Jakarta, Sumselupdate.com – Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang), Rachmad Gobel, mengunjungi pabrik pembuatan tepung singkong atau tapioka di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, Kamis (22/5/2024).
“Kita harus terus mengembangkan keragaman bahan pangan, salah satunya singkong dan tepung singkong. Pertanian dan industri pangan bukan saja penting bagi ketahanan dan kedaulatan pangan, tapi juga sangat signifikan dalam membuka lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan serta membangun kesejahteraan masyarakat,” ujar Gobel di Jakarta, Sabtu (25/5/2024).
Gobel memang memiliki kepedulian sejak lama terhadap masalah pertanian, pangan, ekonomi berbasis budaya, lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, dan membangun kesejahteraan masyarakat. Hal itu mulai terlihat saat menjadi pengurus Kadin Indonesia, saat menjadi menteri perdagangan, dan kini sangat getol setelah menjadi anggota DPR RI.
Dia berkali-kali melakukan uji coba pertanian, melakukan kunjungan kerja di bidang-bidang itu dan menyuarakan isu tersebut.
Di hari libur nasional pun, dia melakukan kunjungan kerja ke Bangka mengunjungi pabrik tepung singkong bermerek Gunung Pelawan, produksi PT Langit Bumi Lestari, di Pangkal Pinang, Bangka Belitung.
Kapasitas terpasang pabrik tapioka ini 6.000 ton per bulan. Jumlah karyawan perusahaan mencapai 60 orang. Pabrik ini membina sekitar 1.500 petani dengan luas lahan sekitar 2.000 hektare.
Gobel mengatakan, dunia sedang dihadapkan pada ancaman krisis pangan akibat naiknya populasi penduduk dunia, climate change, makin terbatasnya lahan, serta konflik geopolitik dan menegangnya hubungan sejumlah negara.
Semua itu berdampak terhadap naiknya kebutuhan pangan, terganggunya produksi pertanian, dan terganggunya rantai pasok. Saat ini Indonesia sudah merasakan.
“Kita mengaku negara agraris, tapi berasnya impor dalam jumlah yang relatif besar,” kata Politisi Fraksi Partai NasDem ini.
Selain itu, Indonesia juga sudah lama mengimpor tepung singkong dan menjadi nett importer untuk tepung gandum. Karena itu, pemerintah diminta mengantisipasi lebih cepat terhadap persoalan pangan ini.
Menurut Gobel, jumlah penduduk Indonesia cukup besar. Namun dibandingkan dengan India dan China negara ini mampu memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri meski penduduknya lebih besar dari Indinesia. Bahkan Indonesia impor beras dari mereka.
Padahal iklim China dan India sebagian tropis dan sebagian lagi subtropis. Jumlah penduduk mereka juga sangat besar dibandingkan dengan Indonesia, mereka di kisaran 1,5 miliar. Namun ternyata mereka bisa lebih baik dari Indonesia.
“Jadi pasti ada yang salah pada kita. Padahal iklim kita lebih ramah, tanahnya subur, lahannya luas, dan jumlah penduduknya jauh lebih sedikit,” katanya.
Karena itu, kata Gobel, Indonesia harus berbenah dalam produksi pangan dan mencari berbagai alternatif sumber pangan.
“Singkong adalah salah satunya,” katanya.
Singkong juga lebih sehat daripada beras dan gandum dilihat dari sisi indeks glikemik dan kandungan gluten. Singkong dan sagu tidak mengandung gluten. Indeks glikemik sagu dan singkong juga lebih rendah dibandingkan dengan beras dan gandum, yaitu sagu 40, singkong 46, gandum 55-69, dan beras 64.
“Jadi sangat bagus untuk mengontrol kadar gula di dalam tubuh,” tuturnya.
Gobel mengatakan, banyak orang tidak menyadari bahwa tepung singkong dan modifikasi tepung singkong merupakan bahan sangat penting dalam berbagai produk makanan seperti bakso, nuget, mi, dan beragam produk makanan lainnya.
“Karena itu tanpa terasa kita menjadi importir besar untuk tepung singkong,” jelasnya.
Pada sisi lain, banyak negara yang merupakan importir besar tepung singkong seperti Jepang, Filipina dan China. Tepung singkong juga bisa menjadi bahan kertas, plastik organik, sedotan, dan beragam wadah.
“Jadi selain untuk ketahanan pangan nasional, singkong juga bisa menjadi penghasil devisa,” katanya.
Membangun pertanian pangan, kata Gobel, juga bagian dari pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja yang besar, dan membangun kesejahteraan masyarakat.
“Saya sudah uji coba bertanam singkong di Gorontalo. Hasilnya luar biasa. Per batang bisa 25 sampai 30 kg. Padahal biasanya sekitar 2 sampai 8 kg saja. Jadi ini sangat layak untuk dikembangkan. Yang penting dibangun ekosistemnya sehingga pupuk tersedia, lahan tersedia, pendanaan tersedia, dan penyerapannya terjamin. Insya Allah ini bisa menjadi solusi banyak hal,” jelasnya.
Selain memproduksi tepung singkong, perusahaan ini juga memproduksi tepung sagu. Dari tepung sagu ini, mereka memproduksi mi dari tepung sagu, yang gluten free dan indeks glikemik sangat rendah, sehingga sangat baik bagi kesehatan.
“Tepung singkong dan tepung sagu jauh lebih sehat buat tubuh karena kandungan glikemik yang rendah dan juga gluten free,” kata Fitrianto, pemilik pabrik tersebut.
Fitrinto mengatakan, pabrik tepungnya sudah menerapkan green industry, zero waste concept (bebas sampah), self sufficiency energy (swasembada energi), dan recycle water usage (daur ulang limbah).
“Limbah cairnya dijadikan biogas yang menghasilkan 1 megawatt. Listrik di pabrik ini dari biogas tersebut,” katanya.
Sedangkan limbah padatnya digunakan untuk pakan sapi, sehingga di belakang pabrik terdapat peternakan sapi. Selain itu, di lahan pabrik seluas 40 hektare tersebut juga ditanami indigofera sehingga kawasan itu menjadi hijau. Daun indigofera ini sangat baik untuk pakan sapi.
“Sapi menjadi tumbuh lebih cepat dan gemuk. Selain itu juga dibangun kolam penampungan air,” paparnya. (**)