalam bingkai persaudaraan yang sempat hilang beberapa waktu. (**)

Karya Rusmin Toboali

Rusmin Toboali

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.