100 Hari Kinerja KPK Pimpinan Firli Bahuri, ICW: Minim Prestasi

Selasa, 24 Maret 2020
KPK RI

Jakarta, Sumselupdate.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai 100 hari pertama kinerja pimpinan KPK Firli Bahuri dkk kurang maksimal. Menurut ICW, kinerja KPK minim prestasi namun kerap memunculkan kontroversi.

“Tepat pada pekan ini genap 100 hari lima Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih memimpin lembaga anti rasuah itu. Alih-alih menunjukkan kinerja yang lebih baik dari periode sebelumnya, justru yang dihasilkan adalah berbagai kontroversi. Karena itu pula, kepercayaan publik terhadap KPK turun drastis. Riset Indo Barometer dan Alvara Institute pada awal tahun 2020 menggambarkan hal itu. Dua riset itu sekaligus mengkonfirmasi pesimisme masyarakat luas atas proses seleksi pimpinan KPK yang dianggap tidak kredibel, ceroboh dan tidak mengindahkan berbagai rekam jejak yang ada,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/3/2020) seperti dikutip dari detikcom.

Bacaan Lainnya

ICW pun membeberkan kontroversi tersebut. Pertama, ICW menyinggung gagalnya KPK menangap buronan, yakni Harun Masiku dan Nurhadi.

“Padahal rekam jejak lembaga anti rasuah selama ini dikenal cepat dalam menemukan pelaku korupsi yang melarikan diri. Sebagai contoh, mantan bendahara Partai Demokrat M Nazarudin dalam waktu 77 hari dapat ditangkap KPK di Kolombia,” ujar Kurnia.

Kemudian Kurnia menyinggung tidak transparannya informasi penanganan perkara kepada publik. Hal ini bisa dilihat pada kejadian dugaan penyekapan penyidik KPK di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) saat mengejar Harun Masiku sebelum menjadi buron.

“Sampai saat ini tidak ada satupun Komisioner KPK yang memberikan informasi yang utuh dan jujur tentang kejadian tersebut. Bahkan saat rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI, Ketua KPK menolak memberikan jawaban ketika ditanya tentang kejadian di PTIK,” ucapnya.

Kurnia juga menyoroti tindakan tindak sewenang-wenang terhadap pegawainya sendiri. Hal ini mengacu pada Kompol Rossa yang diberhentikan dari penyidik KPK. Kurnia menilai pemberhentian itu tanpa melalui mekanisme yang jelas.

Masih terkait Harun Masiku, Kurnia menilai komisioner KPK berniat memotong proses hukum atas Harun Masiku untuk menutupi kelemahan mereka dalam mencari tersangka tersebut. Menurutnya, alih-alih serius mencari yang bersangkutan, Pimpinan KPK malah mendorong persidangan secara in absentia terhadap Harun Masiku.

“Memang secara yuridis hal itu dimungkinkan berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU Tipikor. Akan tetapi jika dilihat lebih detail pada bagian penjelasan maka niat dari Komisioner KPK itu keliru. Sebab, metode menyidangkan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa hanya dimungkinkan ketika terkait langsung dengan kerugian negara. Sedangkan perkara yang menjerat Harun Masiku merupakan tindak pidana suap,” katanya.

Lebih lanjut, Kurnia mengatakan jumlah penindakan KPK menurun. Data KPK menyebutkan sejak tahun 2016-2019 lembaga anti rasuah itu telah melakukan tangkap tangan sebanyak 87 kali dengan total tersangka 327 orang. Namun pada kepemimpinan Firli Bahuri, jelas Kurnia, KPK baru melakukan dua kali tangkap tangan, yakni melibatkan Komisioner KPU RI dan Bupati Sidoarjo. Itu pun menurutnya bukan terbilang kasus baru, melainkan sprindiknya telah ada saat KPK era Agus Rahardjo dkk.

Lalu, ICW juga menyoroti agenda pertemuan yang kerap dilakukan pimpinan KPK saat ini. ICW menilai kegiatan itu berpotensi mengikis nilai-nilai independesi dan etika pejabat KPK.

“Terhitung sejak Januari hingga Februari 2020, Komisioner KPK telah mendatangi 17 instansi negara. Tiga diantaranya kunjungan ke DPR RI. Ini jelas menggambarkan bahwa para Komisioner KPK tidak memahami pentingnya menjaga independensi kelembagaan. Dalih sosialisasi pencegahan tidak dapat diterima dengan akal sehat karena strategi pencegahan sudah jelas alur, pendekatan dan kebijakan-kebijakan teknisnya,” kata Kurnia.

Terakhir terkait pengumuman terkait pemberhentian 36 perkara di tingkat penyelidikan. Hal ini dinilai aneh menurut ICW, Kurnia menilai seluruh perkara itu masih bisa dilanjutkan jika ada bukti tambahan.

“Tentu publikasi semacam ini tidak lazim dan belum pernah terjadi di KPK. Sebab, keseluruhan perkara tersebut masih dimungkinkan dilanjutkan ke tingkat penyidikan jika di kemudian hari ditemukan bukti tambahan. Selain itu dalam UU KPK, UU Tipikor, bahkan KUHAP sekali pun memang tidak pernah mengenal istilah publikasi penghentian di tingkat penyelidikan,” ujarnya. (adm3/dtc)

Bantu Kami untuk Berkembang

Mari kita tumbuh bersama! Donasi Anda membantu kami menghadirkan konten yang lebih baik dan berkelanjutan. Scan QRIS untuk berdonasi sekarang!


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.